Menuju konten utama

Golput sebagai Sikap Politik Tak Bisa Dipidana, Pak Wiranto

Pernyataan Wiranto yang menyebut orang yang mengajak golput dapat dijerat UU ITE diprotes, lantaran golput adalah sikap politik yang tak bisa dipidana.

Menko Polhukam Wiranto (kanan) berjalan bersama Mendagri Tjahjo Kumolo (kiri) menghadiri Rakornas bidang kewaspadaan nasional di Jakarta, Rabu (27/3/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto kembali memberikan pernyataan kontroversial. Kali ini, ia menyebut orang yang mengajak untuk tidak menggunakan hak pilih alias golput pada pemilu yang digelar 17 April nanti, dapat dikenakan sanksi.

Sanksi tersebut diberikan, kata Wiranto, karena tindakan mengajak golput sama saja mengacaukan Pemilu 2019.

“Itu, kan, mengancam hak kewajiban orang lain. UU yang mengancam itu. Kalau UU Terorisme tidak bisa, ya UU lain masih bisa. Ada UU ITE bisa, UU KUHP bisa,” kata dia, di Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2019).

Pernyataan Wiranto itu sontak mendapat kritik dari sejumlah pihak, salah satunya Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju. Ia menegaskan golput sebagai sikap politik tidak bisa dipidana.

“Enggak bisa [dipidana]. Kecuali yang ngajak [golput] dengan menjanjikan imbalan,” kata Anggara saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/3/2019).

Hal itu, kata Anggara, dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyebut setiap warga negara punya kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Salah satu bentuk turunan dari hak tersebut adalah hak menyatakan pilihan politiknya dalam pemilihan umum.

Berdasarkan kajian ICJR, setidaknya terdapat dua pandangan yang dapat dikaitkan dengan sikap golput. Pertama, jika memilih merupakan hak yang sifatnya boleh digunakan maupun tidak digunakan pemiliknya, maka golput dapat diartikan sebagai pilihan seseorang yang tidak menggunakan haknya.

Kedua, jika kembali merujuk pada ketentuan UUD 1945, maka pernyataan seseorang menjadi golput juga dapat diartikan sebagai bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945.

Di sisi lain, posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih juga sama sekali bukan pelanggaran hukum karena tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Sebab, ketentuan dalam UU Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput.

Hal senada diungkapkan peneliti ICJR lainnya, Maidina Rahmawati. Ia bahkan menyebut pernyataan Wiranto bahwa golput dapat dipidana dengan UU ITE dan KUHP sebagai sesuatu yang “ngawur.” Sebab, kata dia, UU Pemilu tidak melarang seseorang yang tidak menggunakan hak pilihnya saat pemilihan.

Ngaco, UU ITE yang mana? Sudah jelas, kok, golput yang bisa dipidana hanya benar-benar [yang] menggerakkan orang untuk golput pakai uang atau materi lain,” kata Maidina.

Maidina menilai, promosi hukum pidana seperti yang dilontarkan Wiranto justru memunculkan iklim ketakutan berdemokrasi yang dijamin undang-undang.

“Ini cara yang aneh buat ajak orang untuk milih, bukannya diajak, dibujuk, disuguhkan program-program yang masuk akal dan terobosan, malah mengancam,” kata Maidina.

Golput sebagai Pilihan Politik

Pegiat gerakan SayaGolput, Alghifari Aqsa menilai pernyataan Wiranto soal golput bisa dijerat pidana justru kontraproduktif. Sebab, tidak ada pasal dalam UU ITE yang bisa dipakai untuk menjerat penganjur golput.

“Tidak ada pasal yang bisa menjerat golput dan kampanye golput. Apa yang disampaikan menkopolhukam menurut saya justru hoaks yang menakut-nakuti masyarakat untuk golput dan kritis terhadap sistem politik,” kata Alghif saat dihubungi reporter Tirto.

Alghif pun mewajarkan jika banyak kelompok elite yang terganggu dengan kampanye golput. Sebab, kata mantan direktur LBH Jakarta ini, kampanye golput telah mengganggu kenyamanan oligarki dalam lingkar kekuasaan.

“Jika golput berhasil menjadi gerakan atau setidaknya saat ini mampu membuat standar dalam politik elektoral, ia akan mampu mengubah sistem politik yang ada,” kata Alghif menambahkan.

Menurut Alghif, pemerintah seharusnya membangun sistem pemilihan yang lebih baik dari saat ini. Hal itu ia rasa lebih baik dibanding menakut-nakuti warga untuk tidak memilih di pemilu yang akan digelar pada 17 April nanti.

Selain itu, kata Alghif, para kontestan pemilu termasuk calon presiden dan wakil presiden seharusnya juga mengevaluasi diri. “Kontestasi yang mereka sedang lakukan justru menggunakan isu-isu yang memecah belah masyarakat dan membuat kacau masyarakat,” kata dia.

Made Supriatma, peneliti politik dan militer dalam opininya di Tirto, yang terbit pada 15 Maret 2019 menyebut, golput adalah sebuah sikap poltik bisa disamakan dengan abstention atau memilih bersikap abstain dengan sengaja tidak memberikan suara.

Ia menulis golput adalah bentuk protest vote. Ekspresi politik ini dilakukan dengan berbagai macam, mulai dari merusak kertas suara, tidak hadir saat pemilihan, atau secara teatrikal melakukan pemilihan umum tandingan.

Menurut Made, golput adalah sebuah tindakan aktif dalam melakukan protes. Artinya, sebagai sebuah protes, golput tentu harus ditunjukkan kepada orang lain.

Ia mencontohkan ketika sekitar 3.000 warga Cikuasa Pantai dan Kramat Raya, Kota Cilegon, menyatakan akan golput dalam Pemilu 2019. Penyebabnya, tulis Made, mereka belum menerima ganti rugi penggusuran meski sudah menang di pengadilan.

Jika ditarik lebih jauh, golput ini juga pernah menjadi sikap politik Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Seperti dikutip Tempo, pada 20 September 2004, Gusdur tidak menggunakan hak pilihnya pada pilpres putaran kedua kala itu. Alasannya sebagai bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan KPU dalam menghalangi hak politik warga untuk dipilih dan memilih.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher, Mohammad Bernie & Riyan Setiawan
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Mufti Sholih