tirto.id - Tepuk tangan riuh diikuti sorak-sorai menyambut pidato yang dibacakan Ketua DPR RI, Puan Maharani. Puan tengah berbicara di hadapan ratusan peserta Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2024. Ketika Puan berbicara soal hak perempuan dan pembangunan inklusif, hadirin meresponsnya dengan apresiasi yang begitu besar.
Puan ikut menanggapinya dengan tepuk tangan sambil tersenyum bungah. Dalam pidatonya itu, dia menegaskan bahwa pelibatan perempuan bukanlah sikap afirmatif, melainkan bentuk kesadaran bahwa peran laki-laki dan perempuan setara dalam pembangunan bangsa dan negara.
“Banyak ditemukan cara pikir yang seperti ini 'The happiness of man is: I will. The happiness of woman is: he wills'. Sehingga, seolah-olah hanya ada 'His-story', tidak ada ‘Her-story',” kata Puan dalam pidatonya di Komplek Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (16/8/2024).
Puan menilai kesetaraan laki-laki dan perempuan bisa dibentuk dengan tetap menghormati kodrat masing-masing. Kesetaraan, kata dia, bukan mengharuskan laki-laki mengenakan pakaian perempuan atau sebaliknya.
“Ayo perempuan Indonesia! Tunjukkan bahwa kita adalah perempuan-perempuan hebat,” kata Puan disambut tepuk tangan peserta sidang.
Kendati demikian, pidato Puan yang berapi-api soal kesetaraan dan kehebatan perempuan itu nisbi masih berjarak atau malah kontras dengan realitas. Sejumlah aktivis perempuan justru menilai Puan belum pantas berbicara soal kesetaraan dan inklusivitas.
Pasalnya, DPR RI–lembaga yang dipimpin Puan–masih menggantungkan nasib Rancangan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) hingga jelang purna tugas pemerintah periode saat ini. RUU PPRT sudah hampir 20 tahun mondar-mandir di Senayan, tapi prosesnya masih saja jalan ditempat.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini, menganggap pidato Puan itu sangat kontradiktif dengan sikap DPR terhadap nasib PRT. RUU PPRT yang dibiarkan terkatung-katung merupakan sinyal bahwa Puan selaku Ketua DPR sebenarnya tidak punya komitmen padanya.
“Saat ini, RUU PPRT masih ditahan oleh Ketua DPR, sementara RUU PPRT penting untuk perlindungan pekerja rumah tangga yang mayoritasnya perempuan. Jadi, [isi pidato Puan] kontradiktif,” kata Lita kepada reporter Tirto, Jumat (16/8/2024).
Lita memandang pidato Puan tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. UU Kesehatan Ibu dan Anak yang sudah disahkan DPR pun cenderung hanya berlaku untuk pekerja formal.
“UU KIA tidak inklusif sebab tidak menyertakan PRT. Bukan saja belum dibahas, malah RUU PPRT masih ditahan atau disandera di meja Ketua DPR,” ucap Lita.
Oleh karena itu, dia menekankan agar DPR dan pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT di sisa waktu transisi pemerintahan baru ini. Kalau tidak disahkan, kata Lita, kondisi PRT di Indonesia saat ini masih terjebak situasi perbudakan modern, kekerasan, dan rawan pelecehan.
PRT Minim Perlindungan
Tindakan semena-mena dari pengguna jasa PRT, seperti melakukan pemukulan, memberi waktu kerja di luar akal sehat, hingga kekerasan seksual, masih sering terjadi. JALA PRT mencatat ada 1.635 kasus multi-kekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal sepanjang 2017-2022.
Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi. Data-data tersebut, kata Lita, masihlah hanya puncak dari gunung es. Artinya, sejatinya masih banyak kasus yang tak dilaporkan.
“Presiden seharusnya mendorong Ketua DPR untuk dibahas [RUU PPRT] bersama dan disahkan,” tutur dia.
Staff Advokasi JALA PRT, Jumisih, sudah berulang kali berusaha melobi DPR untuk menyegerakan pembahasan RUU PPRT. Namun, anggota-anggota dewan yang ditemui hanya melontarkan hal senada, bahwa draf RUU PPRT memang terhambat di meja pimpinan DPR.
Tahun ini, RUU PPRT sudah terbilang mandek selama 20 tahun. Padahal, pada Maret 2023, RUU PPRT telah ditetapkan sebagai inisiatif DPR.
“Saya pikir apa yang disampaikan Bu Puan Maharani itu jauh dari konteks fakta apa yang ada di lapangan,” kata Jumisih kepada reporter Tirto, Jumat.
Sejak Mei tahun lalu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sudah menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kemudian dikirim ke DPR RI.
Jumisih heran, mengapa harus sampai puluhan tahun dinamika pembentukan RUU PPRT di DPR dan pemerintah berlangsung. Padahal, sudah jelas-jelas RUU PPRT amat dibutuhkan untuk menekan angka kekerasan terhadap PRT, terutama pekerja perempuan.
“Kami tidak merasakan kehadiran negara. Di mana peran negara yang disebutkan Mbak Puan? Pidato itu bagus secara teks, tapi tidak bagus secara konteks,” tegas Jumisih.
Jumisih juga menyampaikan bahwa hingga saat ini PRT masih begitu rendah tingkat kesejahteraannya. Padahal, beban kerja yang berat terus mereka rasakan tanpa perlindungan atau payung hukum yang kuat.
“Kami datang bersurat [ke DPR], tapi Mbak Puan tidak ada di tempat. Kami diterima di bagian kesekretariatan untuk diminta seminggu kemudian. Ini jawaban DPR klasik dan terus berulang-ulang,” ucap Jumisih.
Sebelum Ganti Rezim
Lewat keterangan pers, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya, menekankan bahwa sebetulnya sudah tidak ada lagi alasan untuk menunda pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang. Sebab, kata dia, beleid tersebut sangat diperlukan untuk memberikan payung hukum bagi PRT maupun para pemberi kerja.
UU tersebut akan menjamin hak dan kewajiban kedua belah pihak. Willy menyebut bahwa RUU PPRT memang masih menunggu keputusan pimpinan DPR.
“Sebenarnya RUU PPRT ini sudah tinggal disahkan saja, [masih] menunggu keputusan dari Pimpinan DPR RI,” kata Willy di Parlemen, Jakarta, dikutip dari Parlemantaria Selasa (30/7/2024) lalu.
Kondisi PRT memang mendesak. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang 2019-2023, terdapat ada 25 kasus terkait PRT yang diadukan ke mereka. Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, pun menyatakan bahwa permasalahan yang dialami PRT merupakan fenomena gunung es.
Secara kuantitas, hanya sedikit kasus yang muncul di permukaan. Padahal, kasus yang tak dilaporkan dan didokumentasikan karena berbagai hambatan kemungkinan jauh lebih besar jumlahnya. Situasi ini seharusnya menjadi pertimbangan DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT.
Mengingat ketentuan dalam undang-undang pembentukan perundang-undangan, jika tidak ada satu nomor DIM yang disepakati pada sisa waktu periode legislatif, maka RUU PPRT dikategorikan sebagai RUU non-carry over. Artinya, proses RUU PPRT harus dimulai kembali dari tahap perencanaan di DPR RI periode 2024-2029.
“Tidak hanya PRT, pemberi kerja juga memerlukan payung hukum yang memberikan jaminan hubungan yang setara dan mengakomodir hak-hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga. Sehingga, pemberi kerja dan pekerja rumah tangga sama-sama terlindungi,” kata Veryanto.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menilai pidato Puan Maharani berbanding terbalik dengan perjuangan perempuan pekerja di sektor informal. Pasalnya, PRT belum diakui perannya oleh negara dengan tidak hadirnya payung hukum.
“Akibatnya banyak perempuan pekerja di sektor informal mengalami berbagai kerentanan kekerasan dan pelanggaran hak, seperti jam kerja berlebih, gaji tidak layak, eksploitasi dan tidak adanya jaminan sosial,” tutur Armayanti kepada reporter Tirto, Jumat.
Sudah hampir 20 tahun, kata dia, kelompok masyarakat sipil bersama dengan para PRT berjuang mendorong pengesahan RUU PPRT. Ironisnya, hingga saat ini ia tetap mangkrak di meja DPR.
Padahal, PRT perempuan di dalam negeri maupun yang kerja di luar negeri punya kontribusi bermakna terhadap pembangunan di Indonesia. Maka dengan tidak disahkannya RUU PPRT, negara sebenarnya telah lalai atas tanggung jawabnya terhadap rakyat, terutama perempuan.
“Lalai memastikan penghormatan, pengakuan, perlindungan serta pemenuhan hak sekitar lima juta orang PRT di Indonesia,” ungkap Armayanti.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi