Menuju konten utama

Menanti Taji Dittipid PPA-PPO Menumpas Kekerasan Anak dan Gender

Masyarakat berharap Dittipid PPA-PPO Polri mampu menjawab persoalan kekerasan pada anak dan perempuan yang terus berulang. Simak selengkapnya.

Menanti Taji Dittipid PPA-PPO Menumpas Kekerasan Anak dan Gender
Kapolres Jakarta Utara (Jakut), Kombes Gidion Arif Setyawan, saat menjenguk korban kekerasan ibu tiri di RSUD Koja, Jakut, Rabu (18/9/2024). FOTO/Dokumentasi Polres Metro Jakut.

tirto.id - Angka kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan selalu tinggi saban tahun. Langkah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membentuk Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Dittipid PPA-PPO) di Badan Reserse Kriminal Polri, pantas disambut baik. Masyarakat berharap Dittipid PPA-PPO Polri mampu menjawab persoalan kekerasan pada anak dan perempuan yang terus berulang.

Sejumlah pihak memandang ini sebagai momen yang tepat bagi Polri membenahi kultur patriarkis di tubuh mereka. Dittipid PPA-PPO Polri diharapkan memahami dan menerapkan penanganan kasus dengan perspektif gender. Korps Bhayangkara diminta membuktikan taji dan efektivitas pembentukan direktorat yang dipimpin Brigadir Jenderal (Pol), Desy Andriani, ini dalam menumpas dan menangani kekerasan pada anak dan perempuan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pembentukan Dittipid PPA-PPO Polri sebagai angin segar di tengah tingginya kasus kekerasan anak akhir-akhir ini. Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, berharap direktorat baru Polri ini harus bisa mempermudah dan mempercepat proses penanganan kasus anak yang saat ini semakin banyak dan beragam.

Terutama, kata Diyah, kasus-kasus yang meliputi kekerasan fisik, seksual, dan TPPO pada anak-anak. Proses penanganan yang cepat, sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 59A tentang penanganan perlindungan khusus anak.

“KPAI menyambut baik dibentuknya direktorat PPA-PPO, bagi kami ini angin segar, namun banyak harapan tentunya yang KPAI sampaikan,” kata Diyah dihubungi reporter Tirto, Rabu (25/9/2024).

KPAI berharap Dittipid PPA-PPO Polri mampu meningkatkan sumber daya manusia polisi yang memiliki perspektif Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diyah menyatakan pihaknya masih sering menjumpai Unit PPA di daerah yang belum menjalankan UU SPPA.

Selain itu, Diyah berharap Dittipid PPA-PPO berkolaborasi dengan berbagai pihak, terutama lembaga nasional HAM (LN-HAM). Kolaborasi dapat mengefektifkan upaya pencegahan dan penanganan kasus anak agar segera terselesaikan dengan lebih cepat dan komprehensif.

“Dengan direktorat baru ini harapannya tidak ada lagi penanganan anak oleh aparat penegak hukum yang tidak sesuai SOP perlindungan anak. Tentunya pendekatan yang dilakukan lebih persuasif daripada kuratif,” ujar Diyah.

Penanganan yang tepat dan cepat memang sangat berpengaruh dalam kasus anak. Pada kasus dugaan kekerasan dan penculikan pada anak misalnya, polisi harus bergerak tepat dan cepat ketimbang meributkan tetek bengek administratif. Keselamatan dan hak-hak anak harus didahulukan agar nyawa anak bisa diselamatkan.

kekerasan pada anak

ilustrasi kekerasan pada anak.foto/shutterstock

Kasus penculikan disertai kekerasan pada anak memang belakangan kembali disoroti. Para pelaku biadab ini tak segan-segan melakukan kekerasan fisik, dan bahkan tega menghabisi nyawa anak. Teranyar, seorang anak berusia lima tahun di Cilegon, Lebak, Banten menjadi korban penculikan dan pembunuhan yang diduga dipicu persoalan piutang orang tua.

Korban berinisial APH tewas setelah dua hari hilang diculik sejak Selasa, (17/9/2024). Jasad APH ditemukan dalam kondisi penuh lebam, Kamis (19/9/2024), di Pantai Cihara, Banten. Sebelumnya, orang tua korban mengaku mendapat pesan ancaman dari orang tak dikenal bahwa APH akan diculik.

Naas pesan ancaman tersebut menjadi kenyataan hingga nyawa APH tak terselamatkan. Belakangan, polisi membekuk lima orang tersangka penculikan dan pembunuhan APH. Para pelaku sadis ini diduga melakukan perbuatan kejinya karena ihwal piutang dengan orang tua korban.

Kasus APH membawa pelajaran soal pentingnya peran masyarakat dan polisi menangani kasus kekerasan pada anak secara tepat dan cepat. Hal ini sejalan dengan harapan KPAI yang mendorong kepolisian mampu menangani kasus anak secara cepat sesuai mandat UU Perlindungan Anak. Lahirnya Dittipid PPA-PPO Polri harus mampu jadi jawaban harapan ini.

Peneliti ISESS bidang kepolisian, Bambang Rukminto, sepakat bahwa kepolisian harus mulai membenahi prosedur penanganan kasus anak dan perempuan agar lebih responsif. Apalagi dengan didirikannya Dittipid PPA-PPO Polri, pelayanan polisi harus menggunakan prinsip dan perspektif gender.

“Ini lagi-lagi masih menjadi mindset personel kepolisian yang semakin menjauh dari tupoksinya melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat. Tetapi saat ini seolah-olah mereka berjarak dari masyarakat,” kata Bambang ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu.

Menurutnya, pembentukan Dittipid PPA-PPO Polri memang urgen dilakukan di tengah kasus kekerasan pada anak dan perempuan yang selalu tinggi. Meski perlu diapresiasi, Bambang tak memungkiri bahwa pembentukan ini perlu diiringi dengan langkah yang strategis.

Ia berharap direktorat baru ini diisi oleh personel kepolisian yang memiliki kompetensi dalam bidang perlindungan perempuan dan anak. Selain itu, personel polisi di dalamnya juga perlu paham terkait perspektif gender, bukan mereka yang masih dominan berpikiran patriarkis.

Bambang memandang, masalah utama tubuh kepolisian dan unit PPA adalah cara berpikir patriarkis. Cara pandang ini sudah mengakar dan menjadi kultur yang harus bisa dievaluasi. Hadirnya Dittipid PPA-PPO Polri juga memberi kesempatan bagi polwan lebih berperan aktif.

“Mereka harus diberdayakan sejak awal direktorat PPA-PPO berdiri. Jangan hanya sekadar di tempatkan di bidang protokoler saja untuk layani atasan tapi harus lebih berperan di Dittipid PPA-PPO,” kata dia.

Ia mengingatkan, polisi merupakan bagian dari masyarakat, sehingga sudah selayaknya tak berjarak dan abai terhadap keluhan warga. Polisi perlu menangani serius kasus-kasus yang berhubungan dengan perempuan dan anak tanpa adanya diskriminasi terhadap korban.

“Selama belum berubah dan kultur patriarki masih tertanam, upaya melindungi dan melayani masyarakat dengan berbasis gender akan jauh dari harapan,” ucap Bambang.

Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko, menyebut Direktorat PPA-PPO dibentuk berdasarkan keresahan masyarakat dan perkembangan kejahatan. Trunoyudo menjelaskan Kapolri berkomitmen dalam melayani isu-isu perempuan dan anak.

“Ini merupakan komitmen bapak Kapolri dalam upaya mewujudkan keadilan bagi perempuan dan anak serta kelompok rentan dengan resmi membentuk Direktorat PPA dan PPO dan menunjuk Brigjen Desy Andriani sebagai Dirtipid PPA dan PPO,” kata Trunoyudo dalam keterangannya, Senin (23/9/2024).

Dinanti dan Diharapkan

Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menyambut baik hadirnya Dittipid PPA-PPO karena pihaknya memang sudah menunggu-nunggu adanya direktorat ini. Akhir-akhir ini, kata dia, perkembangan teknologi dan informasi membawa berbagai bentuk jenis ancaman kejahatan baru. Termasuk anak dan perempuan menjadi korban pornografi, pedofilia, hingga jebakan penipuan daring.

“Mengingat tahun-tahun terakhir ini juga banyak sekali kasus perdagangan orang dengan korban terbanyak perempuan dan anak-anak,” ucap Poengky saat dihubungi reporter Tirto, Rabu.

Ia menilai, direktorat baru ini menyatukan penanganan kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak dengan kasus pidana perdagangan orang, sehingga relevan untuk keadaan saat ini. Kompolnas, kata Poengky, sejak dulu mengingatkan bahwa kasus-kasus kejahatan dengan korban perempuan dan anak sangat banyak dan perlu ditangani lebih maksimal oleh Polri.

Saat itu, Kompolnas mendorong agar Polri mengedepankan peran polwan, dan menaikkan status unit PPA menjadi direktorat. Baru di akhir 2021 Kapolri kemudian menyatakan akan menaikkan status unit PPA menjadi Direktorat PPA. Setelah resmi membentuk Dittipid PPA-PPO Polri, Poengky berharap Polri mampu menangani kasus-kasus secara profesional, transparan dan akuntabel seperti harapan masyarakat.

“Kami menyambut baik Direktorat PPA dan Perdagangan Orang dengan dipimpin Brigjen Pol Desy Andriani, segera running well,” ucap Poengky.

Sementara itu, Ahli hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai paradigma sumber daya manusia Polri harus bisa memahami dan punya perspektif gender. Personel Dittipid PPA-PPO Polri harus memiliki kekhususan penanganan kasus kekerasan berbasis gender sesuai amanat UU TPKS.

“Yakni penyidik dan APH lainnya yang menangani kasus KS [kekerasan seksual] harus bersertifikasi karena artinya mereka benar-benar sudah diberi pelatihan dan dinyatakan andal menangani kasus-kasus kekerasan seksual,” kata Orin kepada reporter Tirto, Rabu.

ilustrasi kekerasan seksual

Ilustrasi kekerasan seksual. FOTO/istockphoto

Ia menilai, perlu pemanfaatan teknologi yang lebih andal untuk kasus menggunakan sarana teknologi dan informasi untuk mengeksploitasi anak-anak. Kecenderungan pembahasan isu hukum saat ini, kata Orin, adalah penyalahgunaan teknologi untuk melakukan tindak pidana terhadap anak.

Misalnya, kasus eksploitasi anak, kasus TPPO, hingga grooming terhadap anak lewat media digital atau disebut sebagai cyber grooming.

“Jadi direktorat ini perlu bersinergi dengan lembaga lain, misalnya PPATK dalam melacak aliran dana,” terang Orin.

Senada dengan Orin, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyatakan perempuan dan anak merupakan kelompok paling rentan menjadi korban TPPO. Julius berharap, direktorat ini mampu menjadi ujung tombak memastikan pemulihan hak-hak korban, termasuk restitusi dan rehabilitasi, serta memberikan jaminan bahwa fokus penanganan kasus TPPO bukan cuma pada hukuman pelaku, tetapi juga pada kesejahteraan korban.

Temuan riset PBHI, kata Julius, penegakan hukum pada kasus yang melibatkan perempuan dan anak, termasuk TPPO, perlu memprioritaskan pemulihan hak-hak korban. Aparat Penegak Hukum (APH) berperan penting dalam memastikan proses restitusi dan pemulihan bagi para korban.

“Hal ini didukung data dari LPSK, yang menunjukkan bahwa unit Satgas TPPO merupakan pengaju restitusi tertinggi,” kata Julius kepada reporter Tirto, Rabu.

Julius mendorong penerapan victim-based criminal justice system atau sistem peradilan pidana dimana korban menjadi pusat perhatian. PBHI memandang, pendekatan ini sudah sejalan dengan langkah terbaru Bareskrim Polri membentuk Dittipid PPA-PPO.

“PBHI memandang langkah ini sebagai bukti komitmen serius Polri dalam memberantas kasus PPA-PPO dengan pendekatan yang berpusat pada korban. Langkah ini juga sejalan dengan prinsip victim-centered justice,” terangnya.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN ANAK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang