tirto.id - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin, mengakui adanya kendala keterbatasan waktu dalam menentukan keaslian dokumen ijazah seorang calon kepala daerah di Pilkada 2024.
Hal ini menyusul sejumlah calon kepala daerah yang diputuskan didiskualifikasi di sidang Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu kasus yakni soal lolosnya ijazah palsu dalam keikutsertaan calon kepala daerah.
Selain soal waktu, KPU tidak memiliki kewenangan untuk langsung menyatakan ijazah seorang calon kepala daerah palsu tanpa adanya keputusan dari lembaga yang berwenang.
"Ini berkaitan dengan keabsahan ijazah kalau kami boleh menyampaikan memang kami punya keterbatasan untuk menyampaikan ijazah seseorang itu asli/tidak asli ketika dalam proses-proses waktu yang sangat mepet," kata Afifuddin dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada, Kamis (27/2/2025).
Adapun, kata Afifuddin, tiga daerah dengan calon kepala daerah berperkara ijazah palsu, yakni Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Gorontalo Utara, dan Kota Palopo.
Menurut dia, KPU di tiga daerah tersebut belum memverifikasi keabsahan ijazah calon kepala daerah pada tenggang waktu yang ditetapkan.
"Proses itu belum terpenuhi saat masa di mana teman-teman harus memutuskan seseorang memenuhi syarat atau tidak, atau masa pencalonan," kata dia.
Sebagai informasi, Calon Bupati Kabupaten Pesawaran, Aries Sandi Darma Putra, ternyata tidak memiliki ijazah SMA yang sah. Dalam putusan Nomor 20/PHPU.BUP-XXIII/2025, Aries dinilai tidak memenuhi syarat ijazah SLTA/sederajat sebagai syarat pencalonan bupati.
MK juga mendiskualifikasi calon Wali Kota Palopo, Trisal Tahir. Hakim menyatakan ijazah paket C yang dijadikan dokumen pencalonan milik Trisal Tahir tidak memenuhi syarat calon berupa ijazah pendidikan menengah atas.
Selain persoalan ijazah, KPU juga menghadapi polemik surat keterangan tidak pernah dipidana. Afifuddin menyebut bahwa kasus ini terjadi di beberapa daerah, seperti Kabupaten Pasaman (Sumatera Barat), Gorontalo Utara, Kabupaten Boven Digoel (Papua Selatan), serta Provinsi Papua.
“Jadi untuk PSU 100% TPS yang terjadi di provinsi hanya di Provinsi Papua, 13 daerah lain di kabupaten/kota," kata dia.
"Jadi karena persoalan atau isu berkaitan dengan ketidakabsahan keterangan tidak pernah dipidana. Ini variannya bermacam-macam, putusannya beragam. Ada yang karena berubahnya keterangan, ada yang karena calonnya juga tidak menjelaskan di saat pendaftaran, dan seterusnya," tandas Afifuddin.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Bayu Septianto