Menuju konten utama

Nasib Revisi UU Omnibus Law Keuangan dan Dampaknya pada BI

Revisi omnibus law sektor keuangan ini diyakini tidak akan mengubah tujuan dan fungsi Bank Indonesia. Apa yang berubah?

Nasib Revisi UU Omnibus Law Keuangan dan Dampaknya pada BI
Gedung Bank Indonesia di Solo. Flickr/Aditya Darmasurya

tirto.id - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah memulai proses revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau P2SK. Revisi UU yang juga sering disebut sebagai omnibus law sektor keuangan ini dilakukan dalam rangka menaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Judicial Review (JR) UU P2SK.

Melalui putusan yang dibacakan pada 2 Januari 2025 itu, MK menyetujui permohonan para pemohon, Giri Ahmad Taufik, Wicaksana Dramanda dan Mario Angkawidjaja yang meminta agar keterlibatan Menteri Keuangan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dianulir. Keterlibatan Menteri Keuangan dinilai bakal menciptakan pengaruh yang tidak semestinya, melanggar jaminan sistem perbankan yang independen, serta hak-hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 23 D, 28C ayat 2 dan 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu, ada pula bahasan terkait pengangkatan penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Sementara kita rumuskan soal putusan JR dari MK: (1) penyidik di sektor keuangan (OJK), (2) mekanisme anggaran LPS,” kata Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, melalui pesan singkat kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).

Meski pada awalnya revisi hanya akan dilakukan pada dua ketentuan terkait LPS dan OJK, namun legislator dari Partai Golongan Karya (Golkar) itu tak menampik jika pembahasan akan melebar, dengan memasukkan pula usulan terkait penambahan mandat kepada Bank Indonesia (BI). Dalam hal ini, bank sentral diusulkan untuk dapat mendukung pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan.

Selain itu, ada pula usulan untuk mempermudah skema berbagi beban alias burden sharing yang tadinya hanya diperbolehkan dalam kondisi kritis. Dengan usulan ini, BI diharapkan akan lebih mudah pula membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah di pasar primer (domestik).

“(Pembahasan) masih berlanjut. Semuanya masih dalam tahap diskusi dan usulan. Yang utama 2 hal putusan MK. Selebih masih dalam taraf pembicaraan,” beber Misbakhun.

Namun yang pasti, melalui momentum ini, revisi UU P2SK diharapkan dapat memperkuat fungsi BI dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Sesuai dengan amanat Pasal 7 UU P2SK Bagian Kelima, Bank Indonesia, yang menyebutkan bahwa tujuan Bank Sentral adalah mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran dan turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Kita sedang membicarakan, tapi belum diputuskan. Karena kita ingin memperkuat BI. Kita berikan dalam peran (mendukung) pertumbuhan (ekonomi),” tutur Misbakhun, dalam Capital Market Forum 2025, di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (21/3/2025).

Penambahan mandat ini layaknya mengembalikan muruah BI, karena sejak krisis ekonomi 1998, peran bank sentral dalam mendukung pertumbuhan ekonomi semakin dipersempit. Berbeda dengan negara lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, hingga Jepang yang tetap menjaga tugas dan fungsi bank sentral untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik masing-masing negara.

Meski begitu, BI dipastikan akan tetap independen dalam prosesnya mendukung pertumbuhan ekonomi. “BI tetap independen dalam prosesnya, Tetapi tujuan bernegara harus tetap ada, yaitu menciptakan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas harus menciptakan lapangan kerja,” tambah Misbakhun.

Apa Dampaknya pada Bank Indonesia?

Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan usulan penambahan mandat BI dalam revisi UU P2SK ini merupakan penegasan kembali atas amanat Pasal 7 UU P2SK yang selama ini juga telah dilaksanakan BI. Dus, revisi omnibus law sektor keuangan ini diyakininya tidak akan mengubah tujuan dan fungsi bank sentral.

Sebaliknya, meski mendapat tambahan tugas, BI akan tetap mengedepankan fungsi sebagai stabilisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, yang dilakukan melalui sinergi kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal dan dukungan pemerintah kepada sektor riil.

“Ini perlu ada penegasan-penegasan yang di dalam Undang-Undang P2SK. Tidak berarti bahwa ini mengubah konstruksi secara tujuan Undang-Undang yang sudah ada di Pasa 7. Lebih banyak menjelaskan yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan ada stabilitas, pertumbuhan lapangan kerja. Dan yang kedua, Bank Indonesia akan mengutamakan stabilitas,” jelas Perry, dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2025, dikutip Minggu (23/3/2025).

Secara ideal, bank sentral memiliki dua fungsi, yaitu terkait dengan pengendalian inflasi dan penciptaan lapangan pekerjaan. Keduanya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi domestik.

Sebagai contoh, saat inflasi tinggi lalu, bank sentral memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan, praktis akan membuat kinerja investasi semakin tercekik yang pada akhirnya dapat berdampak pada pelambatan penciptaan lapangan kerja baru. Sebab, kenaikan suku bunga acuan bisa mempengaruhi peningkatan suku bunga kredit perbankan.

“Jadi itu biasa saja, walaupun transmisinya memang agak lama dari moneter ini, ketimbang dari fiskal. Tapi memang tugasnya itu salah satunya. Jadi menjaga inflasi, price stabilization ini itu kan sebenarnya dalam rangka untuk mengawal pertumbuhan ekonomi,” ujar Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P Sasmita, kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).

Jika ditilik kembali, sebelum 2005, bank sentral di banyak negara memiliki dua tugas. Namun, setelah itu terjadi pergeseran tren, di mana bank sentral hanya memilih fokus untuk menjaga tingkat inflasi yang disebut juga sebagai inflation targeting framework. Dus, bank-bank sentral dunia, termasuk BI hanya fokus untuk menjaga stabilisasi harga dengan mengendalikan peredaran uang dan melalui mekanisme suku bunga.

Sementara dengan penambahan tugas ini, Bank Indonesia nantinya dapat memutuskan untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi moneter. Dalam hal ini, pemerintah sama sekali tidak boleh mengintervensi, secara langsung meminta BI untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan.

“Karena secara saintifik dan secara faktual, bank sentral dibutuhkan untuk menaikkan suku bunga. Jadi pemerintah tidak boleh mengintervensi,” tegas Ronny.

Independensi Bank Indonesia

Untuk menjaga independensi BI, pemerintah hanya boleh memberi masukan atau tanggapan, termasuk kritik terhadap kebijakan moneter yang sepenuhnya diputuskan Bank Sentral. Dalam hal ini, BI dan pemerintah hanya berkolaborasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan penciptaan lapangan pekerjaan. Bukan saling mengintervensi.

“Jadi, kalau sekadar meminta tanggapan, untuk membantu kan nggak masalah. Namun, tugasnya itu gitu, bank sentral secara moneter, sementara Menteri Keuangan secara fiskal. Mereka memang berkolaborasi, biasanya untuk mendatangkan pertumbuhan ekonomi tinggi,” sambung Ronny.

Dalam penentuan kebijakan moneter, intervensi pemerintah seperti meminta BI untuk memberikan suku bunga lebih tinggi atau rendah bagi sektor-sektor industri tertentu, bisa sangat berbahaya bagi bank sentral atau bahkan perekonomian domestik. Sebab, intervensi tersebut dapat menimbulkan represi finansial atau penindasan keuangan.

Mengutip Forbes, represi finansial adalah metode yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan pajak dan utang dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan menjaga tingkat suku bunga di bawah inflasi, yang secara efektif membebani para penabung di negara tersebut. Sisi positifnya adalah pinjaman murah dan produk kredit tersedia untuk dipinjam, yang dapat mengarah pada pertumbuhan ekonomi.

Padahal, dalam suku bunga kredit harus didasarkan pada kemampuan BI dan juga perbankan nasional. Sehingga, realisasi penyaluran kredit kepada sektor-sektor industri yang ada tidak justru memberikan tekanan kepada Bank Sentral maupun perbankan.

“Kalau menurut Bank Indonesia cuma bunga bisa diturunkan sampai sekian-sampai sekian, jangan dipaksa lebih turun. Karena ini berbahaya juga kan salah satu sebab krisis kita yang lalu-lalu. Karena faktor represi finansial, sehingga tidak lagi prudensial dalam memberikan kredit karena kreditnya murah,” jelas Ronny.

Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa BI memang tidak seharusnya hanya mengemban tugas sebagai stabilisator nilai tukar dan pengendali devisa hasil ekspor saja, melainkan perlu mendukung penciptaan lapangan kerja. Dengan mandat ini, BI diharapkan bisa dorong suku bunga lebih rendah, setidaknya 75-100 basis poin (bps) dari suku bunga acuan saat ini yang berada di level 5,75 persen.

Dus, beban bunga pinjaman lebih rendah. Sehingga, sektor-sektor industri yang saat ini kelimpungan karena daya beli rendah bisa menggunakan selisih pengurangan bunga untuk merekrut tenaga kerja baru.

“Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai mandat mendukung lapangan kerja diartikan BI jadi underbow (onderbouw/Bahasa Belanda dari bangunan dasar) pemerintah. BI tidak boleh independensinya dilemahkan,” tegasnya, kepada Tirto, dikutip Minggu (23/3/2025).

Bahkan tugas ini juga tidak boleh dijadikan alasan pemerintah untuk melanjutkan skema burden sharing dengan BI, sehingga bank sentral terus menjadi penjamin emisi atau standby buyer SBN. Apalagi, jika penerbitan surat utang tersebut hanya akan digunakan untuk merealisasikan program Asta Cita, seperti pembangunan 3 juta rumah.

“Itu berisiko tinggi. Jadi BI hanya bisa bermanuver menciptakan lapangan kerja dengan konteks kebijakan moneter yang hati-hati,” imbuh Bhima.

Karenanya, untuk menjaga agar intervensi pemerintah terhadap BI tidak terus berlanjut, implementasi revisi UU P2SK harus dijaga melalui aturan turunan yang dalam hal ini adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dus, untuk menjaga independensi BI harus tergantung pada bagaimana cara Bank Sentral memagari agar tugas-tugas dan fungsinya tidak dicampuri pemerintah.

“Pertama, melarang BI membeli SBN di pasar primer atau tidak melanjutkan burden sharing. Kedua, tidak melakukan debt switching atau menukar utang SBN jatuh tempo dengan SBN yang tenornya lebih panjang. Harus lock di situ,” tegasnya.

BI pun harus berani merevisi ulang keputusan sebelumnya yang mana ia bersedia untuk menjadi standby buyer dalam SBN Perumahan. Dalam hal ini, pembelian SBN akan digunakan untuk dua hal: debt switching atau konversi utang atas utang jangka pendek pemerintah kepada BI ke utang jangka panjang dan sebagai dukungan pembiayaan program Asta Cita Prabowo-Gibran.

Skema debt switching ini akan dilakukan untuk utang jatuh tempo 2025 sebesar Rp100 triliun. Utang jatuh tempo ini berasal dari pembelian SBN saat Pandemi COVID-19 dalam rangka pelaksanaan burden sharing atau konsep berbagi beban antara pemerintah dan BI dalam menghadapi krisis ekonomi.

“Kita sudah ingatkan sejak Pandemi (Covid-19). Tapi, BI makin lemah bargaining power-nya. Kalau soal itu (pembeli SBN Perumahan), sebaiknya direvisi ulang (keputusan) BI. Itu nggak baik untuk BI jangka panjang,” sambung Bhima.

Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual, mengatakan, semakin besarnya kepemilikan BI di surat utang pemerintah, akan membuat independensi bank sentral dipertanyakan. Sebab, kepemilikan SBN yang terlalu besar pada akhirnya akan membebani neraca pembayaran BI. Hal itu sekaligus menjadikan kebijakan moneter ke depan menjadi kurang efektif, sehingga nilai tukar rupiah dan tingkat inflasilah yang pada akhirnya akan menjadi korban.

“Kita harus jaga juga independensi dari bank sentral, ya. Dampaknya jangka menengah-panjangnya kan kalau terlampau relaks, terlampau longgar [likuiditas], juga akan berdampak pada fundamental ekonomi yang lain, inflasi. Meskipun, sejauh ini inflasi masih terkendali, masih rendah,” ujar Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual, saat dihubungi Tirto, dikutip Minggu (23/3/2025).

Baca juga artikel terkait BANK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang