tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan 17 partai politik nasional dan 5 parpol lokal Aceh menjadi peserta Pemilu 2024. Jumlah ini lebih besar dari Pemilu 2019 yang hanya diikuti 14 parpol nasional dan 4 partai lokal. Hal ini menjadi pertanda persaingan merebut hati rakyat agar bisa menjejakkan kaki di parlemen semakin ketat.
Meski jumlah parpol pendatang baru yang menjadi peserta pemilu semakin banyak, tapi strategi yang digunakan tidak ada yang berubah dari proses pemilihan sebelumnya. Mereka rerata mengandalkan nomor urut sebagai strategi meraih ceruk massa. Tidak banyak yang menawarkan gagasan atau ide perubahan agar berbeda dari yang lainnya.
Narasi-narasi menggunakan nomor urut mulai terlihat dari para politikus masing-masing partai. Seperti Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Ganjar Pranowo yang notabene kader PDIP menyebut angka 3 nomor urut partainya sebagai pertanda bahwa mereka akan hattrick atau menang tiga kali berturut-turut.
“Merah total, menang total, dan hattrick-nya akan bisa berjalan,” kata Ganjar sebagaimana dikutip Antara.
Hal yang sama dilakukan PPP, sebagai partai dengan perolehan suara paling kecil di parlemen. Parpol berlambang ka’bah ini mengambil sikap berbeda dari partai yang lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019. PPP memilih ikut undian bersama partai luar parlemen, dan mengubah kedudukan mereka dari nomor 10 menjadi 17.
Tidak beda dengan PDIP yang mempromosikan nomor urut partai, PPP juga menyampaikan narasi yang hanya berkutat pada angka yang mereka dapatkan. Plt Ketua Umum DPP PPP, Mardiono menyebut, angka 17 dengan dalil dan dogma agama tanpa ada retorika janji konkret perubahan. Dengan harapan angka 17 bisa mendongkrak suara mereka.
“Ini mungkin petunjuk dari Allah SWT agar PPP terus mewarnai Indonesia, sesuai dengan kodratnya. Banyak filosofi yang termuat dalam nomor 17, seperti dideklarasikannya Indonesia, diturunkannya Alquran pada 17 Ramadan, dan jumlah salat dalam satu hari yaitu 17 rakaat," kata Mardiono dalam keterangan tertulis.
Partai-partai lain juga melakukan hal serupa dengan mengiklankan nomor urut mereka di setiap laman website dan media sosial. Angka-angka itu bersanding dengan logo hingga figur partai. Tidak ada variasi baik di partai lama atau baru.
Sikap partai yang menggunakan nomor urut untuk mencari pemilih daripada narasi dan gagasan juga didukung oleh penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu.
Komisioner KPU RI, Mochammad Afifuddin membenarkan hal tersebut karena yang diatur dalam undang-undang adalah proses kampanye. “Boleh sosialisasi, yang diatur adalah kampanyenya," kata Afifuddin.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja menambahkan bahwa pihaknya masih mencari aturan yang bisa melandasi proses pengawasan. Karena dikhawatirkan sosialisasi nomor urut partai akan menjadi kampanye terselubung.
“Aturannya belum ada, kita lagi ngobrol sama Pak Afif (KPU) targetnya Desember-Januari selesai," jelasnya.
Strategi 17 Partai Politik di Pemilu 2024: Adu Gagasan atau Jualan Nomor Urut
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengungkapkan bahwa Pemilu 2024 akan semakin semarak karena jumlah partai politik yang ikut dalam kontestasi bertambah banyak. Ia mensyukuri hal tersebut sebagai pertanda indeks demokrasi semakin meningkat dan partisipasi masyarakat untuk mengikuti politik ikut melonjak.
Namun, Adi masih menyayangkan bahwa partisipasi partai politik yang menanjak naik tidak dibarengi dengan narasi dan edukasi politik kepada pemilihnya. Hingga saat ini gagasan yang ditawarkan masih berupa angka nomor urut, karena mudah ditawarkan kepada para masyarakat.
“Partai politik masih menawarkan nomor urut, lalu mereka kreasikan sedemikian rupa. Alasannya masih sama, karena hal itu yang paling mudah diingat oleh warga," terangnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menjelaskan, narasi nomor urut karena partai politik tidak bisa menawarkan gagasan dan ideologi untuk perubahan kepada masyarakat. Ditambah lagi antar partai politik saling beririsan satu sama lain. Sebut saja, PDIP dan Gerindra atau PKS dan Gelora.
Akibatnya, partai politik hanya mengandalkan pada calon legislatif yang sudah memiliki pengaruh besar di masyarakat. Atau mempertahankan basis massa yang sudah masuk segmentasi sejak awal partai politik berdiri.
“Karena platform partai saat ini tidak terlalu kentara perbedaannya. Hanya PDIP dan PKS yang terlihat menunjukkan ideologi partai,” kata Arya.
Arya menyebut partai arus bawah dengan suara rendah yang berkompetisi sengit untuk meraup suara pemilih di Pemilu 2024. Partai-partai tersebut berpotensi 'saling sikut' mengingat adanya ambang batas parleman atau parliamentary threshold.
“Kalau partai lama secara infrastruktur dan basis massa sudah kuat, sedangkan partai baru atau partai dengan suara rendah basis suaranya masih lemah dan mereka yang beradu sengit. Partai baru bisa menyingkirkan partai lama bila suaranya terus terkikis," ujarnya.
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengkritik cara-cara partai politik yang enggan menonjolkan gagasan dan solusi kepada masyarakat. Menurut dia, partai harus bisa kreatif mengingat masa kampanye terlampau singkat untuk mengenalkan diri kepada pemilihnya.
“Harusnya partai bekerja keras untuk lebih kreatif dan inovatif dalam membangun ikatan kuat dengan pemilih apalagi mengingat masa kampanye yang berlangsung hanya 75 hari,” kata Titi.
Bila partai tidak mau kreatif dalam bersikap, Titi memprediksi ada banyak suara tidak sah yang muncul di Pemilu 2024. Karena banyaknya calon legislatif, namun minim kualifikasi untuk dipilih masyarakat.
“Pemilih kemungkinan juga akan semakin kebingungan dan bisa meningkatkan potensi suara tidak sah (invalid votes) yang makin tinggi akibat bertambah banyaknya caleg yang berkompetisi di daerah pemilihan mereka," ungkapnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz