tirto.id - Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, mendesak Presiden Prabowo Subianto, untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengembalikan marwah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan membatalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang merupakan Revisi dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut pria yang juga mantan Pimpinan KPK ini, lembaga antirasuah bisa memberantas korupsi dengan baik jika kembali menerapkan aturan Undang-Undang 30 Tahun 2002 secara penuh.
"Menghidupkan kembali dengan Perppu, itu UU KPK yang lama tahun 2002, dengan demikian KPK yang lama akan bisa memenuhi kewenangan yang seperti dulu kala," kata Busyro dalam kanal Youtube TV Muhammadiyah, Senin (18/11/2024).
Busyro menambahkan,"Mudah-mudahan Bapak Presiden ini bisa melakukan sikap yang tegas dan bijak, mengambil langkah menggunakan hak konstitusionalnya yaitu mengembalikan KPK yang lama".
Busyro pun menyinggung bahwa sistem trias politica di Indonesia telah mengalami degradasi moral hingga mencapai titik terendah.
"Trias politica itu semuanya sedang mengalami satu degradasi moral yang titik terendah. Salah satunya yaitu dinasti, sebab ada hubungan yang timbal balik antara dinasti dengan korupsi," ujarnya.
Selain itu, Busyro mengatakan Indonesia tengah mengalami ketidakjelasan dalam politik perpajakan. Ia mengeklaim para korporasi yang paling banyak melakukan korupsi, tidak diketahui ketaatan pajaknya.
"Politik perpajakan kita itu tidak jelas filosofi atau ideologi yang mendasarinya, kalau disebut soal perpajakan progresif, masih inget nggak dulu tax amnesty itu, yang itu hasilnya tidak pernah dijelaskan, apakah tax amnesty itu oleh pemerintah dijelaskan, apakah korporasi korporasi itu bayar tidak secara proporsional," tutur Busyro.
Busyro menyebut, KPK kerap membuat kajian setiap kali pemerintah hendak merevisi undang-undang. Ia mengeklaim KPK menemukan indikasi ketidakjelasan dalma isu perpajakan. "Kajian KPK yang dulu, dengan undang-undang yang lama yang sering saya sebut KPK yang ori, yang asli, yang shaheh. Ada korporasi yang tidak jelas dalam soal perpajakan, oleh karena itu politik perpajakan itu kembali kepada legislatif, eksekutif, tapi peran yudikatif sangat penting," tuturnya.
Dia juga menjelaskan bahwa KPK memiliki dua fungsi pokok, yaitu pencegahan dan penindakan. Ia mengatakan, kedua peran itu saling integratif. Dari sisi pencegahan, tidak boleh ada kerugian negara sementara penindakan adalah upaya yang dilakukan ketika lembaga negara tidak mengindahkan peringatan pencegahan yang dilakukan KPK. Ia pun menyebut, "Data di KPK pelaku koruptor paling tinggi swasta".
Oleh karena itu, Busyro menyebut dengan dihidupkannya kembali UU Nomor 30 Tahun 2002, akan mengembalikan KPK yang dulu, dan bisa melakukan pencegahan dan penindakan dengan lebih baik.
Diketahui, UU Nomor 19 Tahun 2019 mengubah secara mendasar wajah KPK. Beberapa perubahan yang terjadi adalah KPK menjadi lembaga penegak hukum dengan pengawasan internal dan eksternal, anggota staf KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).
Kemudian, kewenangan self regulatory bodies atau pengelolaan sumber daya manusia (SDM) tidak lagi dilakukan secara mandiri. Atas perubahan ini, beberapa pihak menilai bahwa UU Nomor 19 Tahun 2019 berdampak pada melemahnya KPK.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Andrian Pratama Taher