tirto.id - Seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tega melakukan perbuatan keji mencabuli delapan pelajar yang menjadi anak didiknya. Aksi bejat guru olahraga ini diketahui telah berlangsung sejak korban berada di kelas 1 SD. Korban berjumlah delapan dengan usia 8-13 tahun.
“Pelaku KK yang adalah guru PJOK memanggil murid korban pada saat jam pelajaran PJOK. Pelaku kemudian memangku atau mendudukan korban dan kemudian melakukan tindakan pencabulan tersebut,” kata Kasat Reskrim Polres Sikka, Iptu Djafar Alkatiri, kepada Kontributor Tirto, Rabu (5/2/2025).
Tindakan pencabulan yang diduga dilakukan pelaku KK dengan cara mencium pipi dan bibir para korban, serta meraba payudara dan kemaluan.
Menurut Djafar Alkatiri, para korban awalnya tidak berani melaporkan kejadian tersebut kepda kepala sekolah atau orang tua mereka, karena takut akan ancaman akan dikurangi nilai mata pelajaran PJOK yang diampuh pelaku.
Namun, setelah saling bercerita di antara mereka, kasus ini akhirnya terdengar oleh pihak kepala sekolah. Keluarga korban bersama Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sikka mengambil langkah melaporkan kejadian ini ke SPKT Polres Sikka guna menuntut proses hukum.
“Setelah mendapatkan laporan polisi, kami bergerak cepat melakukan pemeriksaan terhadap para korban, para guru serta kepala sekolah. Dengan hasil pemeriksaan, kami mendapatkan alat bukti keterangan saksi dan visum dari RSUD Maumere. Kemudian kami menetapkan guru inisial KK sebagai tersangka dan ditahan sejak 1 Maret 2025,” kata Djafar Alkatiri.
Ia juga mengatakan, kasus pencabulan terhadap siswi ini tidak menutup kemungkinan adanya korban lainnya.
Terancam 15 Tahun Penjara dan Dipecat dari ASN
Saat ini, kata Djafar Alkatiri, pelaku KK telah ditahan di sel tahaban Polres Sikka. Pelaku disangkakan Pasal 82 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak juncto pasal 76e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara.
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sikka, Germanus Goleng, mengatakan, pihaknya mengetahui adanya kasus pencabulan tersebut, setelah mendapatkan informasi dari kepala sekolah tempat tersangka mengajar.
Setelah mendapatkan informasi dari kepala sekolah, pihaknya meminta kepala sekolah memfasilitasi pertemuan antara orang tua korban dan pihak pemerintah Kecamatan Doreng. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa pelaku harus diproses sesuai hukum yang berlaku dan dipecat dari statusnya guru ASN PPPK.
“Orang tua korban meminta pelaku dipecat sebagai pegawai dan diproses sesuai hukum yang berlaku,” kata Germanus, Rabu (5/2/2025).
Germanus menambahkan, kasus pencabulan terhadap delapan siswi oleh guru tersebut kini sedang ditangani Polres Sikka dan pihaknya menunggu hingga proses hukum selesai.
“Kami mengikuti ketentuan Undang-Undang ASN, sementara kami menunggu proses hukum yang sedang berjalan. Sanksi terberatnya pasti dipecat dari ASN,” kata Germanus menegaskan.
Sementara itu, Kepala UPTD PPA Dinas P2KBP3A Sikka, Maria Kristiani Yosepha, yang ditemui Kontributor Tirto, Kamis (6/3/2025), mengatakan, dalam kasus pencabulan ini, UPTD PPA yang melakukan laporan ke polisi. Usai laporan, polisi telah melakukan pemeriksaan dan melakukan penahanan terhadap pelaku.
“Sehari setelah kami membuat laporan polisi, tim dari PPA Polres Sikka turun melakukan pemeriksaan dan langsung melakukan penahanan terhadap pelaku dan visum terhadap delapan orang korban,” kata Maria.
Maria mengatakan, sejak proses penjangkauan dan pelaporan, pihaknya terus melakukan pendampingan, konseling dan edukasi terkait kasus kekerasan yang mereka alami. Terhadap korban, ada jeda pemeriksaan untuk meminimalisasi dampak lanjutan psikologis akibat proses pemeriksaan hukum yang intens. Menurutnya, untuk korban intervensi akan diberikan sesuai kebutuhan korban.
“Untuk korban, intervensi akan diberikan sesuai kebutuhan korban, jika memang tidak ada kondisi traumatis, maka tidak akan diberikan intervensi. Sejauh ini baru 3 korban yang mengalami gangguan psikologis sedang. Sementara 5 korban lainnya belum menunjukkan gejala,” kata dia.
Ia juga memastikan kedelapan korban pencabulan ini tetap beraktivitas dan bersekolah seperti biasa.
Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan Seksual Anak di Sekolah
Kasus pelecehan seksual di sekolah akhir-akhir ini marak terjadi. Praktisi pendidikan, Bertholomeus Jawa Bhaga, mengatakan, berdasarkan fenomena yang sering terjadi, nampaknya ada semacam relasi kuasa, ada praktik hegemoni di lembaga pendidikan. Guru pada kasus-kasus tertentu berperan sebagai pihak superior dan peserta didik sebagai inferior.
Menurut dia, pola hegemoni selalu berupa ancaman pengurangan nilai mata pelajaran dan iming-iming uang dan lain sebagainya. Jika memang tidak melayani apa yang menjadi permintaan guru, maka “ditekan atau diancam” dengan pengurangan nilai.
“Padahal model pendidikan yang sedang digaungkan sekarang adalah pendidikan yang mengharapkan peserta didik memiliki karakter yang baik, manusia yang bebas (merdeka) tanpa ada tekanan apa pun,” kata Bertholomeus yang juga Kaprodi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Maumere.
Ia juga mengatakan, prinsipnya adalah membangun karakter baik bagi peserta didik tentu didukung dengan lingkungan yang nyaman, kondusif tanpa adanya tekanan baik fisik maupun psikis. Peserta didik tumbuh dalam suasana yang menyenangkan tanpa ada tekanan apa pun. Jika kondisi ini terjaga, maka peserta didik akan lebih leluasa dalam mendapatkan banyak nilai-nilai dan karakter mereka terbangun.
“Ke depan perlu adanya penguatan yang komprehensif kepada para guru dengan dilakukan semacam rekoleksi rutin dan kegiatan-kegiatan positif lainnya. Peran kepala sekolah juga sangat penting dalam banyak hal mulai dari supervisi di kelas juga pendampingan kepada guru-guru berupa penegasan-penegasan di setiap rapat,” kata dia.
Menurut dia, pihak lain yang turut terlibat adalah masyarakat. “Perlu adanya kontrol yang berkesinambungan, karena kita mesti sampai pada membangun prinsip bersama bahwa untuk mendidik satu orang anak butuh peran satu kampung, karena membentuk peserta didik yang berkarakter juga menjadi tanggung jawab semua pihak, baik sekolah, orang tua, dan masyarakat,” kata Bertholomeus.
Penulis: Mario Wihelmus PS
Editor: Abdul Aziz