tirto.id - Kasus kekerasan seksual terhadap anak di panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial (LKS) terus berulang. Terbaru, masyarakat dibuat geram dengan terungkapnya aksi bejat tiga predator seks anak di Panti Asuhan Darussalam An'Nur di Kunciran Indah, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten.
Polisi menetapkan Sudirman (40) yang merupakan ketua yayasan, dan dua pengasuh Yusuf Bachtiar (30) dan Yandi Supriyadi (29), sebagai tersangka kasus pencabulan di Darussalam An'Nur. Hingga Rabu (9/10/2024), polisi menyampaikan sudah ada 8 korban. Lima di antaranya masih berusia anak-anak.
Polisi terus menelusuri kemungkinan adanya korban lain, karena tindakan pencabulan yang dilakukan para tersangka diperkirakan sudah berlangsung lama. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menduga aksi bejat tersangka utama yakni Sudirman, dilakukan sejak panti ini berdiri pada 2006. Belakangan diketahui, keberadaan Panti Asuhan Darussalam An'Nur tidak memiliki izin dari Kementerian Sosial (Kemensos).
“Dua tersangka [Sudirman dan Yusuf] saat ini sedang dilakukan pemeriksaan psikologi oleh bagian psikologi Biro SDM Polda Metro Jaya,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, di kantornya, Kamis (10/10/2024).
Dijelaskan Ade, saat dilakukan penindakan, terdapat 13 anak asuh yang masih tinggal di panti asuhan. Saat ini, seluruhnya sudah dipindahkan untuk sementara waktu ke rumah perlindungan Dinas Sosial Kota Tangerang. Ia menerangkan, anak-anak ini akan mendapat penanganan psikologis, terutama bagi delapan anak asuh yang menjadi korban.
“Kami dapat informasi dari penyidik Dinas Kesehatan juga sudah menyiapkan psikolog," ungkap Ade Ary.
Di sisi lain, kasus kekerasan dan pencabulan terhadap anak asuh di panti asuhan atau LKS sudah berulang kali terjadi. Misalnya pada Mei 2024, seorang anak asuh di salah satu panti asuhan di Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, menjadi korban kekerasan seksual oleh pengurus panti. Menurut polisi, pelaku BS (53), sudah melakukan aksi bejatnya kepada korban secara berulang kali sejak 2022.
Seorang remaja perempuan di bawah umur juga menjadi korban pencabulan yang dilakukan pengelola panti asuhan di Kabupaten Kuningan pada Mei 2023. Pelaku adalah EEF berusia 61 tahun, dan telah melakukan aksi bejatnya sebanyak tiga kali terhadap korban sejak 2022.
Nasib nahas juga menimpa remaja perempuan berinisial MA (17), anak asuh di salah satu panti asuhan di Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Korban dicabuli oleh UP (51), pimpinan panti asuhan, yang diduga terjadi pada Oktober 2022. Tersangka UP melakukan aksi bejatnya dengan pura-pura memijit korban yang sedang sakit.
Komisioner KPAI, Dian Sasmita, melihat berulangnya kasus-kasus kekerasan seksual di panti asuhan atau LKS perlu direspons cepat dan terstruktur oleh pemerintah. Pemerintah tidak bisa hanya terfokus pada penanganan hukum saja jika sudah muncul korban.
“Kasus demikian sangat melukai hati kita semua. Puluhan anak menjadi korban selama bertahun-tahun,” kata Dian dihubungi reporter Tirto, Kamis (10/10/2024).
Ia menilai, ada beban besar seluruh pihak untuk mendukung pemulihan yang berkelanjutan dan tuntas bagi korban. Negara perlu memastikan anak-anak yang terpaksa harus berada di LKS atau panti asuhan terlindungi dari segala bentuk kekerasan dan perlakuan salah.
Menurut Dian, beberapa hal perlu diperkuat terkait keberadaan panti asuhan atau LKS. Dari segi regulasi misalnya, Kementerian Sosial sebagai kementerian/lembaga yang berwenang sebetulnya sudah memiliki aturan soal LKS dalam Permensos 30/2011. Namun, kata Dian, pelaksanaannya masih perlu ditingkatkan agar menjangkau lebih luas panti asuhan dan LKS.
“Lewat sosialisasi dan memastikan semua lembaga yang terkait mematuhi aturan tersebut. Salah satunya memastikan layanan terhadap anak benar-benar melindungi mereka,” kata dia.
Apalagi, kata Dian, masih banyak LKS yang beroperasi tanpa izin dan minim diawasi. Perlu pengawasan berjenjang yang turut melibatkan pemerintah lokal seperti kelurahan atau desa, untuk proaktif melakukan pengawasan pada pengasuhan anak berbasis lembaga.
“Memastikan apakah perizinan mereka lengkap atau tidak. Fokusnya di sini tidak hanya berizin atau tidak, namun dengan memenuhi prasyarat ini dapat meminimalisir pelanggaran hak anak,” jelas Dian.
Pasalnya, Kemensos mengamanatkan LKS atau panti asuhan untuk bisa mengembangkan kebijakan dan lingkungan yang melindungi anak. Di sisi lain, peran masyarakat sekitar LKS atau panti asuhan juga berperan penting dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan di dalam panti.
“Perlu meningkatkan kepedulian semua pihak. Jika ada lembaga-lembaga anak yang terindikasi melanggar hak anak, segera dilaporkan ke pemerintah setempat agar dapat ditindaklanjuti,” tegasnya.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, menilai kasus kekerasan seksual terhadap anak termasuk sulit dideteksi dini, karena biasanya terungkap setelah terjadi berulang kali dan setelah ada laporan dari korban. Terlebih, korbannya anak-anak yang belum cakap dan tidak mengerti kalau tindakan yang mereka alami adalah kekerasan.
Dalam banyak kasus, kata Lisda, pelaku kekerasan seksual pada anak justru adalah orang terdekat atau yang dikenali anak. Ia menilai, perlu ada pengawasan yang terus dilakukan di panti asuhan atau LKS untuk memastikan anak terpantau dari tindakan penyimpangan.
“Karena itu, pengawasan harus terus dilakukan termasuk misalnya menggunakan CCTV yang selalu dicek secara berkala,” ujar Lisda kepada reporter Tirto.
Selain itu, anak perlu diberikan edukasi sedini mungkin soal bagian mana dari tubuhnya yang apabila disentuh orang lain, harus mereka tolak. Anak bisa diajarkan untuk teriak atau mengadu saat tindakan tersebut mereka alami.
Lisda menilai, anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan berdampak bukan hanya pada fisiknya, tetapi juga trauma psikis yang berkepanjangan. Hal ini bisa berdampak pada gangguan emosional; seperti harga diri yang rendah, tidak percaya kepada orang lain, sulit berbaur dengan lingkungan, hingga merasa kesepian.
“Mereka memerlukan bantuan profesional dalam jangka panjang karena dampak psikis tidak selalu langsung terlihat setelah kejadian,” ujar Lisda.
Ia menegaskan, pengurus yayasan atau lembaga panti asuhan atau LKS memastikan staf dan pegawainya bukan predator anak. Saat ini, kata dia, sudah banyak LKS atau panti asuhan yang menerapkan kebijakan perlindungan anak dan pencegahan pelecehan dan kekerasan terhadap anak.
“Misalnya ketika merekrut staf atau pegawai dipastikan dilakukan cek background terlebih dahulu, kemudian mendapat pelatihan untuk mencegah kekerasan seksual,” ucap dia.
Peran Semua Pihak
Menurut data Kementerian Sosial, dari periode 2013 hingga Juli 2024, terdapat 12.745 LKS anak yang ada di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 635 panti tidak terakreditasi, 1.715 panti tidak memenuhi syarat, dan 262 panti berstatus blank alias tidak ditemukan atau berpindah alamat.
Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyebut, panti asuhan Darussalam An’Nur di Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, termasuk yang berstatus blank. Artinya, panti tersebut tidak terdaftar dan tidak memiliki izin alias beroperasi secara ilegal.
"Tidak ada [izin] sama sekali ini, termasuk yang blank," kata pria yang akrab disapa Gus Ipul itu, Selasa (8/10/2024).
Setelah kasus di Tangerang, Gus Ipul berencana merevisi regulasi jenjang perizinan panti asuhan untuk memperketat izin operasional. Ia menyebut bakal menggandeng pemerintah kabupaten atau kota tempat panti asuhan tersebut beroperasi.
“Kalau perlu merubah regulasi termasuk melakukan pengetatan-pengetatan, memperkuat pengawasan, dan koordinasi dengan kabupaten-kota, nanti akan ada perencanaan yang matang,” terang dia sebagaimana dikutip Antara.
Sementara itu, Psikolog klinis, Veronica Adesla, memandang negara punya tanggung jawab melakukan pengawasan secara ketat dan menindak tegas dengan memberikan sanksi berat terhadap pelaku pencabulan di LKS atau panti asuhan. Lembaga pemerintah perlu bekerja bersama dan jangan lempar tanggung jawab ketika terjadi kasus seperti ini.
Pasalnya, pelecehan seksual pada anak meninggalkan jejak kejadian traumatik yang dapat mempengaruhi perkembangan. Misalnya, korban berpotensi mengalami persoalan perilaku seksual, depresi/kecemasan, mengalami gejala pasca-trauma, hingga terlibat kriminal.
“Korban berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari bila tidak mendapatkan penanganan yang tepat,” kata Vero kepada reporter Tirto, Kamis.
Peran pemerintah terhadap korban sangat diperlukan. Penanganan psikologis pada korban anak dapat dilakukan individu atau berkelompok oleh profesional. Termasuk, memberikan pembekalan dan melibatkan sosok pendamping untuk memberikan pengasuhan yang tepat dalam mendukung kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis korban.
“Pengasuh yang dimaksud di sini adalah orang dewasa yang sehari-hari terlibat dan bertanggung jawab mengasuh anak,” ucap Vero.
Di sisi lain, Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menegaskan pemerintah bisa berperan mengubah konsep pengasuhan terhadap anak-anak terlantar. Menurut Dewi, anak-anak tersebut tidak harus selalu diasuh oleh LKS atau panti asuhan.
Justru, kata dia, sebisa mungkin dapat diasuh oleh orang-orang terdekat atau yang kerabat masih memiliki hubungan keluarga. Dalam konsep pengasuhan anak, seharusnya menjadi kewajiban seluruh pihak untuk menciptakan lingkungan ramah anak, termasuk masyarakat.
“Masyarakat punya peran dan tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman terhadap anak,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Kamis (10/10/2024).
Dewi berpendapat agar masyarakat tidak menjadikan panti atau LKS sebagai satu-satunya tempat untuk anak-anak terlantar. Sebab, hal ini menimbulkan persepsi bahwa LKS atau panti asuhan yang cuma memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan atau memenuhi hak-hak dari anak tersebut.
“Sebenarnya tanggung jawab terletak kepada setiap kita di masyarakat, yang berkewajiban untuk menciptakan lingkungan aman,” ujar Dewi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz