Menuju konten utama

Pimpinan KPK: Revisi UU KPK Belum Mendesak Dilaksanakan

Pimpinan KPK menyatakan revisi UU KPK belum mendesak dilakukan karena kinerja komisi antirasuah masih efektif. Pimpinan KPK malah khawatir revisi UU KPK menjadi pintu masuk melumpuhkan gerakan antikorupsi. 

Pimpinan KPK: Revisi UU KPK Belum Mendesak Dilaksanakan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo (ketiga kiri) menerima kaos dukungan untuk KPK dari perwakilan BEM se-Jabodetabek dan Banten saat aksi BEM di depan gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/3/2017). Dalam aksinya BEM mendukung KPK untuk mengusut tuntas kasus megakorupsi pengadaan e-KTP yang menyeret sejumlah nama besar serta menolak Revisi UU KPK oleh DPR karena dianggap sebagai upaya untuk melemahkan KPK. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/ama/17

tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif menyatakan revisi UU KPK, yang kini sedang dipersiapkan oleh DPR RI, belum mendesak untuk dilakukan. Dia beralasan UU tersebut masih menjamin kinerja KPK efektif dalam memberantas kejahatan rasuah.

Laode justru khawatir revisi UU KPK menjadi pintu masuk untuk melumpuhkan kewenangan Komisi Antikorupsi dan menghambat gerakan pemberantasan korupsi.

“Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK masih cukup efektif sehingga tidak perlu dilakukan revisi UU KPK. Upaya revisi UU KPK yang dilakukan pada saat ini akan berdampak sistematis terhadap melemahnya gerakan pemberantasan korupsi,” ujar Laode di seminar yang diadakan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, di University Club UGM, pada Senin (20/3/2017) sebagaimana dirilis Humas UGM.

Dalam seminar bertajuk “Menelusuri Peran dan Kinerja DPR dalam Pemberantasan Korupsi” ini, Laode menyampaikan bahwa DPR RI sebaiknya mendengarkan suara KPK mengenai kebutuhan utama saat ini dalam memperkuat pemberantasan korupsi. Dia khawatir revisi UU KPK malah berujung pada pembatasan ruang gerak lembaganya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Salah satu isu yang ia soroti adalah terkait penyadapan. Menurut Laode, kewenangan penyadapan KPK

hanya perlu diatur secara khusus di sejumlah aturan turunan undang-undang dan tak perlu dihapus lewat revisi UU KPK.

“Sebenarnya tidak masalah kalau kami izin ke pengadilan, tapi bagaimana kalau yang terlibat itu justru panitera atau hakim sendiri, pasti ada konflik kepentingan. Kalau kami menyadap itu berdasarkan pro justicia, bukan dilakukan sembarangan,” Laode menjelaskan.

Laode berharap DPR RI memperhatikan aspirasi publik yang selama ini menolak rencana revisi UU KPK.

“Kalau DPR membuat inisiasi yang bertentangan dengan keinginan rakyat, berarti mereka sedang menodai kepercayaan rakyat,” imbuhnya.

Dia juga mengimbau agar publik terus memelototi rencana revisi itu sekaligus menolak tegas segala upaya pelemahan gerakan pemberantasan korupsi.

Ketua PUKAT UGM, Zainal Arifin Mochtar membenarkan pendapat Laode. Ia berpendapat akar persoalan tak berhentinya upaya-upaya, yang terindikasi akan melemahkan KPK melalui proses legislasi, terletak pada kewenangan DPR RI yang terlalu besar.

“Kewenangan DPR pasca reformasi mengalami pembengkakan. Pendulum kekuasaan yang dulu ada di presiden kemudian ditarik ke DPR karena adanya trauma dengan persoalan di masa presiden Soeharto, sehingga kini fungsi DPR tidak lagi hanya 3 tapi sudah bertambah 2 fungsi lagi,” kata dia.

Salah satu contohnya, menurut Zainal, terkait fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Fungsi ini, menurut Zainal, dimaknai dengan terlalu luas namun tanpa didukung komitmen serta kemampuan mumpuni sehingga di beberapa kasus justru membuka peluang pemerasan dan suap-menyuap.

“Sekarang untuk jadi pejabat publik apa pun di negeri ini harus via DPR. Padahal, dalam sistem presidensial, DPR seharusnya diarakan kepada presiden untuk mengawasi pelaksanaan wewenangnya, bukan malah mengawasi semua,” kata Zainal.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom