tirto.id - Ada momen menarik dari perayaan kemenangan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, pada 6 November 2024 lalu. Presiden ajang tarung bebas, Ultimate Fighting Championship (UFC), Dana White, sempat tampil dan memberi pidato singkat.
“Saya ingin berterima kasih kepada Nelk Boys, Adin Ross, Theo Von, Bussin’ with the Boys, dan yang terakhir, Joe Rogan yang hebat dan berkuasa,” ujar White menutup pidato singkatnya, malam itu.
Menjadi salah satu figur yang secara terbuka memberi dukungan untuk Trump, White memegang peran penting dalam mengenalkan Trump kepada pemilih muda. White memfasilitasi Trump dalam penampilannya di berbagai acara, termasuk beberapa undangan siniar (podcast). Dia juga yang mengarahkan Trump untuk berpartisipasi untuk berpartisipasi dalam acara-acara podcast yang beresonansi dengan pemilih muda dengan latar laki-laki berkulit putih, demografi yang secara signifikan mengorkestrasi kemenangan Trump.
Nama-nama yang White sebut dalam ucapan terima kasihnya adalah mereka-mereka yang punya pengaruh besar di YouTube. Dua di antaranya, Theo Von dan Joe Rogan adalah penyiar podcast paling popular di YouTube. Rogan nomor 1, lewat kanal 'The Joe Rogan Experience', sementara Von berada di peringkat 6 lewat kanal 'This Past Weekend w/ Theo Von'.
Ucapan terima kasih dari White juga tidak berlebihan. Belum lama ini dalam blog resmi YouTube, Vice President Partnerships Podcast YouTube, Tim Katz, menyebut ada lebih dari 1 miliar pendengar aktif konten podcast di YouTube setiap bulannya, per Januari 2025.
"Tonggak sejarah ini menggarisbawahi bagaimana YouTube telah memainkan peran penting dalam podcasting bagi para kreator dan audiens, dan bagaimana investasi kami untuk meningkatkan pengalaman podcast di YouTube membuahkan hasil," ujar Tim dalam keterangan resmi 26 Februari 2025 lalu itu.
Mengutip informasi dari Edison Research, YouTube ini menjadi layanan yang paling sering digunakan untuk mendengarkan podcast di AS. Platform ini juga menjadi tempat pertama, pendengar mencari episode podcast terbaru. "Pencarian dan rekomendasi unik kami membantu orang menemukan podcast favorit teranyar," tambah Katz.
Lewat pencapaian ini, YouTube menguasai 31 persen pendengar podcast setiap minggunya di AS, melompati Spotify (27 persen) dan Apple Podcast (15 persen).
Mengutip informasi dari Bloomberg, dalam upaya mengkudeta Spotify sebagai pionir dan perusahaan yang mempopulerkan industri podcast, YouTube menginvestasikan lebih dari 1 miliar dolar AS dalam akuisisi dan kesepakatan lisensi untuk acara populer. Mereka juga menawarkan hingga 300 ribu dolar AS bagi podcaster untuk membuat versi video dari siaran berbasis audio mereka.
Di momen bersamaan, Spotify mulai goyang. Para investor mulai khawatir dengan pengeluaran yang kian besar. Ujungnya, penyedia layanan musik asal Swedia ini harus menutup studio podcast internalnya, memangkas jumlah karyawan, dan mengurangi investasinya untuk program Podcast.
Dalam keterangan akhir 2024 lalu, Katz menyebut ada akumulasi 400 juta jam podcast setiap bulan yang dinikmati penikmatnya lewat perangkat televisi di ruang keluarga.
Bagaimana Trump Memanfaatkan Podcast
Menjadikan Podcast sebagai salah satu pilar kemenangannya bisa jadi keputusan tepat bagi Tim Pemenangan Trump. Mengutip Fast Company, sebagian pemerhati lanskap politik AS sudah melabeli persaingan presiden 2024 sebagai "Era Pemilu Podcast".
Dalam beberapa tahun terakhir, podcast telah berkembang menjadi media berpengaruh dalam politik di AS. Pendengar kalangan muda dari sayap kanan cenderung menikmati konten podcast yang tidak hanya menjadi tempat hiburan tapi juga tempat menyebarkan pandangan politik konservatif. Trump dan tim kampanyenya sadar betul akan potensi ini. Mereka mencium skeptisme anak muda terhadap media tradisional.
Bloomberg dalam artikel visualnya juga sempat memetakan kehadiran Trump --juga beberapa orang yang kemudian berada di bawahnya seperti Wapres, JD Vance dan Penasihat Senior, Elon Musk-- sebagai tamu di sejumlah acara Podcast.
Trump menjadi undangan di setidaknya sembilan kanal podcast YouTube antara November 2022 sampai November 2024. Total video YouTube yang ia hadiri mengumpulkan lebih dari 113 juta penonton.
Catatan Bloomberg juga menunjukkan episode Podcast yang menghadirkan Trump cenderung mengumpulkan pendengar terbanyak dari tiap kanal. Episode paling sukses tentu di The Joe Rogan Experience yang mengumpulkan 51,8 juta penonton/pendengar, sekitar 11 hari sebelum hari pencoblosan.
Sementara Kandidat PhD dari Cardiff University School of Journalism, Media and Culture, Maxwell Modell menyebut momen pidato White saat perayaan kemenangan Trump sebagai bukti keberhasilan strategi media kampanye Trump.
Dia menunjukkan tanpa pergeseran pengaruh dari media arus utama ke saluran alternatif seperti podcast dan platform streaming langsung Twitch. “Kampanyenya pada tahun 2024 memelopori podcast sebagai format komunikasi utama dengan cara yang sama seperti yang dilakukannya pada Twitter pada tahun 2016,” ujar Modell dalam tulisannya untuk The Conversation.
Pengamat Media Sosial, Enda Nasution, juga sepaham. Menurut dia, kecenderungan media arus utama ke arah demokrat membuat lawannya mencari ladang bertarung lain. “Jadi memang mungkin YouTuber/podcaster yang didominasi oleh kulit putih laki-laki ini jadinya punya ruang untuk bicara yang lebih bebas dan tidak terbatas oleh politically correct opinion saja,” tuturnya kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).
Namun, menurut dia faktor kemenangan Trump juga ada sangat banyak dan beragam. Penggunaan media sosial lain secara efektif seperti TikTok juga disebut sempat naik ke permukaan. Yang tidak kalah penting kekecewaan terhadap Joe Biden dan kemudian naiknya Kamala Harris jelang akhir pencalonan juga menjadi faktor utama.
Dalam analisisnya, Modell menekankan bagaiamana peran besar podcast dalam Pemilu AS 2024. Dia mengatakan, Kamala Harris dalam derajat tertentu juga menerapkan strategi yang sama, memanfaatkan publikasi di podcast. Harris sempat menjadi tamu di program 'Call Her Daddy with Alex Cooper', 'Club Shay Shay with Shannon Sharpe', dan 'All the Smoke with Matt Barnes and Stephen Jackson'. Program yang disebut pertama adalah acara podcast kedua terbesar di Spotify, di bawah program Joe Rogan. Sementara ketiga program yang dihadiri Kamala sebagai tamu punya demografi target utama yang cukup jelas, perempuan muda dan laki-laki kulit hitam.
Harris juga sebenarnya mendapat undangan untuk tampil di acara podcast Joe Rogan, namun tim pemenangannya kemudian membatalkan kesempatan tersebut.
Modell juga menyebut podcast sebagai program yang berbeda dengan wawancara di media konvensional. "Wawancara ini sering kali merupakan wawancara partisan yang melanggar norma jurnalistik tentang netralitas dan objektivitas," ujar dia.
Dalam acara podcast pembawa acara kerap menampilkan pandangan politiknya dan cenderung menunjukkan keberpihakannya. Di sisi obrolan, bahasan di acara podcast cenderung lebih santai dan cenderung mendukung pernyataan politisi. "Pertanyaan softball ini dapat mengakibatkan pembawa acara menjadi kaki tangan dalam presentasi diri positif politisi tersebut, bukan sebagai interogator," tambah Modell lagi.
Dia juga menambahkan format wawancara dalam podcast cenderung punya format panjang dan tidak terformat dengan rapi. Semua hal bisa didiskusikan. "Ini sangat cocok dengan gaya percakapan Trump yang bertele-tele, sering kali tidak fokus, dan mengatakan apa pun yang sedang dipikirkannya," ujar Modell menyimpulkan.
Celakanya, format podcast yang cenderung ramah dan bersahabat membuat kecenderungan pembawa acara tidak kritis. Contohnya dalam podcast bersama Joe Rogan, Trump dengan lantang berbohong tentang isu vaksinasi dan kecurangan pemilu. Dia menyebut dirinya tidak kalah di Pemilu 2020, dan Rogan hanya menanggapinya dengan tertawa.
“Podcast kemungkinan besar akan mulai memainkan peran yang lebih besar dalam kampanye mendatang,” sebut Modell dalam bagian akhir tulisannya, sepakat dengan sejumlah pengamat yang dikutip sebelumnya.
Namun menurut dia ketimbang melihatnya sebagai masalah, hal ini bisa membuat lanskap pemilu dan politik menjadi semakin menarik. Ketimbang era media sosial saat tiap kelompok pendukung tertentu hanya mau mendengar narasi yang mereka percaya, podcast punya peluang untuk membuka wawasan dari pihak-pihak yang bertarung selama pemilu. Dengan catatan kandidat mau membuka diri terhadap program podcast dari acara yang mungkin berseberangan dengan mereka.
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Anggun P Situmorang