tirto.id - Putusan sidang sengketa Pilkada 2024 yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (24/2/2025) lalu, membuka tabir penyelenggaraan pemilu daerah yang masih acakadut. Sebanyak 24 daerah diputuskan harus melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU), baik diulang di seluruh tempat pemungutan suara atau cuma sebagian TPS. Dari total 40 perkara PHPU Pilkada 2024 yang diperiksa, MK mengabulkan sebanyak 26 perkara, menolak 9 perkara, dan tidak menerima sebanyak 5 perkara.
Selain menginstruksikan dilakukan PSU di 24 daerah, dua perkara lain yang dikabulkan MK, yakni meminta KPU melakukan rekapitulasi ulang perolehan suara Kabupaten Puncak Jaya dan menginstruksikan perbaikan penulisan Keputusan KPU Kabupaten Jayapura.
Pokok perkara dalam putusan PSU di puluhan daerah tersebut mayoritas mengenai persoalan administratif. Lebih rinci, pokok perkara yang menghasilkan putusan PSU meliputi periodisasi masa jabatan, legalitas ijazah, surat keterangan tidak pernah dipidana, mantan narapidana, serta persoalan data pemilih. Selain itu, perkara soal temuan arahan terstruktur sistematis dan masif, soal rekomendasi Bawaslu, dan terkait kerusuhan dan/atau intimidasi.
Jika dibanding Pilkada 2020 silam, jumlah daerah yang harus PSU mengalami peningkatan. Pilkada 2024 berjumlah 24 daerah yang harus PSU, sementara 2020 hanya 16 daerah. Hal ini dinilai sejumlah pengamat pemilu sebagai kemunduran dan merupakan penyelenggaraan pemilu daerah yang mengecewakan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda, menjadi salah satu yang merasa kecewa dengan jalannya Pilkada 2024. Ia menyatakan, ihwal administratif sudah berulang kali dibahas dan diminta agar dievaluasi, tetapi kesalahan itu justru masih muncul dan bertambah banyak di Pilkada 2024.
Menurut Vio, bejibunnya PSU di Pilkada 2024, tak lepas dari tanggung jawab penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu. Pasalnya, masalah administratif penyebab PSU kali ini, beberapa serupa dengan di Pilkada 2020. Seperti ijazah palsu, soal persyaratan narapidana, dan periodisasi masa jabatan yang justru terulang lagi.
Vio menyoroti persoalan di tubuh penyelenggara pemilu yakni integritas. Seperti sudah jadi rahasia umum bahwa jajaran pengurus KPU dan Bawaslu di pusat maupun daerah, adalah individu yang memiliki afiliasi politik kepada kelompok atau organisasi tertentu. Sebetulnya tidak ada soal mengenai latar belakang penyelenggara pemilu, namun individu yang terpilih seharusnya memiliki kompetensi dan kapasitas.
Menurut Vio, penting menjauhkan KPU dan Bawaslu dari intervensi politik dan kepentingan kelompok. Pilkada 2024 seharusnya menjadi pelajaran mengevaluasi penyelanggara pemilu agar diisi oleh individu yang tidak cuma bermodal afiliasi politik.
“Sulitnya juga kan sejak proses pencalonan sudah ada utang budi tertentu kepada kelompok politik/organisasi. Jadilah penyelenggara tidak bisa menjalankan tugas fungsi secara optimal dan independen,” terang Vio.
Amat disayangkan jika KPU sebagai penyelenggara pemilu menilai persyaratan awal calon kepala daerah sebagai tahapan yang asal lewat. Pasalnya, proses Pilkada seharusnya telah dimulai saat pengumpulan syarat pendaftaran calon kepala daerah. Idealnya, permasalahan terkait administratif sudah berhasil disaring di tahapan awal sehingga tidak bermuara dalam sidang sengketa di MK. Idealnya, permasalahan terkait administratif sudah berhasil disaring di tahapan awal sehingga tidak bermuara dalam sidang sengketa di MK.
Di sisi lain, Vio menilai bisa saja masalah utamanya dari politic fatigue atau kelelahan politik. Hal tersebut berpotensi dirasakan penyelenggara pemilu karena Pilkada dan Pemilu digelar pada tahun yang sama. Belum lagi, pilkada tahun lalu dilaksanakan secara serentak.
“Jadi membuat penyelanggara mengeluarkan energi sangat ekstra karena terlalu kelelahan dengan proses politik yang terjadi. Jadi tidak bisa menyelenggarakan fungsi secara optimal,” ungkap Vio.
Sementara itu, pengajar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai putusan MK agar dilakukan PSU di 24 daerah terjadi karena adanya kesalahan dari KPU dan Bawaslu. Namun, Yance tak ingin melihat persoalan ini sebatas kesalahan perihal administrasi belaka. Dari bingkai hak, dia melihatnya cenderung politis: soal siapa yang hak dan tidak berhak menjadi peserta Pilkada 2024.
Selain persoalan administratif, memang beberapa perkara yang diputus MK agar dilakukan PSU memiliki kecenderungan politis dan intervensi pihak ketiga. Misal di Kabupaten Bangka Barat, PSU dilakukan karena terbukti adanya politik uang. Semisal juga PSU di Kabupaten Magetan, dikarenakan adanya manipulasi daftar hadir pemilih dan penolakan penggunaan hak pilih. Sementara di Kabupaten Serang, PSU dilakukan sebab keterlibatan Menteri Desa untuk memenangkan salah satu calon.
Konyolnya, kandidat yang sudah menjabat dua periode juga tetap diloloskan penyelenggara pemilu sehingga MK menginstruksikan PSU. Seperti di Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Calon yang terbukti sudah menjabat dua periode, didiskualifikasi oleh MK dalam pelaksanaan PSU.
Karena adanya PSU di puluhan daerah, Komisi II DPR menaksir biaya yang digelontorkan untuk menggelar pemungutan suara ulang mencapai hampir Rp1 triliun. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf. Ia menyebut bahwa KPU meminta kebutuhan anggaran sekitar Rp486 miliar untuk menggelar PSU. Sementara Bawaslu butuh anggaran sekitar Rp215 miliar, belum TNI dan Polri jika harus melakukan fungsi pengamanan.
Dede mengatakan kebutuhan anggaran menggelar PSU didapat dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Tetapi bisa didukung anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pemerintah pusat. Dede meminta pemerintah harus siap melaksanakan PSU yang diamanatkan MK.
“Sesuai dengan amanat undang-undang bahwa jika pemerintah daerah tidak sanggup maka pemerintah pusat dapat (mendukung pembiayaan PSU). Nah, konotasi 'dapat' ini yang kita mesti dudukkan bersama-sama,” ucap Dede kepada awak media di Kompleks DPR, Kamis (27/2/2025) lalu.
Masalah Profesionalitas dan Integritas
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menilai banyaknya permasalahan yang berkaitan dengan keterpenuhan syarat calon kepala daerah membuat profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu patut dipertanyakan. Sebab, ihwal yang berkaitan dengan pelanggaran administratif seharusnya diselesaikan oleh KPU dan Bawaslu sepanjang proses penyelenggaraan pilkada.
Menurut Haykal, refleksi utama persoalan ini adalah soal bagaimana penyelenggara pemilu bekerja dengan optimal. Dia menilai, jika KPU dan Bawaslu bekerja dengan baik, tidak ada perintah PSU sebanyak yang terjadi seperti sekarang ini. Perbaikan utama harus diakomodir nanti lewat revisi UU Pemilu yang sedang berlangsung di Senayan. Misalnya terkait aturan penegakan hukum dan rekrutmen penyelenggara pemilu.
Pakar hukum kepemiluan dan pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menambahkan terjadinya PSU di puluhan daerah diakibatkan sejumlah faktor. Ada kontribusi ketidakcakapan dan ketidakprofesionalan. Namun, terdapat juga kecurigaan adanya keberpihakan dan ketidakmandirian penyelenggara pemilu di sejumlah daerah.
Selain itu, Titi menjelaskan, terdapat juga situasi ketika KPU daerah sekadar melaksanakan pengaturan dan arahan dari KPU pusat seperti pada perkara pelanggaran periodisasi masa jabatan dan penyelenggaraan pilkada di Banjarbaru. Di kasus lainnya, terjadi situasi ketika calon yang tidak memenuhi syarat tetap diakomodir sebab mendapat rekomendasi Bawaslu, seperti di Gorontalo Utara dan Parigi Moutong.
Titi merasa dibutuhkan rekonstruksi kelembagaan pengawas Pemilu. Mulai dari persyaratan anggota, yang idealnya diisi para praktisi hukum yang paham kepemiluan. Hal itu juga mesti diikuti penataan kewenangan kelembagaan pengawas pemilu. Semestinya, dalam kacamata Titi, pengawas bisa difokuskan pada penanganan dan penyelesaian pelanggaran ketimbang menyasar pencegahan dan pengawasan yang kurang jelas tujuan serta indikator kinerjanya.
“Harus tersedia mekanisme seleksi yang bisa menjauhkan calon penyelenggara pemilu dari lobi politik yang berujung kooptasi terhadap kemandirian dan integritas penyelenggara,” ujar Titi kepada wartawan Tirto, Jumat.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang