Menuju konten utama

Pimpinan KPK Sudah Semestinya Steril dari Konflik Kepentingan

Pasal 36 dan 37 UU KPK yang digugat Alex Marwata di MK adalah benteng terakhir independensi insan KPK.

Pimpinan KPK Sudah Semestinya Steril dari Konflik Kepentingan
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata melambaikan tangan usai menjalani pemeriksaan di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (15/10/2024). Polda Metro Jaya memeriksa Alexander marwata selama sembilan jam terkait pertemuan dengan terdakwa korupsi dan pencucian uang yang merupakan mantan Kepala Bea-Cukai Yogyakarta Eko Darmanto. ANTARA FOTO/Reno Esnir/app/YU

tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, melayangkan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Langkah tersebut dilakukan di tengah penyelidikan Polda Metro Jaya terhadap dugaan pelanggaran pidana yang melibatkan Alex. Alex diduga melanggar Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang KPK sebab bertemu Eko Darmanto.

Jika dirunut, pada Desember 2023, KPK menahan Eko atas kasus dugaan penerimaan gratifikasi dengan total Rp18 miliar. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Jawa Timur, menghukum Eko enam tahun penjara pada Agustus 2024.

Uji materi yang dilayangkan Alex persis menyasar pasal yang saat ini tengah membelit Alex, yakni Pasal 36 UU KPK soal larangan pimpinan KPK bertemu pihak beperkara. Selain itu, Alex turut meminta uji materi atas Pasal 37 tentang larangan pegawai KPK bertemu pihak yang tengah beperkara.

Dalam gugatannya, Alex merasa telah dirugikan atas adanya aturan tersebut. Pasalnya, kepolisian menjadikan Pasal 36 UU KPK sebagai landasan pemeriksaan terhadap Alex. Dia menilai pasal tersebut tidak jelas dan tidak memiliki kepastian.

Pasal 36 Huruf a UU KPK menegaskan bahwa pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.

Sementara itu, Pasal 37 menyatakan ketentuan Pasal 36 berlaku untuk tim penasihat dan pegawai yang bertugas pada KPK.

Alex berdalih bahwa Pasal 36 tersebut bisa menjadi alat kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Dia beralasan pertemuannya dengan Eko Darmanto merupakan bentuk menjalankan tugas seperti diatur dalam Pasal 6 UU KPK. Dia menerima Eko Darmanto yang saat itu menyampaikan dugaan tindak pidana korupsi secara resmi dengan didampingi staf KPK.

Hal ini menunjukkan secara nyata akibat ketidakjelasan batasan atau kategori larangan hubungan... dengan alasan apapun’pada pasal a quotelah menyebabkan Pemohon 1 harus menjadi terlapor atas dugaan tindak pidana (Bukti P-10)," demikian bunyi gugatan Alex.

Lewat keterangan tertulis kepada media, Alex menilai bahwa DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang semestinya menjelaskan dalam hal apa pertemuan atau komunikasi pimpinan serta pegawai KPK dan pihak beperkara dilarang. Misalnya, Alex memberi contoh, pertemuan atau komunikasi yang berakibat pada konflik kepentingan atau terhambatnya penanganan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK.

Kalau pertemuan atau komunikasi tidak mengganggu integritas insan KPK dan perkara yang ditangani juga lancar tanpa gangguan atau hambatan, apa layak dijatuhi sanksi etik, alih-alih dipidanakan?” kata Alex dalam keterangannya, Jumat (8/11/2024).

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, mengatakan bahwa Alex melakukan upaya untuk tidak tunduk pada dugaan pemeriksaan etik dan pidana atas dirinya. Menurutnya, sikap Alex itu akan menjadi preseden buruk yang merusak marwah KPK.

[Alex] merusak marwah lembaga dan mengganggu upaya pemberantasan korupsi,” kata Julius kepada reporter Tirto, Jumat (8/11).

Julius juga menilai upaya Alex itu bisa dibaca sebagai pelanggaran etik pimpinan KPK karena tidak patuh terhadap proses hukum dan ketentuan hukum yang berlaku. Dia yakin betul Alex sendiri mengetahui eksistensi dan implikasi Pasal 36 UU KPK yang melarangnya bertemu pihak beperkara.

Artinya, Alex sebenarnya memahami bahwa pertemuannya dengan Eko Darmanto dilarang dalam UU KPK. Seluruh pimpinan KPK yang lolos seleksi pastinya memahami aturan yang sakral ini. Oleh karena itu, langkah-langkah yang ditempuh Alex saat ini bisa dinilai sebagai upaya lari dari proses hukum.

Dia menyadari tapi tetap dilakukan, harusnya doubletanggung jawabnya. Sehingga, saat dia mengambil langkah hukum membatalkan pasal itu, ini malah jadi numpuk bergulung-gulung kesalahan etika Alex,” terang Julius.

Julis meminta Polda Metro Jaya segera menaikan perkara Alex ke tingkat penyidikan. Jika memungkinkan, segera melimpahkan berkas perkara Alex ke Kejaksaan. Hal ini agar tidak ada dalih dari Alex bahwa pasal yang digunakan untuk menjeratnya sedang diuji di MK.

Pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, memandang langkah Alex menggugat Pasal 36 dan 37 UU KPK itu sebagai sikap mengada-ada. Abdul menilai keberadaan kedua pasal tersebut sangat penting sebab pertemuan dengan pihak beperkara bisa melahirkan KKN dalam konteks penanganan perkara di KPK.

Abdul menduga Alex jelas memiliki kepentingan sebab bertemu Eko Darmanto. Karena ada kepentingan, Alex lantas menganggap pasal larangan bertemu pihak beperkara menjadi alat untuk kriminalisasi. Maka, kata Abdul, gugatan Alex bersifat subjektif dan mengada-ada.

Jika Alex tidak punya niat yang patut dicurigai, maka dia pasti tidak keberatan karena itu konsekuensi dari pejabat publik yang mengawasi seluruh pejabat publik di Indonesia,” ucap Abdul kepada reporter Tirto, Jumat.

Pimpinan KPK bukan malaikat, ia juga manusia yang punya nafsu dan kepentingan. Inilah mengapa, kata Abdul, aturan yang melarang mereka bertemu pihak beperkara amat penting posisinya. Maka pimpinan KPK yang tak bisa mengendalikan nafsunya pantas dihukum pidana sesuai UU KPK.

Sebaiknya pejabat seperti ini mundur atau dimundurkan saja,” terang Abdul.

Selain Alex Marwata, beberapa pimpinan KPK lain pun pernah terbelit urusan etik dan pidana karena bertemu dengan pihak beperkara di KPK. Misalnya, bekas Komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar, yang terbukti melanggar etik karena bertemu pihak beperkara dalam kasus korupsi Tanjung Balai. Dia terbukti telah berhubungan dengan Wali Kota Tanjung Balai, M. Syahrial. Lili pun belakangan mengundurkan diri dari KPK.

Lalu, ada bekas Ketua KPK, Firli Bahuri, yang sempat menemui Lukas Enembe, tersangka kasus dugaan suap proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua. Belakangan, pertemuan ini tidak dianggap pelanggaran etika karena dianggap dalam rangka tugas.

Dalam perkara lain, Firli juga bertemu dengan terpidana korupsi bekas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Firli diduga menerima gratifikasi penanganan perkara korupsi di Kementan dan membuatnya dipecat dari KPK.

Menghindari Konflik Kepentingan

Sementara itu, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menilai gugatan uji materi Alex di MK merupakan hak konstitusional warga negara. Dia menghormati langkah yang diambil Alex untuk menguji Pasal 36 dan 37 UU KPK.

Namun, Zaenur menilai bahwa norma dalam kedua pasal tersebut sudah tepat sebagaimana adanya.

Karena, memang KPK dengan kewenangan sangat besar itu rawan untuk disalahgunakan,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Jumat.

Menurut Zaenur, pertemuan antara pimpinan atau pegawai KPK dengan pihak yang beperkara memang rentan menimbulkan kongsi jahat. Namun, sebetulnya larangan itu memiliki suatu kondisi pengecualian yang sudah diatur juga dengan jelas dalam UU KPK.

Misalnya, saat insan KPK harus bertemu pihak yang beperkara demi menjalankan tugasnya, seperti memberikan surat panggilan, pemeriksaan atau urusan kedinasan lainnya. Selain itu, pertemuan-pertemuan yang sifatnya tidak disengaja atau tidak direncanakan, juga tidak termasuk dalam Pasal 36 dan 37 UU KPK.

Misalnya, pimpinan atau pegawai KPK bertemu dengan pihak yang beperkara di acara kondangan yang itu adalah acara yang bersifat publik, tidak direncanakan, tidak disengaja,” jelas Zaenur.

Maka Pasal 36 dan 37 UU KPK sebetulnya melindungi insan lembaga antirasuah itu dari jerat konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. KPK adalah lembaga yang bersifat khusus, kata Zaenur, maka norma-norma aturannya juga khusus. Norma yang ada di KPK jelas berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan.

Sehingga, memang standar di KPK jauh lebih ketat, termasuk melarang pihak pegawai atau pimpinan KPK untuk bertemu dengan pihak yang beperkara,” ucap Zaenur.

Ketua IM57+ Institute, M. Praswad Nugraha, sepakat dengan Zaenur. Pasal 36 UU KPK adalah bagian dari safeguarduntuk memastikan independensi dan integritas KPK.

Sebelum era Reformasi, salah satu hambatan utama penanganan perkara korupsi adalah intervensi dan konflik kepentingan. Itulah sebabnya dibuat aturan yang membatasi pertemuan antara pihak beperkara dengan insan KPK, baik persamuhan secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam upaya pencegahan terjadinya upaya lobi dalam menghentikan penanganan perkara,” jelas Praswad kepada reporter Tirto, Jumat.

Pasal 36 UU KPK menjadi salah satu ketentuan inti untuk menjamin independensi KPK. Maka, kata Praswad, upaya uji materi atas Pasal 36 UU KPK perlu diwaspadai akan berimplikasi dalam menghilangkan independensi dan integritas KPK.

Filosofi dari ketentuan tersebut adalah upaya dari pimpinan KPK dan jajarannya melakukan pengecekan sebelum bertemu dengan pihak lain. Pasalnya, jabatan atau posisi pimpinan dan pegawai KPK melekat selama 24 jam. Sehingga, mereka perlu berhati-hati menemui pihak lain selama menduduki jabatan di KPK.

Untuk mencegah adanya upaya lobi terhadap penanganan kasus di KPK. Pasal 36 adalah benteng terakhir independensi KPK,” tegas Praswad.

Baca juga artikel terkait ALEXANDER MARWATA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi