Menuju konten utama

Wacana Omnibus Law Pemilu: Aksi Penyelarasan atau Konflik Baru?

Saat ini memang waktu yang tepat untuk melakukan perbaikan atas Undang-Undang Politik dan Kepemiluan yang ada. Apa urgensinya?

Wacana Omnibus Law Pemilu: Aksi Penyelarasan atau Konflik Baru?
Seorang warga memasukkan surat suara ke dalam kotak suara pada simulasi pemungutan suara pilkada di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (13/11/2024). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/tom.

tirto.id - Wacana merevisi paket Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Partai Politik, dan Undang-Undang Pilkada lewat metode Omnibus Law kembali bergaung usai Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.

Pada November tahun lalu wacana ini juga sempat diusulkan oleh Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy, yang menilai revisi ini bertujuan agar sistem pemilu di Indonesia memiliki kepastian hukum. Politikus Partai Nasdem itu mengatakan, Komisi II telah menyepakati dengan pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk merevisi tiga aturan itu lewat mekanisme Omnibus Law.

"Satu objek yang sama, dibawa ke Bawaslu putusannya A, dibawa ke peradilan perdata putusannya jadi B, dibawa ke MK putusannya jadi C menimbulkan ketidakpastian hukum dan itu tentu dalam konteks sistem politik dan pemilu kita merugikan banyak pihak," kata Rifqinizamy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mempertimbangkan penggunaan metode Omnibus Law untuk merevisi delapan Undang-Undang (UU) terkait sistem politik dan pemilu.

"Makanya saya mengusulkan, sudah kita harus mulai berpikir tentang membentuk undang-undang politik dengan metodologi Omnibus Law. Jadi, karena itu saling terkait semua," tutur Doli.

Delapan UU yang bakal direvisi dengan metode Omnibus Law antara lain UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Kemudian, UU Pemerintah Daerah, UU DPRD, UU Pemerintah Desa, dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. "Nah, makanya mungkin perlu dibuat di metodologi Omnibus Law," kata Doli.

Wacana ini kembali mencuat baru-baru ini usai Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen. Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menanggapi peluang pembahasan UU kepemiluan dengan sistem Omnibus Law atau disatukan dengan UU yang berkaitan. Menurut Adies, hal itu memungkinkan.

"Ya itu nanti akan dibahas, semua mungkin, semua mungkin. Karena ini kan menyangkut dengan pemilu legislatif, pilkada, dan juga pilpres. Nanti seperti apa akan dibuat rekayasa-rekayasa konstitusional, kita serahkan dari Komisi II dan para stakeholder terkait," katanya.

Angin Segar untuk Penyelarasan Aturan

Sekretaris Jenderal Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Azka Abdi Amurrobi, menilai saat ini memang waktu yang tepat untuk melakukan perbaikan atas Undang-undang politik dan kepemiluan yang ada. Hal ini disebabkan saat ini banyak ditemukan ketidakselarasan pasal dalam undang-undang soal kepemiluan seperti dalam UU Pilkada dan UU Pemilu yang menimbulkan kebingungan dalam praktik pelaksanaan dan penegakan hukumnya.

Dalam kasus ini, Azka mencontohkan frasa ’politik uang’ yang memiliki perbedaan tafsir di UU Pilkada dan UU Pemilu.

“Di UU Pilkada, politik uang itu mencakup pemberi dan penerima uang di seluruh tahapan itu akan terkena hukuman jika melakukan. Sementara, di UU Pemilu diatur bergantung pada tahapannya. Misal, di tahapan kampanye dan masa tenang itu tidak seluruh orang akan ditangkap. Beda lagi di tahapan pemungutan suara itu klausulnya beda,” Ujar Azka saat dihubungi Tirto, Senin (16/1/2025).

KISP sendiri mencatat ada tiga UU yang harus menjadi fokus utama perbaikan dan penyelarasan yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

“KISP sendiri setuju dengan adanya perbaikan dan penyelarasan Undang-Undang terkait politik dan kepemiluan mengingat memang banyak yang harus diselaraskan, dikodifikasi ataupun mungkin nanti DPR menggunakan kata Omnibus Law,” ujarnya.

Meski begitu, ia mengusulkan wacana revisi dan penggabungan UU Politik dan Kepemiluan dinilai lebih cocok dalam metode kodifikasi, bukan Omnibus Law.

“Kalau Omnibus Law itu kan menggabungkan seluruh Undang-undang tanpa mencabut beberapa pasal. Jadi, semacam digabungkan terus kemudian memang ada evaluasi. Tapi kalau kodifikasi itu Undang-Undang yang lamanya sudah tidak berlaku. Jadi semacam membuat undang-undang baru,” ujarnya.

Senada, Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, juga menilai wacana revisi dan penggabungan paket UU Politik dan Kepemiluan lebih tepat dilakukan dengan konsep kodifikasi bukan Omnibus Law.

Arif berpendapat, belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pada kasus Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat banyak poin yang tidak efektif terutama soal peraturan turunannya yang saling tumpang tindih.

“Karena kalau kita belajar dari sebelumnya metodologi Omnibus Law ini tidak fokus dalam hal merangkai satu undang-undang ke undang-undang lainnya gitu. Dan implementasi dari Undang-undang itu jadi nggak kurang efektif gitu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (16/1/2025).

Secara keseluruhan, ia sepakat terkait adanya pembahasan paket UU politik dan kepemiluan ini. Harapannya, paket ini nantinya tidak hanya mengatur soal politik dan kepemiluan tapi juga hubungan keuangan antar pusat dan daerah.

“Kabarnya UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) yang sudah disahkan di periode sebelumnya itu akan dimasukkan dalam paket politik ini gitu. Ini bagus akan memperjelas mana yang menjadi core-nya pemerintah daerah dan pusat,” ujarnya.

Arif menilai, adanya wacana ini merupakan sebuah terobosan dalam hal penguatan sistem perpolitikan di Indonesia. ”Terobosan dalam arti pertama antara hulu dan hilir ini selaras gitu. Hulunya adalah Undang-undang pemilu menghasilkan kandidat-kandidat yang berintegritas. Hilirnya nanti kelembagaan DPR dan eksekutifnya gitu,” katanya

Ia juga berpesan paket politik ini nantinya tidak hanya membahas Pemilu dan DPR nya saja tapi harus berani menguatkan aturan terkait reformasi partai politik. Salah satu contohnya adalah memberikan kewenangan kepada partai politik untuk menguatkan identitasnya.

“Itu kan bisa menjadi ruang bagi partai politik untuk paling tidak memikirkan anggota-anggotanya yang memiliki kompetensi dan sebagainya. Karena kan selama ini kita tidak memungkiri bahwa kanderisasi partai politik ini kan mandat gitu. Akhirnya, calon yang muncul hanya yang punya uang sehingga menciptakan biaya politik yang tinggi,” kata Arif.

Lalu, poin-poin penting apa saja yang harus diawasi dalam penggabungan paket UU Politik dan Kepemiluan lainnya?

Catatan Penting untuk DPR

Azka dari KISP memberi catatan jika nantinya DPR bersama pemerintah melakukan penggabungan paket UU Politik dan Kepemiluan melalui konsep kodifikasi ataupun Omnibus Law nantinya, masyarakat sipil harus memperhatikan adanya potensi conflict of interest atau konflik kepentingan yang terjadi.

“Pasti ada kepentingan yang ingin syarat pendirian parpol dipersulit, syarat pencalonan di pilkada dipersulit dan lainnya. Apalagi dengan penghapusan presidential threshold bisa jadi dong parliamentary threshold juga diturunkan? Tapi berbeda jika anggota DPR ada yang bilang kalo parliamentary threshold tidak boleh diturunkan karena misal tidak boleh banyak partai di DPR,” ujarnya.

Belajar dari pengalaman pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, ia meminta pihak terkait seperti DPR dan pemerintah untuk lebih melibatkan masyarakat sipil dalam proses revisi dan pembahasan Omnibus Law Politik ini. “Misalnya tentang perwakilan kelompok-kelompok marginal di dalam peserta pemilu ataupun pilkada. Pelibatan anak muda, keterwakilan perempuan dan lainnya,” kata Azka.

Terpisah, Arif dari IPC memberi catatan poin-poin penting yang mesti diawasi dalam paket pembahasan undang-undang politik ini. Pertama, jangan sampai putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden 20 persen itu tidak diakomodir atau dihapus.

“Sejatinya, adanya revisi dan penggabungan ini untuk mengakomodir dan memperkuat putusan MK terkait ambang batas presiden. Nah, jangan sampai justru putusan MK ini malah disiasati, dicari lah formulasi supaya bisa menyiasati gitu lah,” ujarnya.

Selain itu, poin penting yang harus diawasi adalah soal pilkada serentak. “Kemudian bisa juga wacana paket politik ini menyiasati aturan untuk Pilkada tidak langsung. Kemarin kan ada mereka (DPR dan partai) yang menganggap biaya selama ini itu cukup besar untuk Pilkada langsung,” tambahnya.

Arif pesimistis bahwa, pembahasan paket Omnibus Law Politik ini akan rampung dalam waktu yang cepat. Sebabnya, dari segi peta politik ia melihat masing-masing fraksi partai di DPR memiliki kepentingan masing-masing yang berbeda.

“Bahkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) belum tentu satu pandangan soal poin-poin pembahasan. Karena ini menyangkut nasib mereka juga di Pemilu 2029. Dan belum tentu juga partai yang di luar pemerintah ini akan berbeda pandangannya dengan Kim Plus gitu,” tutup Arief.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, mengatakan bakal langsung membahas beragam hal termasuk wacana pembentukan undang-undang sapu jagat atau Omnibus Law Pemilu saat Rapat Pimpinan (Rapim) DPR RI ketika memasuki masa sidang pada Selasa (21/1/2025).

"Jadi kita berharap masalah-masalah, semua masalah yang ada bisa segera kita selesaikan, termasuk tadi yang ditanyakan Omnibus Pemilu," kata Adies seperti yang dikutip dari Antara, di Jakarta, Rabu (15/1/2025).

Lebih lanjut, politisi Partai Golkar itu mengatakan DPR RI juga akan menggelar sejumlah forum diskusi untuk mendengarkan masukan dari masyarakat hingga akademisi tentang wacana pembentukan undang-undang sapu jagat tersebut.

"Nanti masukan-masukan ini bisa kita bawa pada saatnya nanti kalau dibahas RUU ini di Komisi II," kata dia.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang