tirto.id - Komisi III DPR RI berpeluang merevisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peluang revisi beleid itu disampaikan Ketua Komisi III DPR, Bambang Pacul Wuryanto dalam rapat dengar pendapat dengan Dewas KPK di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Menurut Pacul, UU itu sudah berusia lima tahun. Sudah saatnya untuk dilakukan revisi.
"Kita bisa lakukan revisi karena ini sudah tahun 2019 juga UU-nya, kan. Sudah lima tahun lah bisa kita tata ulang karena banyak yang komplain juga," kata Pacul.
Usai rapat, Pacul memilih enggan berkomentar lagi soal usulannya dalam rapat perihal rencana revisi UU KPK itu.
"Saya jangan disuruh komentar dulu. Ini kepala saya lagi puyeng," tutur Pacul.
Dalam rapat, sejumlah anggota Komisi III DPR RI menyoroti kinerja dewas KPK.
Anggota Komisi III DPR RI, Trimedya Panjaitan, mengaku kecewa dengan Dewas KPK karena adanya perseteruan antara dewas dengan pimpinan KPK. Hubungan memanas itu setelah Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron melaporkan anggota Dewas KPK, Albertina Ho ke Dewas KPK.
"Saya agak kecewa lihat dewas, pak. Kenapa saya melihatnya perseteruan dewas dan pimpinan KPK itu persis seperti awal-awal perseteruan dalam tanda kutip KY dan MA. itu persis," kata Trimedya saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan KPK di Komisi III DPR RI, Rabu (5/6/2024).
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, mengkritik kinerja Dewas Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK). Ia menyebut dewas komisi antirasuah itu seperti macan ompong.
Benny mengatakan tugas dewas ini dalam memantau wewenang pimpinan KPK guna melakukan supervisi dan koordinasi. Sebab, dirinya melihat ketika tidak ada dewas dahulu, tugas wewenang pimpinan KPK tidak berjalan dengan baik. Namun, kata dia, setelah ada dewas pun tambah tidak berjalan.
Benny lantas mempertanyakan kinerja Dewas KPK. Politikus Demokrat itu mengatakan tugas dewas mengawasi pelaksanaan pemenang pimpinan KPK untuk melakukan supervisi koordinasi penanganan pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan.
“Makanya saya bilang dewas ini seperti macan ompong, tapi Pak Tumpak (Ketua Dewas KPK) tadi bilang bukan kami yang salah. Sebab, undang-undang tidak mengatur, sehingga kelihatannya Pak Tumpak yang dulu sangat ditakuti ketika pimpinan KPK setelah jadi dewas menjadi Pak Tumpak yang lemah lunglai,” kata Benny dalam RDP Komisi III bersama Dewas KPK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Benny juga mengatakan kinerja dewas dalam menangani pelanggaran etik membingungkan publik. Pasalnya, dewas tidak membuat perbedaan yang jelas apa yang merupakan pelanggaran etik dan kejahatan yang dilakukan oleh pimpinan KPK atau pun pegawai-pegawainya.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang