tirto.id - Kasus suap dalam putusan bebas Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya sekali lagi menampar wajah peradilan Indonesia. Hakim yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru sibuk mengatur harga putusan dengan ancaman dan lobi-lobi kotor. Kesaksian hakim nonaktif Erintuah Damanik dalam persidangan, Senin (3/3/2025) lalu, lagi-lagi mengungkap fakta mencengangkan.
Ia hadir di persidangan sebagai saksi atas terdakwa bekas pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar; ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja; dan Lisa Rachmat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Dalam keterangannya, Erintuah mengaku sempat mengancam Lisa, dengan memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan perkara Ronald Tannur. Karena digertak, Lisa yang bertindak sebagai pengacara Ronald, kembali menambah duit suap untuk Erintuah sebanyak 48.000 dolar Singapura atau setara dengan Rp587,2 juta.
Sebelumnya, Erintuah sudah mendapatkan jatah dari Lisa sebesar 38.000 dolar Singapura atau sekitar Rp463,9 juta. Jumlah ini hanya berselisih 2.000 dolar Singapura dari jatah suap yang diterima dua hakim anggota, Mangapul dan Heru Hanindyo. Karena jumlah yang tidak berbeda jauh tersebut, Erintuah merasa dipermainkan Lisa dan mengancam akan memutus dissenting opinion. Erintuah mengklaim hasil musyawarah hakim sebetulnya memang akan membebaskan Ronald Tannur dari dakwaan melakukan pembunuhan terhadap kekasihnya.
Kesaksian Erintuah itu mencerminkan sifat hakim yang bobrok dan memutus perkara bukan karena hati nurani, namun karena kepentingan perut belaka. Terlebih, kasus Ronald Tannur membuka kembali kedok mafia peradilan yang dilakukan oleh pegawai MA. Dalam perkara ini, terbongkar peran mantan pegawai MA, Zarof Ricar, sebagai makelar kasus. Terungkap kalau Zarof meminta bayaran Rp15 miliar dari Lisa atas imbalan upaya pengurusan perkara di MA.
Ironi terbesar dari kasus suap peradilan adalah peran hakim sebagai wakil Tuhan di dunia yang ternoda. Dalam sumpahnya, hakim berjanji untuk menjalankan keadilan berdasarkan hati nurani. Namun, dalam berbagai kasus, bukannya menjaga hukum tetap tegak, hakim justru menundukkan hukum di bawah kepentingan pribadi. Mereka lebih sibuk mengisi perut sendiri daripada mempertimbangkan keadilan.
Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menilai yang dilakukan oleh para hakim di kasus Ronald Tannur adalah upaya contempt of court. Upaya itu membuat hakim tidak betul-betul mencari keadilan di masyarakat, tetapi justru melakukan praktik korupsi.
“Dan ini tidak hanya menjadi tanda bobroknya moral koruptor, tetapi juga bobroknya moral penegak hukum kita. Ini melecehkan atau menghina dari kredibilitas dan integritas Hakim,” kata Satria kepada wartawan Tirto, Rabu (5/3/2025).
Satria mengingatkan bahwa hakim memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sangat besar sehingga kerap disebut sebagai wakil Tuhan di Bumi. Maraknya korupsi di tubuh MA dinilai sebagai sifat permisif di instansi tersebut yang kian menjalar. Akibatnya, berpengaruh terhadap integritas dan kredibilitas pengadilan di Indonesia.
Pengadilan, kata Satria, seolah tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari pembenaran atas kejahatan atau tindak pidana. Padahal, hakim ditugaskan mencari keadilan sebetul-betulnya di masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Hakim juga dituntut untuk bersikap imparsial dan independen atau merdeka dari segala intervensi.
Satria percaya suap di lembaga peradilan merupakan fenomena gunung es. Tidak tampak di permukaan, tetapi banyak sekali terjadi di lembaga peradilan. Dengan begitu, penting untuk merevitalisasi peran dari badan kehormatan hakim di Mahkamah Agung untuk memastikan hakim bertugas dengan integritas dan level antisuap serta antigratifikasi yang tinggi. Peran Komisi Yudisial (KY) juga harus diperkuat untuk menjaga kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Kasus suap dalam perkara Ronald Tannur memang bukan satu-satunya korupsi di MA yang terbongkar belakangan ini. Sebelumnya, Hakim Agung, Gazalba Saleh, telah divonis 10 tahun penjara karena korupsi dan pencucian uang pengurusan perkara. Vonis itu diberikan setelah hakim agung lain, Sudradjad Dimyati, dihukum MA tujuh tahun penjara karena suap. Selain hakim, korupsi juga dilakukan pegawai MA seperti sekretaris Hasbi Hasan dan Nurhadi.
“Sekali lagi masyarakat pencari keadilan yang kemudian akan dikorbankan kalau institusi atau lembaga peradilannya tidak kredibel seperti itu,” ujar Satria.
Masalah Sistematis dan Struktural
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Mentari Anjhanie Ramadhianty, menyampaikan bahwa kenyataan pahit yang harus disadari dalam kasus ini adalah korupsi peradilan masih menjadi masalah sistemik dan struktural. Penyalahgunaan wewenang oleh majelis hakim dalam kasus Ronald Tannur merupakan salah satu contoh permasalahan institusi dalam segi akuntabilitas kepemimpinan pengadilan.
Mentari menyatakan apabila melihat gambaran besar dari banyak kasus korupsi yang terjadi di pengadilan, auctor yang kerap terlibat merupakan orang-orang dengan posisi penting dan strategis di peradilan. LeIP mengidentifikasi keadaan tersebut sebagai krisis kepemimpinan di pengadilan.
“Di samping itu, peristiwa ini juga memicu pertanyaan, kenapa perilaku koruptif ini tidak sejak awal terdeteksi oleh sistem pengawasan di Mahkamah Agung,” ucap Mentari kepada wartawan Tirto, Rabu.
Oleh sebab itu, penyalahgunaan kewenangan hakim dalam kasus Ronald Tannur tidak bisa sekadar dilihat sebagai korupsi yang melibatkan individu. Mentari menilai, korupsi ini perlu dilihat secara sistem kelembagaan yang masih membuka peluang praktik tersebut.
Hal ini akan berdampak pada penodaan kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. LeIP mendorong posisi pimpinan di pengadilan diisi oleh individu berkualifikasi dan berintegritas tinggi.
“Agar legitimasi pengadilan bisa kembali,” imbuh Mentari.
Reformasi peradilan seharusnya menjadi agenda prioritas. Rekrutmen hakim harus lebih selektif. Sistem pengawasan internal dan eksternal juga harus diperkuat. Hakim yang terlibat korupsi harus dihukum lebih berat. Jika seorang hakim berkhianat pada hukum, hukum juga harus berlaku tanpa ampun kepadanya.
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, memandang korupsi peradilan sebagai manifestasi power tend to corrupt. Termasuk kuasa memutus yang diperjualbelikan seperti dalam perkara Ronald Tannur. Tak heran, kata Fickar, jika dampak panjang perkara ini adalah menipisnya kepercayaan publik terhadap peradilan di Indonesia.
Ia menduga masih banyak kasus-kasus yang tidak viral sehingga lolos dari pengawasan penegak hukum dan masyarakat. Hanya, kata dia, sulit membuktikan hal tersebut sebab ada kesepakatan berbagai pihak yang terlibat di pengadilan.
“Itu sudah terjadi ketidakpercayaan publik itu, karena ada anggapan bahwa jika pengadilan ingin menang atau ingin bebas maka dia harus bayar mengeluarkan uang,” kata Fickar kepada wartawan Tirto, Rabu.
Kasus Ronald Tannur adalah tamparan keras bagi sistem peradilan di Indonesia. Jika tidak terjadi reformasi sistemik, tinggal menunggu waktu untuk lahir skandal berikutnya. Sebab, di dalam sistem yang korup, keadilan hanya ilusi. Bisa dibeli, dinegosiasikan, dan dikalahkan uang.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang