tirto.id - Kasus perundungan terhadap dokter residen atau di lingkup peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) marak terungkap. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan sejak Juli 2023 hingga saat ini, ada sebanyak 356 laporan yang mereka konfirmasi sebagai bentuk perisakan terhadap peserta PPDS.
Sepanjang itu pula, Kemenkes menerima sebanyak 1.500 laporan dugaan perundungan di lingkup PPDS, baik terjadi di rumah sakit vertikal Kemenkes ataupun rumah sakit umum. Hal ini langsung disampaikan Juru bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, ketika dihubungi Tirto, Senin, 19 Agustus 2024.
“Ada 356 total laporan [terkonfirmasi] perundungan sejak Juli 2023. Dengan 211 di RSV [rumah sakit vertikal] dan 145 di luar RSV,” kata Syahril.
Besarnya angka laporan perundungan terhadap peserta PPDS disikapi sejumlah pengamat kesehatan sebagai sebuah alarm bahaya. Kasus perundungan di lingkup pendidikan dokter spesialis yang belakangan mencuat dinilai hanya merupakan fenomena gunung es.
Kasus perundungan PPDS kembali menjadi sorotan menyusul tewasnya seorang mahasiswi program dokter spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro-RSUP Dr Kariadi. Ia diduga tewas bunuh diri dengan menyuntikkan cairan obat ke lengannya sendiri.
ARL –inisial korban– ditemukan tewas di kamar indekosnya di Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, Senin (12/8/2024) malam. Belakangan, muncul ada dugaan perundungan terhadap korban sebelum mengakhiri hidupnya. Korban diketahui tengah menjadi peserta PPDS dengan program spesialis anestesi di RSUD Kardinah Kota Tegal.
Kemenkes sendiri langsung menindaklanjuti dugaan ini dengan menggelar investigasi. Polisi masih belum menemukan adanya dugaan perundungan, meski mereka tak menutup adanya kemungkinan tersebut. Adapun pihak Undip menyimpulkan bahwa ARL tewas tidak dipantik karena perundungan yang diterimanya saat menjadi PPDS.
“Mengenai pemberitaan meninggalnya almarhumah berkaitan dengan dugaan perundungan yang terjadi, dari investigasi internal kami, hal tersebut tidak benar,” ujar Manajer Layanan Terpadu dan Humas Undip, Utami Setyowati, Kamis (15/8/2024).
Kemenkes tetap meneruskan upaya investigasi terhadap dugaan perundungan meskipun Undip membantah hal tersebut. Lebih lanjut, Kemenkes juga menutup sementara program pendidikan dokter spesialis anestesi Undip.
“Saya minta [program] ditutup sementara untuk perbaikan,” ujar Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Azhar Jaya, saat dikonfirmasi Tirto.
Teranyar, kasus perundungan lingkup PPDS kembali terkuak di RS Hasan Sadikin Bandung. Kali ini, korban merupakan mahasiswa pendidikan dokter spesialis bedah saraf Universitas Padjadjaran.
Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, Yudi Mulyana Hidayat, menyatakan pihaknya sudah melakukan pemutusan studi terhadap dua pelaku perundungan kategori pelanggaran berat. Mereka para residen senior Sp1. Adapun surat peringatan dan teguran turut diberikan untuk kepala departemen dan ketua program studi Bedah Saraf.
Selain itu, Unpad juga memberikan sanksi kepada tujuh orang pelaku perundungan lainnya berkategori ringan-sedang, dengan hukuman perpanjangan studi (pengulangan).
“Satu orang dosen pelaku bullying, tengah diproses untuk proses pemberian sanksi berat," kata Yudi dikutip dari Antara, Senin (19/8/2024).
Perundungan ini terjadi antara dokter pengajar (konsulen) dan peserta didik (residen). Peserta didik diminta menyewa kamar di salah satu hotel dekat RSHS selama enam bulan.
Mereka mengeluarkan uang hingga Rp65 juta per orang selama bulan-bulan demi keperluan sewa kamar hotel dan kebutuhan hingga permintaan senior. Kebutuhan senior yang didanai di antaranya: hiburan (entertainment), makan-minum, penyewaan mobil, dan kebutuhan wingman. Terungkap juga dugaan adanya kekerasan fisik sampai pelecehan verbal dari senior kepada peserta didik.
Berdampak ke Pasien
Kasus perundungan di lingkup peserta PPDS tak hanya merugikan peserta didik, namun juga terhadap pasien sebagai pengguna jasa dan kecakapan dokter spesialis. Maka adanya pembenahan dan tindakan konkret seluruh pihak atas kasus-kasus perundungan PPDS begitu dinanti.
Associate Professor Public Health Monash University Indonesia, Grace Wangge, menilai solusi konkret dari pemerintah sebaiknya segera dilakukan untuk membenahi perundungan terhadap PPDS. Bukan tanpa alasan, kata dia, institusi kedokteran bisa terkena imbasnya atas kepercayaan publik yang bisa merosot karena adanya kasus perundungan PPDS.
Menurut dia, solusi konkret juga harus mengutamakan dampak pelayanan dan perlindungan bagi pasien. Tidak cuma membenahi dengan menghukum pelaku perundungan.
“Solusi yang ditawarkan Kemenkes saat ini kan hanya menghukum, akibatnya pasien juga terhukum karena [dokter] residen/PPDS itu salah satu kunci pelayanan,” kata Grace kepada reporter Tirto, Senin (19/8/2024).
Keberhasilan pelayanan kesehatan perlu dibangun dengan kepercayaan yang cakap antara dokter dan pasien. Jika perundungan di lingkup pendidikan dokter spesialis masih terjadi, maka kepercayaan masyarakat bisa ikut merosot.
Padahal, Kemenkes sempat mengeluarkan hasil survei kondisi kesehatan mental PPDS. Grace menilai, tidak ada tindak lanjut yang nyata terhadap hasil penapisan yang seharusnya bisa menjadi ukuran untuk mengetahui kondisi psikis peserta pendidikan dokter spesialis.
“Kemkes malah ikut memanas-manasi dengan mengangkat lagi hasil survei lalu yang tidak ada langkah tanggapnya sejak diumumkan. Tanpa sadar ini malah mengakibatkan kegiatan doxing terhadap beberapa dokter,” ujar Grace.
Grace menekankan bahwa perundungan di manapun level pendidikannya, tidak dibenarkan. Ia mendorong pemerintah dan organisasi profesi kedokteran melakukan tatap muka untuk sama-sama mencari solusi atas persoalan ini. Jangan sampai, masalah ini berlarut-larut dan merugikan instansi serta sumber daya manusia kedokteran yang memiliki integritas profesi.
“Bahkan kumpul sinergi dan kerja sama saja tidak kelihatan. Yang ada hanya jadi pembelaan diri dan pengesahan pendapat masing-masing,” ucap Grace.
April 2024, Kemenkes mengeluarkan hasil skrining atau penapisan terhadap kondisi kesehatan jiwa calon dokter spesialis atau peserta PPDS. Sekitar 22,4 persen atau 2.716 mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi. Hasil ini didapatkan dari skrining terhadap 12.121 PPDS atau calon dokter spesialis berbagai bidang studi.
Dari 2.716 peserta PPDS yang mengalami gejala depresi (skor di atas 4), ada sebanyak 1.977 (16,3 persen) peserta mengalami depresi ringan, 486 (4 persen) peserta dengan depresi sedang, 178 (1,5 persen) peserta depresi sedang-berat, dan sebanyak 75 (0,6 persen) depresi berat. Skrining ini dilakukan di 28 rumah sakit vertikal Kemenkes pada 21, 22, dan 24 Maret 2024.
Semetara itu, Founder sekaligus CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih, menegaskan bahwa kekerasan interpersonal dan kekerasan struktural di lingkup PPDS, tidak dapat ditoleransi. Kekerasan interpersonal, kata dia, meliputi perundungan terhadap peserta PPDS.
Adapun kekerasan struktural meliputi jam kerja tidak manusiawi, suplai minim, kurangnya pemantauan, menciptakan lingkungan tidak aman serta merugikan bagi semua pihak yang terlibat.
“Pihak terkait segera mengambil langkah-langkah konkret untuk menghapus kekerasan ini dari sistem pendidikan dokter spesialis, dan memastikan lingkungan kerja dan pendidikan yang sehat dan mendukung menjadi prioritas utama,” ujar Diah kepada reporter Tirto, Senin (19/8/2024).
Wakil Ketua Umum II PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Mahesa Paranadipa, menyatakan pemerintah sebetulnya sudah memiliki IMK Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 Tentang Pencegahan dan Perundungan Terhadap Peserta Didik Pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Mekanismenya sudah jelas, kata dia, jika ada praktik perundungan harus ditindak mulai dari sanksi ringan hingga berat.
Namun, kata Mahesa, mestinya pengakuan dugaan perundungan di media sosial juga perlu disikapi Kemenkes dengan laporan formal untuk ditindaklanjuti oleh tim investigasi.
“IDI sendiri sudah menerbitkan Fatwa Etik di tahun 2022 yang memberikan penegasan terkait perilaku perundungan di pendidikan kedokteran. Bahkan fatwa etik mendorong adanya pelaporan melalui jalur hukum jika perundungan masuk dalam kategori kejahatan, tidak hanya sanksi administrasi,” kata Mahesa kepada reporter Tirto.
Mahesa tak menampik kasus perundungan PPDS ujungnya dapat berimbas kepada pasien. Ia menilai, meski tidak merasakan langsung dampak perundungan, namun interaksi pasien dengan peserta PPDS korban risak bisa membuat interaksi dokter-pasien tidak baik.
“Karena mental mahasiswa akan mempengaruhi proses interaksinya dengan pasien. Jika tidak diterapi hingga mereka menjadi dokter, maka akan menyisakan dampak pada saat terjun di tengah-tengah masyarakat,” ucap Mahesa.
Menurut dia, perundungan terjadi di banyak proses pendidikan, bukan cuma di pendidikan kedokteran. Sehingga fenomena ini harus disikapi seluruh pihak terkait. Termasuk orang tua juga punya tanggung jawab mengawasi dan terus menasihati agar karakter anak jauh dari perilaku perundung.
“Terkait informasi di sosial media, masyarakat perlu tetap memfilter informasi karena banyak hoaks yang beredar yang dapat menimbulkan persepsi negatif terus menerus terhadap pendidikan kedokteran dan atau terhadap sebuah institusi,” tegas Mahesa.
Rencana Pemerintah
Kementerian Kesehatan menegaskan terus berupaya menyelesaikan laporan perundungan yang masuk. Dari 356 total laporan sejak Juli 2023, sebanyak 165 sudah diproses dari 211 kasus di rumah sakit vertikal Kemenkes.
Dari 165 kasus, sudah dikenakan sanksi terhadap 39 PPDS dan konsulen. Selain diberikan sanksi, mereka ditandai di SISDMK Kemenkes sebagai pelaku perundungan. Kemenkes turut mengklaim melibatkan Kemendikbudristek untuk membenahi perundungan PPDS.
“Kita sudah lakukan ini, kita terus berkomunikasi dengan Kemendikbud Dikti. Juga di level antara RS dan fakultas,” kata Plt Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, kepada reporter Tirto, Senin (19/8/2024).
Dikonfirmasi terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK, Warsito, menegaskan, pemerintah pusat akan melakukan rapat koordinasi terpadu untuk membahas isu perundungan PPDS. Ia berencana melibatkan Kemenkes, Kemendikbudristek, dan perguruan tinggi untuk membahas ini.
“Kalau kita bicara profesi maka tujuannya kan meningkatkan kompetensi profesi tersebut pendidikan itu. Ketika sudah di luar itu semua, kita akan coba akan koordinasikan dan kami sedang mengumpulkan data dari beberapa kementerian/lembaga untuk kita segera adakan rapat koordinasi terpadu,” kata Warsito ditemui Tirto di Kemenko PMK, Jakarta, Senin (19/8/2024).
Ia tak menepis anggapan bahwa saat ini marak terjadi kasus perundungan di lingkup PPDS. Warsito memandang, senioritas yang tak sehat akar dari permasalahan ini.
“Kita justru ingin mendengar dari para asosiasi dokter mendengar lebih terbuka, apakah yang kita dengar itu hanya begitu saja atau terjadi di tempat lain. Mari kita buat regulasi yang benar benar bisa melindungi,” tegas Warsito.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz