tirto.id - Revisi UU KPK (Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah resmi diusulkan oleh DPR RI. Pengesahan usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR itu dilakukan dalam rapat paripurna kilat selama 20 menit yang dihadiri 70-an anggota dewan, pada hari ini.
Pimpinan KPK menolak keras usulan DPR itu. Saat menyampaikan pernyataan itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengawalinya dengan kalimat yang menggambarkan kondisi lembaganya saat ini.
"Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk," kata Agus dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis (5/9/2019).
Menurut Agus, ada sejumlah hal dalam draf revisi UU KPK yang dapat melumpuhkan Lembaga Antirasuah. Misalnya, kata dia, ada ketentuan yang mengancam independensi KPK.
“Atas kondisi di atas, KPK perlu menyampaikan sikap menolak revisi UU KPK,” ujar dia.
Agus meminta DPR RI tidak menggunakan wewenangnya dalam pembuatan undang-undang untuk melemahkan KPK. Selain itu, karena revisi UU tersebut tak mungkin lolos menjadi undang-undang tanpa persetujuan pemerintah, Agus berharap Presiden Jokowi konsisten dengan pernyataannya bahwa ia tidak akan melemahkan KPK.
Dia menyarankan Jokowi membahas terlebih dulu usulan revisi UU KPK bersama para akademikus, ahli, masyarakat dan lembaga terkait, guna memastikan hal itu perlu dilakukan atau tidak.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman juga menilai sejumlah ketentuan di dalam draf revisi UU KPK bisa melemahkan Komisi Antirasuah. Yang paling ia soroti ketentuan soal perekrutan penyidik dan penyelidik, serta penuntutan.
"Jika draf [revisi] ini lolos menjadi undang-undang, independensi KPK runtuh dan KPK menjadi 100 persen bergantung pada institusi lain," ujar Zaenur di Yogyakarta, hari ini.
Sebaliknya, anggota DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani mengklaim revisi UU KPK tidak dilakukan untuk melemahkan Komisi Antirasuah.
"Kalau persepsi teman-teman masyarakat sipil para pecinta KPK, itu kan mengatakan yang jadi latar belakang revisi untuk melemahkan KPK. Tapi, kami tidak melihat seperti itu," kata Arsul, pada hari ini seperti dikutip Antara.
Arsul mengatakan fraksinya setuju dengan pernyataan Jokowi bahwa perlu ada paradigma baru dalam pemberantasan korupsi. "Presiden menyampaikan, ke depan yang perlu dibangun, sistem yang menutup peluang perbuatan korupsi, bukan sekadar menangkap atau melakukan OTT," kata dia.
Adapun Jokowi mengklaim belum mengetahui isi draf revisi UU KPK sehingga enggan memberikan banyak komentar.
“Ya itu inisiatif DPR, saya belum tahu isinya,” kata Jokowi di Pontianak. “Saya belum tahu. Jadi, saya belum bisa menyampaikan apa-apa.”
Berdasarkan catatan Komisi Antikorupsi, setidaknya terdapat sembilan kategori ketentuan yang bermasalah dalam draf revisi UU KPK. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1. Mengancam independensi KPK
- KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun
- KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat
- Pegawai KPK dimasukkan dalam kategori Aparatur Sipil Negara (Catatan: Ketentuan ini bisa mengganggu independensi pegawai KPK yang menangani kasus korupsi di institusi pemerintahan)
- Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas KPK
- Penyadapan diberi batas waktu 3 bulan (Catatan: Berdasar pengalaman KPK, penanganan kasus korupsi membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang)
- Dewan Pengawas KPK dipilih DPR dan menyampaikan laporan ke DPR setiap tahun (Catatan: DPR memperbesar kewenangannya menjadi tidak hanya memilih pimpinan KPK tetapi juga memilih Dewan Pengawas)
- Sejumlah kegiatan penanganan perkara harus mendapatkan izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan (Catatan: Aturan ini memperpanjang birokrasi penanganan perkara sehingga akan memperlambat kerja KPK)
- Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri
- Penyidik KPK hanya berasal dari Polri dan PPNS (Catatan: Ketentuan ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bahwa KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri)
- KPK diharuskan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan (Catatan: aturan ini mereduksi independensi KPK dalam penanganan perkara serta bisa memperlambat kerja KPK)
- Ketentuan di Pasal 11 huruf b UU KPK tentang salah satu kriteria kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak lagi tercantum, yaitu: suatu kasus mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat (Catatan: Pemberantasan korupsi dilakukan sebab merugikan dan meresahkan masyarakat. Peran masyarakat justru dibutuhkan agar pemberantasan korupsi berhasil)
- Pengambilalihan perkara oleh KPK hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan
- KPK tidak bisa lagi mengambil alih penuntutan, seperti yang sekarang diatur dalam Pasal 9 UU KPK
- Sejumlah kewenangan KPK dalam proses penuntutan dihilangkan, yakni: pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait kasus korupsi, meminta bantuan Polri dan Interpol
- Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi (Catatan: Aturan ini mempersulit KPK melihat kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan penyelenggara Negara)
- Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi dalam pelaporan LHKPN (Catatan: KPK masih menemukan ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi)
Editor: Agung DH