tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengusulkan Revisi UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Kamis (5/9/2019). Usulan revisi tersebut langsung disetujui setelah seluruh fraksi di DPR menyatakan setuju untuk merevisi dalam waktu 20 menit.
Dalam proses persetujuan usulan revisi UU KPK, sidang berjalan sempat terlambat. Waktu sidang berlangsung molor dari jadwal sidang yakni pukul 10.00 WIB menjadi 11.00 WIB. Berdasarkan hitung manual yang dilakukan awak media, rapat paripurna hanya dihadiri sebanyak 70 orang dari 560 jumlah seluruh anggota DPR RI periode 2014-2019.
Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto selaku pemimpin rapat langsung menyampaikan sejumlah agenda sidang. Salah satu agenda sidang adalah pandangan fraksi-fraksi terhadap RUU usul Badan Legislasi DPR RI tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Utut pun langsung meminta para fraksi menyerahkan pandangan via tertulis.
"Kami minta persetujuan rapat dewan apakah dapat disetujui bersama fraksi-fraksi menyampaikan secara tertulis kepada pimpinan sidang," tanya Utut kepada seluruh anggota fraksi di DPR, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Mayoritas seluruh anggota fraksi yang hadir kompak dan sepakat penyampaian pandangan disampaikan secara tertulis. "Setuju," jawab para wakil rakyat ini.
Usai para perwakilan fraksi menyerahkan pandangannya kepada pimpinan DPR, Utut pun menyudahi rapat yang hanya berlangsung sekira 20 menit saja.
"Dengan demikian 10 fraksi telah menyampaikan pendapat fraksinya masing-masing. Pendapat fraksi terhadap RUU usul badan legislasi DPR RI tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30/2002 tentang KPK dapat disetujui jadi usul DPR RI," ucap Utut.
"Setuju," jawab para anggota disambut ketuk palu dari Utut selaku pimpinan sidang.
Tak hanya menyetujui merevisi UU KPK, rapat paripurna juga menyetujui usul Baleg DPR RI tentang RUU Penyusunan Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Sama seperti UU KPK, pandangan fraksi disampaikan secara tertulis dan disetujui oleh para anggota yang hadir.
Wacana Revisi UU KPK kembali mengemuka, Rabu (4/9/2019) lalu. DPR kembali mengajukan usul perubahan kedua UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setidaknya ada 6 poin yang diajukan dalam revisi UU KPK. Berikut materi muatan revisi UU KPK tersebut;
1. Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Meski KPK merupakan cabang kekuasaan eksekutif, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen. Pegawai KPK merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan di bidang aparatur sipil negara;
2. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan penyadapan. Namun, pelaksanaan penyadapan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK;
3. KPK selaku lembaga penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Oleh karena itu, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia;
4. Di dalam upaya meningkatkan kinerja KPK di bidang pencegahan korupsi, setiap instansi, kementerian, dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggara negara sebelum dan setelah berakhir masa jabatan;
5. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang. Dewan Pengawas KPK tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenang dibantu oleh organ pelaksana pengawas;
6. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik. Penghentian penyidikan dan penuntutan dimaksud dapat dicabut bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Andrian Pratama Taher