Menuju konten utama

Pimpinan KPK Baru akan Tetap Ompong Selama UU KPK Belum Direvisi

Revisi UU KPK pada 2019 melucuti sejumlah kewenangan lembaga antirasuah itu hingga membuatnya tumpul. Itulah tantangan nyata bagi para calon pimpinan baru.

Pimpinan KPK Baru akan Tetap Ompong Selama UU KPK Belum Direvisi
Pekerja membersihkan gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/4/2024). Berdasarkan Transparency International skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2023 di angka 43 dengan peringkat 115 atau merosot dari tahun sebelumnya di peringkat 110. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

tirto.id - Komisi III DPR RI telah merampungkan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 10 calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berlangsung ejak Senin (18/11/2024) hingga Selasa (19/11/2024).

Pada hari pertama, DPR memanggil empat capim KPK untuk diuji secara berurutan. Keempatnya adalah Setyo Budiyanto (perwira tinggi Polri), Poengky Indarti (mantan Komisioner Kompolnas), Fitroh Rohcahyanto (mantan Direktur KPK), dan Michael Rolandi Cesnanta (eks pejabat BPKP).

Sementara pada Selasa, enam orang yang diuji adalah Ida Budhiati (mantan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), Ibnu Basuki Widodo (hakim), Johanis Tanak (Wakil Ketua KPK), Djoko Poerwanto (perwira tinggi Polri), Ahmad Alamsyah Saragih (mantan Anggota Ombudsman), dan Agus Joko Pramono (mantan Wakil Ketua BPK).

Meskipun sejumlah nama capim KPK telah diseleksi dan masuk dalam tahap penjaringan, banyak pihak yang justru meragukan kinerjanya. Sebab efektivitas lembaga antikorupsi tersebut dinilai akan tetap ompong selama Undang-Undang (UU) KPK yang baru belum direvisi. Terlebih UU yang ada kini membatasi kewenangan KPK setelah disahkannya revisi UU KPK pada 2019 lalu.

“Selama UU KPK yang sudah direvisi tetap seperti sekarang dipertahankan tanpa dikembalikan ke semula, KPK tetap terus menjadi lembaga yang tidak punya taji kembali. Kalau teman-teman bilang macan ompong, sama seperti itu,” ujar Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2024).

Secara faktualnya, kata pria yang akrab disapa Castro itu, KPK saat ini tidak bisa lagi menangani perkara-perkara besar yang melibatkan elite politik. Bahkan untuk menangkap Harun Masiku pun masih sangat sulit. Belum lagi KPK seolah-olah tunduk dan tidak mampu berhadap-hadapan dengan kekuasaan.

“Padahal itu problem yang muncul pasca revisi UU KPK. Makanya, selama belum dikembalikan revisi UU KPK seperti sebelum revisi, selamanya KPK akan menjadi lembaga yang tidak punya taji sama sekali dan gagal mengembalikan muruah KPK sebagaimana KPK dibentuk,” jelasnya.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, mengatakan terlepas siapapun yang akan memimpin KPK, kondisi lembaga antirasuah saat ini memang perlu perbaikan dari berbagai aspek. Ini bisa dimulai dari instrumen hukumnya, yakni kembalikan UU KPK jika ingin semakin kuat dan dipercaya publik.

“Dengan kembalinya UU KPK yang lama, independensi KPK semakin terjadi dengan baik,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2024).

Uji Capim KPK Djoko Poerwanto

Calon pimpinan KPK Djoko Poerwanto (kiri) mengikuti uji kelayakan dan kepatutan dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024). Komisi III DPR menjadwalkan uji kelayakan dan kepatutan terhadap enam calon pimpinan (Capim) KPK yaitu Ida Budhiati (mantan Anggota DKPP), Ibnu Basuki Widodo (hakim), Johanis Tanak (Wakil Ketua KPK), Djoko Poerwanto (perwira tinggi Polri), Ahmad Alamsyah Saragih (mantan Anggota Ombudsman), dan Agus Joko Pramono (mantan Wakil Ketua BPK). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/Spt.

Perlu Komitmen Kuat dari Prabowo

Untuk bisa mengembalikan UU KPK lama, menurut peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, perlu komitmen yang kuat dari Presiden Prabowo Subianto sebagai pemegang kekuasaan serta atasan KPK secara administratif. Karena tanpa komitmen permasalahan KPK tidak akan pernah teratasi.

“Komitmen itu tidak bisa diukur hanya dari pidatonya yang berapi-api menyebutkan kata korupsi dan anti-korupsi berkali-kali, lebih dari itu, perlu ada tindakan konkret yang dilakukan, salah satunya dengan mendorong revisi UU KPK masuk ke dalam Prolegnas usulan pemerintah,” jelas Dicky kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2024).

Sembari menunggu itu, lanjut Dicky, Prabowo bisa segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Salah satu substansinya adalah mengembalikan independensi KPK serta kewenangan-kewenangan yang dipotong melalui revisi UU yang dilakukan pada tahun 2019 lalu.

Dorongan penerbitan Perppu sebelumnya sudah disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas. Menurut pria yang juga mantan Pimpinan KPK ini, lembaga antirasuah bisa memberantas korupsi dengan baik jika kembali menerapkan aturan Undang-Undang 30 Tahun 2002 secara penuh.

"Menghidupkan kembali dengan Perppu, itu UU KPK yang lama tahun 2002, dengan demikian KPK yang lama akan bisa memenuhi kewenangan yang seperti dulu kala. Mudah-mudahan Bapak Presiden bisa melakukan sikap yang tegas dan bijak, mengambil langkah menggunakan hak konstitusionalnya, yaitu mengembalikan KPK yang lama," kata Busyro dalam kanal Youtube TV Muhammadiyah, Senin (18/11/2024).

Busyro berharap dengan dihidupkannya kembali UU Nomor 30 Tahun 2002, akan mengembalikan KPK yang dulu dan bisa melakukan pencegahan dan penindakan dengan lebih baik.

Diketahui, UU Nomor 19 Tahun 2019 mengubah secara mendasar wajah KPK. Beberapa perubahan yang terjadi adalah KPK menjadi lembaga penegak hukum dengan pengawasan internal dan eksternal, anggota staf KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Kemudian kewenangan self regulatory bodies atau pengelolaan sumber daya manusia (SDM) tidak lagi dilakukan secara mandiri. Atas perubahan ini, beberapa pihak menilai bahwa UU Nomor 19 Tahun 2019 berdampak pada melemahnya KPK.

Menurut Ketua Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman, dalam hal ini memang sebaiknya harus presiden yang ambil alih permasalahan di KPK karena menjadi panglima tertinggi. Maka, presiden bisa menerbitkan Perppu membatalkan UU revisi Nomor 19 Tahun 2019 dan kembali ke UU lama.

“Prinsipnya itu, karena kenyataanya hasilnya jelek, dan melemahkan semua hal dan tidak ada manfaatnya revisi itu. Pimpinan KPK-nya juga jelek karena bagian dari rumpun eksekutif, dan ada beberapa melanggar etik berat dan itu tidak terjadi pada UU lama,” ujar Boyamin kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2024).

Maka itu, Boyamin setuju jika UU KPK dikembalikan ke yang lama melalui penerbitan Perppu. Jika nanti DPR menolak, tambahnya, justru semakin terlihat bahwa para wakil rakyat itulah yang berkehendak melemahkan pemberantasan korupsi.

“Dengan UU baru ini tidak ada manfaatnya dan bahkan ada yang ngomong dibubarkan. Bukan macan ompong lagi itu, [tapi] kucing,” imbuhnya.

Tahap wawancara seleksi capim dan dewas KPK

Ketua Pansel calon pimpinan dan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi masa jabatan tahun 2024-2029 Muhammad Yusuf Ateh (kedua kanan) bersama anggota Pansel Arif Satria (ketiga kiri), Rezki Sri Wibowo (kedua kiri), Taufik Rachman (kiri) dan Y Ambeg Paramarta (kanan) mewawancarai Calon Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Padma Dewi Liman saat mengikuti seleksi di Gedung Auditorium Setneg, Jakarta, Jumat (20/9/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

Capim KPK Harus Bersih dari Intervensi & Kepentingan Politik

Terlepas dari itu, mantan Penyidik KPK, Yudi Purnomo, mengatakan sekarang fokusnya adalah capim KPK yang diharapkan benar-benar berintegritas, tidak punya beban masa lalu, komitmen, serta independen. Sehingga tidak ada celah dengan UU yang diperlemah ini, mereka tetap bisa berhasil memanfaatkan untuk pemberantasan korupsi.

“Sebab jika pun UU kuat ketika orangnya lemah, iya tidak akan jadi apa-apa. Sebaiknya selemahnya UU kalau orang baik, orang bersih menjalankan itu, tentu akan berhasil untuk menuntaskan pemberantasan korupsi,” jelas dia kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2024).

Pada akhirnya, kata Yudi, jika kinerja KPK dianggap sudah baik tentu dukungan pemberantasan korupsi akan menguat dan revisi pun bisa jadi melalui Perppu atau melalui Prolegnas.

“Tapi tetap perlu ada sponsor dari DPR, misalnya menginisiasi dan tentu akan mudah terlaksana,” ujarnya.

Sementara itu, menurut peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, kandidat dengan kapasitas, integritas, independensi politik, dan rekam jejak yang baik tidak boleh dikompromikan.

Maka itu, Agus mendesak Komisi III DPR RI harus berani memilih komposisi pimpinan KPK yang serius terhadap pemberantasan korupsi, dan tidak memiliki konflik kepentingan dengan mengedepankan kandidat dari kalangan profesional dan masyarakat sipil.

“Kandidat yang memiliki latar belakang APH ataupun ASN aktif justru berpotensi menggerus profesionalisme kelembagaan,” jelas Agus.

Berdasarkan studi evaluasi kelembagaan KPK 2019-2023 yang dirilis TII, setidaknya menyoroti tiga kebutuhan kelembagaan utama yang perlu digali kepada para kandidat pada proses fit and proper tes (FPT).

Isu-isu prioritas yang perlu dieksplorasi itu meliputi lemahnya fungsi KPK sebagai lembaga penegak hukum untuk merespons korupsi di sektor politik, sumber daya alam dan penegakan hukum, fungsi trigger mechanism kasus korupsi ke Aparat Penegak Hukum (APH) lain tidak berjalan optimal, serta buruknya integritas internal dan tata kelola lembaga.

Oleh karenanya Komisi III DPR dituntut untuk dapat memilih “manusia setengah dewa” dengan rekam jejak yang nyaris sempurna dalam upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di tengah segala keterbatasan KPK hari ini.

“Tentu dengan berdasarkan pada kebutuhan pembenahan kelembagaan KPK, serta memastikan kandidat bebas dari intervensi dan kepentingan politik manapun,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait CAPIM KPK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi