Menuju konten utama

Anak Korban KDRT Berhak Pulih dan Meniti Masa Depan

Anak korban KDRT berhak mendapatkan pemulihan dan perhatian maksimal dari orang dewasa, juga pemangku kebijakan.

Anak Korban KDRT Berhak Pulih dan Meniti Masa Depan
Kapolres Bogor AKBP Rio Wahyu Anggoro (kiri) didampingi Asisten Deputi Pelayanan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kementerian PPPA Atwirlany Ritonga (kanan) menginterograsi tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan dan kekerasan anak berinisial ATG (tengah) saat konferensi pers di Polres Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/8/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nym.

tirto.id - Anak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memerlukan penanganan serius dan menyeluruh untuk memulihkan luka fisik dan psikisnya. Kasus KDRT yang menimpa selebgram Cut Intan Nabila (23), berimbas pula kepada anak-anaknya. Mantan atlet anggar asal Bogor, Jawa Barat itu, menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri, Armor Toreador (25).

Armor sudah ditangkap oleh Kepolisian Resor Bogor saat berada di sebuah hotel kawasan Jakarta Selatan, Selasa (13/8/2024). Kasus ini viral setelah publik dibuat geram akibat video yang menunjukkan aksi bejat Armor memukul dan menjambak rambut Intan tersebar. Aksi kekerasan ini diduga sudah dilakukan Armor kepada Intan selama lima tahun berkeluarga.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengaku sudah melakukan pemeriksaan terhadap anak pertama dan kedua Cut Intan Nabila. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan apakah Armor Toreador, juga pernah menjadikan anak-anaknya korban KDRT.

Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menjelaskan bahwa pemeriksaan fisik dan psikis tengah diupayakan kepada anak-anak korban. Ia menyatakan, kekerasan terhadap Intan dilakukan di hadapan dua anaknya tersebut, sehingga ada potensi mereka turut jadi korban KDRT secara psikis maupun fisik.

"Intan pernah mengalami KDRT di depan anak-anaknya. Jadi pasti psikis mereka [anak-anaknya] kena juga," kata Diah dihubungi reporter Tirto, Senin (19/8/2024) malam.

Diyah menegaskan, proses penanganan anak korban KDRT harus berjalan cepat. Terutama korban harus segera mendapatkan pendampingan dari pekerja sosial maupun perlindungan hukum.

Semua pihak juga diharapkan memberikan dukungan sampai proses ini selesai. Penanganan kasus ini dilakukan cepat selaras sesuai amanah UU Perlindungan Anak pasal 59A.

“Kami masih meminta pendampingan dan jika dimungkinkan visum ya, karena khawatir anak-anak secara fisik psikis juga terkena KDRT. Kami masih berkoordinasi dengan Polres Bogor,” tutur Diyah menceritakan perkembangan kondisi anak-anak Cut Intan.

Terlepas dari kasus KDRT yang menimpa Cut Intan, Diyah menjelaskan bahwa anak korban KDRT sering kali terabaikan. Menurutnya, dalam pikiran orang dewasa yang berkonflik, sangat jarang memikirkan perasaan anak-anak yang menyaksikan pertikaian mereka di rumah.

Kasus KDRT dan kekerasan kepada anak di Bogor

Polisi mengawal tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan dan kekerasan anak berinisial ATG (tengah) saat konferensi pers di Polres Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/8/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nym.

Padahal anak-anak secara rasa dan pikiran memahami apa yang terjadi pada orang tua. Apalagi sampai melihat perilaku KDRT orang tua, secara tidak langsung ini akan terbawa ke alam bawah sadar anak-anak.

“Dan lebih miris lagi jika dalam masalah orang tua, anak-anak menjadi pelampiasan konflik mereka,” jelas Diyah.

Jika anak-anak Cut Intan terbukti mengalami kekerasan fisik atau psikis sesuai hasil visum, maka Armor bisa dijerat juga dengan UU Perlindungan Anak. Orang tua yang terbukti jadi pelaku kekerasan terhadap anak mereka, berpotensi mendapatkan pemberatan setengah dari hukuman maksimal.

“Sesuai dengan UU Perlindungan Anak pasal 76C, ini bisa dibuktikan dengan hasil visum et repertum atau visum psikologis,” tutur Diyah.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai bahwa anak anak yang menyaksikan KDRT terhadap orang tua mereka, sangat rentan mengalami trauma dan masalah kesehatan mental. Paparan terhadap tindak KDRT dapat mengganggu perkembangan psikologis anak dan berpotensi mengalami beberapa gangguan.

“Seperti masalah kecemasan berlebih hingga depresi, dan Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD), agresif dan antisosial, hingga masalah akademik dan sosial,” ucap Wawan kepada reporter Tirto.

Wawan menjelaskan, anak-anak yang pernah mengalami atau menyaksikan KDRT sering kali menghadapi potensi dampak jangka panjang yang berlanjut hingga tumbuh dewasa. Pengalaman traumatis seperti KDRT dapat mempengaruhi perkembangan psikologis secara mendalam, dan menciptakan bekas luka emosional yang sulit hilang.

Salah satu dampak utamanya, papar Wawan, mereka berpotensi kesulitan dalam menjalin dan mempertahankan hubungan interpersonal yang sehat. Anak-anak korban KDRT dapat mengalami ketidakpercayaan yang mendalam terhadap orang lain.

“Mengingat pengalaman masa lalu mereka dengan kekerasan dan pengkhianatan, hal ini dapat membuat mereka cenderung menarik diri atau, sebaliknya, terlibat dalam hubungan yang tidak sehat,” kata Wawan.

Meniti Masa Depan Anak

Maka demikian, sudah menjadi tugas orang dewasa dan pihak terkait yang harus membantu memulihkan dan mengembalikan hak anak korban KDRT untuk hidup aman dan kembali meniti masa depan. Hal ini sejalan dengan mandat Undang-Undang Perlindungan Anak serta Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi lewat Keputusan Presiden RI nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Right of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).

Wawan menjelaskan, salah satu langkah pertama yang terpenting adalah menyediakan intervensi psikologis melalui terapi individu pada anak korban KDRT. Terapi kognitif-perilaku (CBT) dan terapi bermain dinilai sangat efektif membantu anak-anak mengatasi trauma mereka.

“Dalam terapi ini, seorang terapis yang terlatih bekerja dengan anak untuk memproses pengalaman traumatis mereka dan mengembangkan keterampilan coping yang sehat,” tutur Wawan.

Namun, menurut Wawan, intervensi psikologis saja tidak cukup. Dukungan keluarga sangat penting dalam proses pemulihan anak korban KDRT. Program yang bisa melibatkan seluruh keluarga dapat memperbaiki dinamika keluarga serta menciptakan lingkungan aman dan mendukung bagi anak.

“Hal ini membantu memperkuat ikatan emosional dan komunikasi yang sehat antaranggota keluarga, yang sangat penting bagi pemulihan anak,” ucap Wawan.

Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, turut mengamini pendapat Wawan. Ia menilai, penanganan kasus KDRT tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku tindak kekerasan tersebut. Lebih dari itu, pemerintah harus menjamin korban KDRT – baik orang tua dan anak – mendapatkan pemulihan sosial dan psikologis.

“Korban harus dibantu, diberikan akses psikologis karena nggak cukup dihukum pelakunya. Jadi persepsi bahwa yang ditangani pelakunya saja itu harus dikembangkan, bahwa korban juga mesti dibantu ditangani traumanya,” jelas Lisda kepada reporter Tirto, Senin.

Kekerasan psikis terkadang terlewat karena sulit terlihat secara kasat mata. Begitupun anak korban KDRT bisa saja nampak baik-baik saja secara fisik, namun menyimpan trauma atas kejadian yang mereka lihat atau alami.

“Itulah mengapa kekerasan psikis itu nggak bisa langsung dikenali anak-anak itu mengalami trauma. Biasanya baru diketahui saat ia mengalami psikosomatis. Misalnya anak kalau mau sekolah sakit kepala atau nggak mau sekolah,” tutur Lisda.

Orang tua maupun orang dewasa di sekitar anak, diminta mampu mengidentifikasi trauma yang dialami anak. Dampak psikologis pada anak korban KDRT berpotensi jangka panjang, sehingga perlu dibangun komunikasi yang efektif dan berempati terhadap mereka.

“Kalau kita melihat anak kita berbeda dari biasanya kita harus wanti-wanti harus waspada mengamatinya dengan lebih detail. Orang tua harus mampu mengembangkan komunikasi efektif, komunikasi empati sehingga anak tidak takut berkomunikasi,” imbuh Lisda.

Sementara itu, Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, mendorong pemerintah melalui pendamping atau petugas sosial terkait dapat memberikan bantuan layanan pemulihan kepada korban KDRT dan anak-anaknya. Hal ini harus dilakukan dengan tenaga profesional kesehatan mental seperti psikolog.

Lebih lanjut, dapat membangun kolaborasi dan kerja sama antarmasyarakat di lingkungan korban KDRT untuk membangun ekosistem perlindungan yang turut mendorong pemulihan korban dari tindak kekerasan yang dialami.

Dewi menjelaskan, jejak trauma pada anak korban KDRT bersifat laten sehingga tidak mudah dipulihkan dalam jangka waktu pendek. Imbasnya, hal tersebut dapat berdampak dalam pola interaksi anak, dan berpotensi mengulang tindak kekerasan yang sama.

“Khususnya hubungannya dengan lawan jenis. Dan akan cenderung relatif mengulang perilaku yang sama,” kata Dewi kepada reporter Tirto.

Oleh sebab itu, ia menekankan, perlindungan dan pemulihan korban KDRT harus dilakukan secara komprehensif dan mencakup seluruh individu yang hidup dalam situasi kekerasan tersebut. Anak korban KDRT berhak mendapatkan pemulihan dan perhatian maksimal dari orang dewasa, juga pemangku kebijakan yang bertanggung jawab menegakkan hak anak.

“KDRT akan membawa dampak terhadap tumbuh kembang anak serta bagaimana karakter anak di masa dewasanya,” tegas Dewi.

Baca juga artikel terkait KDRT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang