tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Salah satu poin yang direvisi adalah mengatur kewenangan KPK dalam menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi perkara korupsi yang tak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa memandang wajar bila suatu aparat penegak hukum bisa menerbitkan SP3 perkara. Apalagi, kata Desmond, Indonesia adalah negars hukum yang memerlukan kepastian hukum dalam suatu kasus.
"Dalam negara hukum harus ada SP3 karena ini bicara tentang kepastian hukum," jelas Desmond di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2019).
Sebagai informasi, dalam draf revisi UU KPK, ketentuan SP3 tercantum dalam Pasal 40 ayat 1 yaitu "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun".
Kemudian pasal 40 ayat 2 menyatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK. Laporan harus dilakukan dalam jangka waktu satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3. Namun demikian, jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan, Pimpinan KPK dapat mencabut surat SP3 tersebut.
Politikus Partai Gerindra ini membantah bila masuknya kewenangan KPK memperbolehkan SP3 sebagai bentuk upaya pelemahan KPK. Ia menganggap lucu bila ada narasi yang menyatakan DPR tengah melemahkan KPK lewat penerapan sistem tersebut.
"Masa dalam negara hukum yang hari ini tidak ada kepastian hukum karena tidak ada SP3 tentang kepastian orang hukum atau tidak itu dianggap melemahkan, kan lucu," ucap Desmond.
Senada dengan Desmond, Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi melihat banyaknya kasus yang ditangani KPK membuat beberapa kasus tidak ditangani dengan tuntas. Taufiq mencontohkan kasus proses pengadaan Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II yang menjerat mantan direktur utamanya, Richard Joost Lino. Sampai saat ini RJ Lino masih berstatus tersangka padahal kasus ini sudah lebih dari satu tahun.
"Dari situ saya beranggapan hal seperti itu tidak boleh lagi," jelas Taufiq di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.
Untuk itulah, kata Taufiq SP3 diperlukan oleh KPK. Bila nanti di dalam pembahasan diterima, menurutnya itu adalah hal yang sangat baik bagi kinerja KPK.
"Itu akan membuat KPK lebih bisa menyesuaikan diri," pungkasnya.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Andrian Pratama Taher