Menuju konten utama
Periksa Fakta

Travel Gelap: Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah?

Maraknya angkutan umum pelat hitam dipantik oleh kebutuhan perjalanan yang tidak dapat diakomodir layanan angkutan umum resmi atau legal.

Travel Gelap: Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah?
Petugas polisi memeriksa mobil travel gelap yang disita di halaman Polres Metro Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (10/5/2021)ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/pras.

tirto.id - Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tengah menaruh perhatian serius terhadap keberadaan layanan transportasi travel ilegal atau travel gelap, menjelang mudik Lebaran tahun ini. Travel gelap merupakan jasa perjalanan yang tidak terdaftar atau tidak memiliki izin resmi dari pemerintah. Mereka kerap menawarkan harga murah, namun mengabaikan standar keselamatan.

Dalam Operasi Keselamatan yang digelar 10-23 Februari 2025, setidaknya sebanyak 100 travel gelap telah ditindak oleh jajaran Ditlantas Polda Metro Jaya. Penindakan travel gelap juga dilakukan di berbagai wilayah lain di Indonesia. Ini dilakukan lantaran kehadiran mereka tidak hanya merugikan para konsumen, tetapi juga dapat menambah potensi bahaya bagi keselamatan dan keamanan pengguna jasa tersebut.

Melansir laman Polri Februari lalu, Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Agus Suryo Nugroho sempat menyebut bahwa travel gelap tidak memiliki izin angkut penumpang dan tidak di-cover oleh asuransi.

Untuk menjamin keselamatan penumpang, Irjen Agus lantas mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan mudik Lebaran menggunakan travel gelap.

Pada diskusi dengan sejumlah pakar transportasi di kantor Jasa Raharja, Jakarta Selatan, Selasa (4/3/2025), Irjen Agus juga menambahkan, bahwa masyarakat sebaiknya lebih selektif dalam memilih travel yang telah memiliki izin resmi.

“Apabila tahun ini mudik, gunakan kendaraan yang betul-betul aman, nyaman dan ada izin resminya. Bukan travel gelap seperti tahun kemarin ada kecelakaan di jalan tol," ujar Irjen Agus.

Berkaca pada mudik Lebaran tahun lalu, terdapat kecelakaan yang melibatkan travel gelap, yang menyebabkan 12 nyawa melayang. Kecelakaan ini melibatkan tiga buah mobil di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer (KM) 58, Senin (8/4/2024) lalu. Korban jiwa berasal dari mobil Gran Max yang terbakar dan menewaskan seluruh penumpang. Kendaraan tersebut merupakan travel gelap yang tidak memiliki izin.

Investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) juga mendapati, kendaraan travel gelap yang mengalami kecelakaan tersebut mengangkut penumpang melebihi kapasitas. Mobil yang seharusnya diisi maksimal sembilan orang, dipaksakan melaju dengan 12 penumpang. Ditambah, beban barang bawaan para penumpang di mobil memicu ketidakstabilan kendaraan.

Mengingat pentingnya keselamatan tersebut, Ketua Umum Inisiatif Strategis Transportasi (INSTRAN), Budi Susandi, mendukung penuh langkah tegas Kakorlantas yang telah menindak travel gelap agar tidak beroperasi di mudik Lebaran tahun 2025 ini. Hal ini dikarenakan travel gelap berisiko terjadi kecelakaan lalu lintas dan tidak terjamin keamanan maupun kenyamanannya.

Kata Budi, travel gelap biasanya mobil pribadi yang digunakan untuk kendaraan mudik dadakan, dan kelaikan jalan (teknis dan administrasi) kendaraan dan pengemudi tidak memenuhi regulasi pemerintah. Ditambah, kendaraan yang digunakan juga biasanya tidak mendapat perawatan dan perbaikan secara rutin dan berkala. Pun, kendaraan tersebut juga biasanya tidak melewati uji berkala kendaraan bermotor untuk memastikan bahwa kendaraan laik jalan.

“Travel gelap ini tidak terdaftar resmi, sehingga jika pengemudinya melakukan tindak kejahatan maka penumpang akan kesulitan untuk mencari dan melaporkan ke pihak berwajib,” jelas dia kepada Tirto, Rabu (5/3/2025).

Selain itu, kata Budi, pengemudi travel gelap juga tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik tentang rute perjalan mudik dan bagaimana memberikan pelayanan baik kepada penumpang angkutan umum. Maka, ketika terjadi keadaan darurat, biasanya supir akan kebingungan untuk menjaga agar penumpang tetap aman, selamat dan nyaman sampai tujuan.

Untuk itu, kata Budi, sebaiknya masyarakat dapat bijak memilih travel yang resmi. Terlebih, travel resmi kini dapat dikenali ciri-cirinya dengan mudah. Diantaranya menggunakan plat nomor kendaraan berwarna kuning, ⁠memiliki brand/merk perusahaan, pengemudinya memiliki seragam dan kartu identitas sebagai pengemudi perusahaan angkutan umum, serta terdaftar di instansi pemerintah, misalnya Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata, juga terdaftar di Organisasi Angkutan Darat (Organda), atau persatuan perusahaan dan pengemudi pariwisata.

Tak Bisa Diatasi Hanya Dengan Penegakan Hukum

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menilai, meskipun melanggar hukum dan berpotensi membahayakan konsumen, kehadiran travel gelap berkembang pesat karena adanya kebutuhan mendalam dari masyarakat akan pelayanan perjalanan yang murah dan cepat. Maka, selama akar masalahnya adalah kebutuhan, tidak bisa dibereskan dengan cara penegakan hukum sekalipun.

“Kebetulan saya sudah diskusi dengan Kakorlantas. Saya bilang, ‘pak ini masalah kebutuhan’. Kebutuhan nggak bakal bisa diselesaikan dengan cara penegakan hukum,” ujar Djoko kepada Tirto, saat dihubungi Rabu (5/3/2025).

Pasal 173 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki (a) izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek; (b) izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau (c) izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat. Kewajiban memiliki izin tidak berlaku untuk (a) pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau (b) pengangkutan jenazah.

Sementara sanksi ada di pasal 308, menyatakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu, untuk setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang (a) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek; (b) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek; (c) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat; atau (d) menyimpang dari izin yang ditentukan.

“Sanksi yang dikenakan pemilik kendaraan sangatlah ringan, sehingga perlu merevisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” jelas dia.

Djoko menambahkan, maraknya angkutan umum pelat hitam (travel gelap) merupakan kebutuhan perjalanan yang tidak dapat diakomodir layanan angkutan umum resmi atau legal. Sebagian masyarakat yang beraktivitas di Kawasan Jabodetabek yang berasal dari pedesaan banyak yang memanfaatkannya. Ditambah kini keberadaan angkutan pedesaan sebagai penyambung atau penghubung antara desa dengan Terminal Tipe A sudah banyak yang punah.

“Selama angkutan pedesaan tidak ada, ya travel gelap tetap ada. Tidak bisa dihilangkan,” imbuh dia.

Menurut Djoko, beroperasinya angkutan umum plat hitam atau travel gelap dianggap membantu memudahkan mendapatkan layanan angkutan umum door to door untuk mengantarkan penumpang sampai dengan tujuan penumpang.

Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Djoko, yang melibatkan penumpang asal Jawa Tengah, titik asal perjalanan dari Jawa Tengah adalah Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Tegal, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Banjarnegara. Penumpang dijemput sesuai dengan titik share location yang diberikan kepada agen.

Tarif hari normal dibandrol Rp250 ribu dan akhir pekan/libur Rp300-350 ribu. Penumpang paling ramai di hari Jumat dan Minggu. Jam keberangkatan kisaran pukul 16.00 – 19.00.

Kendati ada perbedaan tarif kisaran Rp100 ribu - Rp150 ribu lebih tinggi dibanding menggunakan angkutan umum resmi, namun, ada keluwesan dalam pembayaran, yakni pembayaran dapat dilakukan di awal atau sesudah penumpang tiba di tempat tujuan. Bahkan, ada layanan penawaran promo untuk penumpang rombongan, misalnya untuk penumpang yang berjumlah enam sampai tujuh orang, satu orang akan dapat perjalanan gratis.

“Jadi memang nggak bisa dihilangkan, karena kebutuhan. Yang salah adalah negara. Negara ini kan tidak perlu angkutan pedesaan. Saya masih mengupayakan agar transportasi umum itu menjadi public service obligation (PSO) gitu,” ungkap dia.

Oleh karena itu, Djoko mendorong pemerintah untuk mengembangkan angkutan kota dalam provinsi (AKDP) dan angkutan perintis untuk menanggulangi maraknya praktik travel gelap yang semakin meresahkan masyarakat. Kedua jenis angkutan ini dapat menjadi solusi penting untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada travel gelap, yang layanannya tidak terjamin.

Di samping itu, lanjut Djoko, Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD), sebagai kepanjangan wewenang Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan di daerah, dapat menjalin komunikasi dengan para pengusaha angkutan umum pelat hitam di daerah, sekaligus melakukan pembinaan dan sosialisasi peraturan perizinan angkutan umum.

Selain itu, menurutnya, peraturan tentang perizinan angkutan umum perlu disederhanakan, sehingga mudah dimengerti para pengusaha angkutan umum di daerah.

“Penegakkan hukum tetap dilakukan jika masih ada yang melanggar, dan merupakan upaya akhir setelah semua proses di atas dilakukan. Sesungguhnya, para pengusaha angkutan umum plat hitam mau melegalkan, cuma mereka kurang tahu caranya,” pungkas dia.

Tirto sudah berupaya menghubungi Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Hubdat Kemenhub, Ahmad Yani, untuk meminta penjelasan sekaligus menanyakan bagaimana langkah preventif dilakukan untuk meminimalisir kehadiran travel gelap. Namun hingga artikel ini dirilis, Ahmad Yani belum merespon pertanyaan Tirto.

“Lagi kita koordinasikan,” timpal Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Elba Damhur, saat dikonfirmasi Tirto mengenai pernyataan yang sama seperti diajukan ke Ahmad Yani.

Baca juga artikel terkait TRAVEL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Farida Susanty