tirto.id - Pemilihan umum di Indonesia berlangsung lima tahun sekali dan itu diatur dalam konstitusi. Sejak Indonesia memasuki era pasca-Soeharto, pada setiap pemilu aturan tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden selalu berganti. Dengan kata lain, Indonesia tidak pernah memiliki standar yang jelas dan pasti dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden.
Semasa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, Indonesia tidak punya aturan soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Pemilihan pasangan pemimpin negara dilakukan lembaga legislatif tertinggi, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada masa Demokrasi Terpimpin dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada zaman Orba. Dalam dua periode politik ini, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat adalah sistem yang asing bahkan seperti diharamkan.
Aturan pertama tentang pemilihan presiden zaman Orba dikeluarkan MPR pada 1973. Dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1973, diatur bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan fraksi-fraksi yang ada di MPR. Jika calon lebih dari dua, maka akan ada pemungutan suara yang sifatnya rahasia. Bila calonnya tunggal, maka MPR bisa langsung mengesahkan yang bersangkutan menjadi presiden.
Pemilihan wakil presiden lebih unik lagi, yakni dilakukan setelah pemilihan presiden. Dalam ketentuannya, wakil presiden harus menyatakan secara tertulis dapat bekerja sama dengan presiden. Bila perlu, presiden juga harus membuat pernyataan tertulis untuk mendukung pernyataan calon wakil presiden. Ini artinya pemilihan wakil presiden sangat ditentukan oleh presiden sendiri.
Jika selama Orde Baru presiden selalu terpilih secara aklamasi karena ketiadaan calon lain, pada 1999 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai presiden melalui pemungutan suara di MPR. Ini adalah untuk pertama kalinya Presiden Republik Indonesia terpilih secara demokratis lewat voting. Lawan Gus Dur saat itu adalah Megawati Soekarnoputri. Beberapa hari kemudian MPR mengadakan pemilihan wakil presiden—juga lewat mekanisme voting—dan Megawati terpilih sebagai wapres mendampingi Gus Dur. Kandidat wapres yang bersaing dengan Megawati adalah Hamzah Haz.
Dua tahun kemudian UUD 1945 mengalami amandemen ketiga (amandemen 2001). Salah satu pasal yang diamandemen adalah soal persentase dukungan terhadap presiden terpilih (Pasal 6) yang mengatur bahwa presiden terpilih harus mendapat dukungan 50 persen jumlah suara partisipan pemilu dan 20 persen suara di setiap provinsi dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Amandemen itu juga mengatur bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Untuk mengatur teknis pemilihan, DPR kemudian menyusun aturan baru tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Sejak itu pula masalah ini menjadi prahara tiap lima tahun.
Ketergantungan pada Partai Besar
Pemerintah dan DPR periode terakhir (2014-2019) membuktikan DPR punya banyak pekerjaan rumah menyelesaikan undang-undang. Dari 189 RUU Prolegnas, hanya 26 UU yang dibahas hingga rampung. Satu yang selesai adalah UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pembahasan UU Pemilu berjalan setidaknya hampir satu tahun terhitung dari Oktober 2016 sampai Agustus 2017. Setelahnya, UU Pemilu diwarnai berbagai gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Pembahasan panjang itu tentu mengorbankan pelbagai UU yang lain. Setiap berganti periode, maka UU Pemilu juga menjadi agenda rutin yang harus dibahas, begitu pula pemerintah dan DPR periode 2019-2024. Apalagi masalah yang dibahas juga itu-itu saja: ambang batas pencalonan presiden.
Saat ini ambang batas pencalonan presiden adalah 20 persen suara nasional atau disetarakan dengan 25 persen perolehan kursi parlemen. Pada Pemilu 2004 dan 2009, ambang batas ditetapkan pada angka 15 persen atau setara dengan 20 persen perolehan kursi di DPR. Dalam UU Pemilu yang tengah digodok di DPR, ada partai yang menginginkan ambang batas ini kembali pada angka 15 persen, bahkan ada juga yang berniat menjadikannya 10 persen.
Sebagian besar alasan penurunan itu karena mereka menginginkan kontestasi yang lebih luas agar tidak mengulang peristiwa Pemilu 2019. Polarisasi yang terjadi saat itu sangat intens karena hanya ada dua pilihan. Dengan komposisi parlemen seperti sekarang, bila ambang batas tetap di angka 20 persen, bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi lagi.
Perolehan suara nasional partai pada 2019 sebagai berikut: PDIP 19,33 persen; Gerindra 12,57 persen, Partai Golkar 12,31 persen; PKB 9,69 persen; Nasdem 9,01 persen; PKS 8,21 persen; Demokrat 7,77 persen; PAN 6,84 persen; dan PPP 4,52 persen.
Jika tetap 20 persen, belum tentu hanya dua kubu yang berkontestasi. PDIP, misalnya, bisa berkoalisi dengan PPP yang suaranya paling rendah sekalipun. Golkar bisa berkoalisi dengan Nasdem. Gerindra bisa berkoalisi dengan PKS kemudian ditambah salah satu dari PAN, Demokrat, atau PKB. Kalau hanya mempertimbangkan suara nasional, bisa saja ada empat calon, tapi mempertimbangkan perolehan kursi di DPR, tiga calon sudah maksimal.
Peluang ini pun kecil, meski kemungkinan munculnya poros ketiga bisa saja ada. Namun tidak semua partai mau mengambil risiko mengeluarkan dana besar untuk sekadar memecah suara tanpa ada kemungkinan menang.
Pada Pilpres 2019 Gerindra bisa saja memilih berpasangan dengan PAN. Kemudian Demokrat-PKS-PKB berkoalisi membentuk poros ketiga. Tapi pilihan ini tidak diambil Demokrat ataupun PKS dan PKB. Selain faktor kedekatan partai, kerugian yang ditimbulkan apabila nantinya gagal—biaya kampanye, dampak elektoral, dan pembagian kekuasaan—tentu menjadi pertimbangan utama.
Efek samping dari presidential threshold 20 persen adalah ketergantungan pada partai dengan suara besar. Partai dengan suara minim justru akan berebut untuk bisa bergabung dengan partai seperti PDIP dan Gerindra. Partai dengan suara kecil tidak punya kesempatan mengusung calon presiden dan wakil presiden atau kemunculan tokoh alternatif lainnya.
Kemungkinan besar, ini menjadi lingkaran setan di mana partai besar akan terus berkuasa. Keadaan ini, berkaca dari sejarah politik kontemporer Indonesia, bisa berhenti apabila partai petahana melakukan blunder seperti zaman SBY. Kala itu banyak pelaku korupsi dari Partai Demokrat.
PDIP yang sekarang memegang suara tertinggi tentu memilih bertahan dengan ambang batas 20 persen ini. Dengan aturan yang ada, tidak mungkin PDIP tidak mengirim calonnya menjadi presiden atau wakil presiden.
Alasan PDIP tetap tak mau mengurangi presidential threshold, sebagaimana dikemukakan Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu Bambang Wuryanto, adalah kondisi politik bisa gaduh dan calon yang dipersiapkan partai tidak lagi berkompeten.
"Kalau itu (ambang batas) nol persen, siapa pun bisa mencalonkan presiden. Kalau semua bisa mencalonkan presiden betapa gaduhnya republik ini, itu satu. Iya toh. Wong sampeyan bisa mencalonkan presiden kok, maka (usulan 0%) itu [bisa bikin] gaduh," tutur Bambang seperti dikutipSINDOnews, Jumat (12/6/2020).
Secara tidak langsung, Bambang juga mengakui sepatutnya partai dengan suara besar lah yang harus mengirimkan calon presiden dan menang. Jika tidak, pemerintahan tidak akan berjalan lancar karena tak ada dukungan dari parlemen.
Memang dalam pengesahan undang-undang, pemerintah dan DPR harus satu suara. Namun Bambang mengesampingkan faktor lobi-lobi politik yang bisa dipakai pemerintah dan DPR untuk mengegolkan kebijakan tanpa harus “menjual” kursi presiden ke partai besar semata.
Pembatasan Sia-Sia
Seiring pembatasan calon presiden tersebut, partai politik juga sibuk dengan agenda penyederhanaan partai politik di parlemen. Salah satu penyederhanaan ini sebenarnya menguatkan agenda yang dikatakan Bambang Wuryanto, yaitu menguatkan koordinasi antara parlemen dengan pemerintah. Jika partai pemenang atau yang bersuara banyak menguasai parlemen dan sejalan dengan pemerintah, maka koordinasi antarlembaga bisa lebih baik.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, pembatasan ambang batas parlemen yang menguntungkan partai pemenang tidak jelas dasar hukumnya, tidak transparan, dan akuntabel.
Pemilihan angka 20 persen tidak diimbangi dengan pertimbangan yang matang. Metodologi pemilihan angka itu juga tak disampaikan kepada publik. Titi menangkap, ini hanya cara pemerintah mengurangi biaya penyelenggaraan pilpres. Jika calon yang terlibat hanya dua orang, maka kontestasi tak akan sampai pada putaran kedua yang memakan banyak biaya.
Padahal, kata Titi, dari dulu Indonesia tak pernah menganut sistem ambang batas untuk pencalonan presiden. Tidak seperti kata Bambang, yang menyaring capres-cawapres tetap partai politik. Hanya saja, dengan penghapusan ambang batas, setiap parpol bisa jadi lebih berani untuk mengusung calon yang punya ide dan gagasan inovatif, tanpa harus bergantung pada partai besar.
Titi menilai, landasan hukum Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) yang ada dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 sudah cukup. Mereka yang terpilih setidaknya harus mendapat 50 persen lebih suara dan 20 persen suara di setiap provinsi dari setengah provinsi di Indonesia.
“Pilihan yang beragam akan membantu partai lebih ideologis. Sebab ada kanal bagi pencalonan kader-kader terbaiknya,” kata Titi kepada Tirto, Minggu (28/6/2020).
Menjelang Pemilu 2024, seharusnya masalah ambang batas presiden sudah selesai diperdebatkan. Indonesia harus bisa menemukan angka yang tepat agar masalah seperti ini tak lagi jadi pembahasan menahun. Dan satu yang ditawarkan menjadi solusi oleh Titi adalah penghapusan ambang batas itu atau setidaknya tidak pada angka 20 persen.
“[Berkaca pada pemilu 2019] Masyarakat terbelah akibat hegemoni politik identitas yang dipicu oleh polarisasi calon yang hanya ada dua sejak tahun 2014. […] Akhirnya kita membayar amat mahal sebagai implikasi upaya mengurangi paslon di pilpres,” ucap Titi lagi.
Perkaranya, partai besar seperti PDIP dan Golkar dan pemerintah belum tentu mau bersepakat mengurangi angka 20 persen atau bahkan menghapuskannya. Prahara ini sepertinya belum akan selesai.
Editor: Ivan Aulia Ahsan