Menuju konten utama

Jalan Berliku RUU PPRT yang Membuat Kemerdekaan PRT Tersandera

RUU PPRT sudah mandek selama 19 tahun. Meski telah ditetapkan sebagai inisiatif DPR, tapi masih macet di meja pimpinan DPR.

Jalan Berliku RUU PPRT yang Membuat Kemerdekaan PRT Tersandera
Aksi damai dari Aliansi Mogok Makan Untuk RUU PPRT pada Senin (21/8/2023) di depan gedung DPR RI. tirto.id/Fajar Nur

tirto.id - Suasana Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia masih begitu terasa di depan Kompleks Gedung DPR-MPR RI. Di depan gerbang masuk parlemen itu, beberapa orang tengah khidmat memperjuangkan kemerdekaan yang lain. Total sebelas perempuan berkumpul pada sore itu, Senin (21/8/2023). Terdiri dari berbagai rentang usia dan latar belakang organisasi, mereka berbekalkan atribut seperti spanduk, poster, dan payung hitam bertuliskan kata-kata seruan.

Seluruhnya tergabung dalam Aliansi Mogok Makan untuk UU PPRT. Anggotanya merupakan pekerja rumah tangga (PRT) dan beberapa organisasi masyarakat sipil yang mendesak agar negara mengakui profesi pekerja rumah tangga dengan payung hukum resmi. Pengakuan tersebut diharapkan lahir melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Sayangnya, hampir dua dekade berlalu, pengesahan RUU PPRT agar menjadi undang-undang belum juga menemui titik terang. Sore itu, adalah hari kedelapan aliansi melangsungkan aksi mogok makan di depan Kompleks Gedung DPR-MPR RI. Aksi ini dimulai sejak 14 Agustus 2023. Mereka geram karena RUU PPRT terus mandek dan belum juga dibahas oleh pemerintah dan DPR RI.

“Sudah dua tahun di mejanya pimpinan DPR, tapi belum diapa-apain lagi, padahal sidang sebelumnya sudah mendorong katanya mau disahkan,” ucap Eka Ernawati, salah satu peserta aksi dari Koalisi Perempuan Indonesia, kepada reporter Tirto di lokasi.

Dengan macetnya pengesahan RUU PPRT, tak ayal para pekerja rumah tangga rawan terkungkung perbudakan modern dan mengalami penyiksaan. Lingkup kerja yang privat membuat tindak kekerasan lebih rentan didapatkan PRT karena mudah ditutupi.

Kerentanan menjadi korban perbudakan modern dapat berupa upah dan waktu kerja yang sewenang-wenang. Kemerdekaan mereka terenggut karena tidak memiliki payung hukum yang menaungi dan melindungi profesi PRT secara komprehensif.

“Padahal kalau ada UU PPRT, kalau ada masalah pekerja (PRT) kita di luar itu, kan, bisa diadvokasi dengan bargaining yang kuat, kayak ini loh kita juga punya UU PPRT di sini. Kalau enggak ada, kan, aneh, kita jadi enggak punya daya tawar dengan negara tetangga,” terang Eka.

RUU PPRT seakan mengalami dinamika pembasahan yang tak berujung. Tahun ini, RUU PPRT sudah terbilang mandek selama 19 tahun. Padahal, pada Maret 2023, RUU PPRT telah ditetapkan sebagai inisiatif DPR.

Sejak Mei lalu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), juga telah menyelesaikan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kemudian dikirim ke DPR RI.

Namun, pekik suara para pekerja rumah tangga ini tampaknya belum juga membuat wakil rakyat di Senayan tergerak. Setidaknya sampai saat ini, belum ada rencana pembahasan lebih lanjut mengenai RUU PPRT oleh DPR.

“Sebenernya ini masalahnya sudah numpuk banget, aku juga heran (kenapa nggak disahkan),” ungkap Eka.

AKSI RUU PPRT

Aksi damai dari Aliansi Mogok Makan Untuk RUU PPRT pada Senin (21/8/2023) di depan gedung DPR RI. tirto.id/Fajar Nur

Serbet di Kepala Simbol Perjuangan

“Dibuka kaca mobilnya aja saya senang loh pak, enggak usah diajak!” teriak Tukinah pada mobil-mobil yang beranjak keluar meninggalkan kompleks parlemen, sore itu.

Tukinah bekerja sebagai seorang PRT di kawasan Jakarta Selatan. Berusia 54 tahun, wanita ini juga seorang supir pribadi. Ia mengaku, semenjak mengikuti aksi mogok makan, tak ada satu pun wakil rakyat yang turun dari mobil ataupun menghampiri mereka.

“Dia pikir mungkin kok orang-orang ini enggak capek ya tiap hari di sini? Hey, pak dewan lihat ini poster saya, hey pak saya ada di sini,” ujar Tukinah dengan suara meninggi.

Memakai kaos putih dengan seruan pengesahan RUU PPRT dan sebuah kain serbet yang diikatkan di kepala, Tukinah tampil garang dan lantang. Poster berisi seruan agar DPR dan pemerintah mengesahkan RUU PPPRT, ia acungkan tinggi-tinggi.

Tukinah tak sendiri, sepuluh perempuan lain yang ikut aksi mogok makan sore itu, kompak mengacungkan poster dan meneriakkan seruan mendesak RUU PPRT disahkan. Lagu-lagu dinyanyikan, puisi dibacakan, dan barisan dirapatkan menuntut hak serta keadilan.

Beberapa meter dari barisan perempuan-perempuan tangguh ini, tujuh personel aparat penegak hukum dari kepolisian – semuanya laki-laki – dingin mengawasi. Seperti tak ada ketakutan dari wajah Tukinah dan para peserta aksi mogok makan sore itu.

Hey itu sekalian dong di foto pak polisinya biar lucu,” sebut salah satu peserta aksi.

Tukinah mengaku, memang sore itu peserta aksi mogok makan tak sebanyak biasanya. Karena hari kerja, kebanyakan pekerja rumah tangga sulit mendapatkan izin untuk mengikuti aksi. Kendati demikian, kata Tukinah, jumlah yang sedikit ini justru mewakili suara yang besar.

“Kami, kan, mewakili teman-teman yang senasib juga ya, bagi mereka yang mungkin tidak berani bicara, takut dan tidak banyak waktu karena dibatasi majikan,” ujar Tukinah kepada reporter Tirto.

Tukinah menuturkan, ia sering mendapat pengakuan dari rekan-rekan seprofesinya yang mendapatkan perlakuan semena-mena oleh atasan. Tindak kekerasan seperti pemukulan, disiram air panas, bahkan kekerasan seksual pernah dialami rekan-rekan Tukinah.

Ia bersyukur selama bekerja tidak mengalami nasib serupa. Namun, ia merasa sedih dengan kejadian buruk yang dialami rekan sejawatnya sebagai pekerja rumah tangga. Menurut Tukinah, jika RUU PPRT disahkan, akan membuat atasan atau pengguna jasa PRT berpikir ulang jika ingin melakukan tindakan sewenang-wenang.

“Jam kerja PRT juga akan jelas, jam-nya jelas ada kontraknya, ada pelindungnya, jadi kalau kami diapa-apain ada yang bersuara, ada yang melindungi,” sambung Tukinah.

Tindakan dari pengguna jasa PRT seperti pemukulan, waktu kerja yang di luar akal sehat, hingga kekerasan seksual memang masih sering terjadi. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat 1.635 kasus multi kekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi. Data-data tersebut hanyalah sebuah fenomena puncak gunung es yang sejatinya masih banyak kasus yang tak dilaporkan.

Sore itu – entah karena lupa atau sengaja – serbet di kepala Tukinah terus terpasang, bahkan ketika ia hendak berpamitan pulang. Seakan-akan memberi penegasan bahwa perjuangan belum selesai hingga RUU PPRT disahkan.

AKSI RUU PPRT

Aksi damai dari Aliansi Mogok Makan Untuk RUU PPRT pada Senin (21/8/2023) di depan gedung DPR RI. tirto.id/Fajar Nur

Kemerdekaan yang Tersandera

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT, Lita Anggraini menyampaikan, mandeknya proses pembahasan di DPR RI selaiknya penyanderaan terhadap RUU PPRT. Aturan ini seakan dibiarkan usang dan terabaikan.

“Ketika kamu menyandera RUU PPRT sama dengan menyandera kemerdekaan PRT,” ujar Lita kepada reporter Tirto.

Jala PRT merupakan salah satu anggota Aliansi Mogok Makan Untuk UU PPRT. Menurut catatan Lita, pada 2023 ini adalah kali keempat mereka melakukan mogok makan menuntut RUU PPRT agar disahkan. Pertama di 2011, dilanjutkan aksi serupa pada 2014 dan 2015. Hingga memasuki aksi keempat tahun ini, RUU PPRT masih tak kunjung menjadi UU.

“Kami ingin menggambarkan solidaritas lapar atau puasa karena apa? Untuk menggambarkan bahwa PRT untuk berkata tidak pada jam kerja yang panjang itu tidak bisa. Mereka dilarang berkata lapar, dalam perbudakan modern bahkan tidak beri makan, juga PRT kerap diupah rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari,” terang Lita mengenai filosofi aksi mogok makan.

Tahun ini, Lita berencana akan terus melakukan aksi mogok makan di depan Kompleks Parlemen hingga RUU PPRT disahkan. Ia mengingatkan, DPR dan pemerintah jangan hanya sibuk melakukan kampanye menjelang tahun politik. Seakan-akan lupa, jasa para PRT di rumah pejabat-pejabat ini yang ikut menopang kelancaran aktivitas harian mereka.

“Pilpres ya, pemilu ya, tapi jangan lupa tugas konstituen sebelum mereka berlari pemilu. Ini kan sudah lari pemilu, tapi PRT ditinggalin. Mereka enggak akan bisa berkampanye, kalau PRT tidak ada (bekerja) di rumahnya,” tegas Lita.

Lita juga menyesalkan aksi aparat penegak hukum yang sempat melakukan tindakan represif pada dirinya dan anggota aksi. Kala itu, aksi damai mogok makan dilakukan sehari menjelang upacara peringatan kemerdekaan ke-78, Rabu (16/8/2023). Berbarengan dengan gelaran sidang tahunan DPR-MPR RI, polisi membubarkan aksi mogok makan aliansi karena dianggap mengganggu estetika.

“Padahal kami belum aksi, masih di halte enggak ngapa-ngapain, cuma pada pegang poster saja. Di situ polisi mulai represif merampas poster dan merampas atribut. Ada salah satu resersenya memukul kepala saya dan negosiatornya polwan itu mencegah kami karena dianggap mengganggu estetika dan bikin macet,” tutur Lita menceritakan kejadian tersebut.

Lita mengklaim bahwa polisi tersebut tidak mengaku ketika dituding telah memukulnya. Polisi tersebut berdalih hanya mengambil poster dan mengenai kepala Lita. Aliansi juga menolak disebut menyebabkan macet. Lita menyampaikan, justru aparat penegak hukum yang berkerumun di depan Kompleks Parlemen yang memicu kemacetan.

“Waktu itu akhirnya hanya Mbak Luluk (Luluk Nur Hamidah) keluar (menengahi),” terang Lita.

Macet Pengesahan di Meja Pimpinan

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Luluk Nur Hamidah mengungkapkan, pengesahan RUU PPRT masih macet di meja pimpinan DPR RI.

“Sampai saat ini posisi RUU PPRT itu ada di meja pimpinan DPR karena Surpres (Surat presiden) dan DIM itu sudah diserahkan ke pimpinan DPR. Namun belum diagendakan rapat Bamus (Badan Musyawarah),” ungkap Luluk ketika dihubungi reporter Tirto.

Hal ini, kata Luluk, membuat nasib RUU PPRT masih belum jelas. Ia berharap pimpinan DPR mampu mengesamping kepentingan tak segaris dan tidak sejalan dengan kepentingan rakyat kecil.

“Pimpinan DPR belum punya niat bawa RUU PPRT ke rapur (rapat paripurna), saya berharap momen kemerdekaan ini ada kesadaran lebih mendasar soal hak asasi manusia dan perlindungan warga negara,” tambah Luluk.

Luluk sendiri berharap RUU PPRT bisa rampung pada masa jabatan saat ini. Ia menyatakan, jika ada kemauan politik, bahkan aturan ini bisa rampung bulan depan. Selain itu, ia mendorong pemerintah untuk proaktif mendesak DPR segera membahas RUU PPRT.

Dikonfirmasi terpisah, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati menyatakan, pihaknya terus mendorong DPR agar segera mengesahkan RUU PPRT. Telah dirampungkannya penyampain DIM kepada DPR, kata Ratna, menjadi bukti komitmen pemerintah.

“Sekarang kita menunggu saja dari DPR. Mungkin DPR sedang melakukan penggodokan. Tapi saya yakin karena ini inisiatif mereka (DPR) pasti mereka (juga) mendorong terus,” kata Ratna kepada reporter Tirto.

Pemerintah dan DPR diharapkan tidak oper-operan bola tanggung jawab terhadap nasib pekerja rumah tangga. Pengesahan RUU PPRT menjadi UU tahun ini, bisa menjadi kado ulang tahun kemerdekaan paling manis untuk mereka. Hampir dua dekade terlantung-lantung, kemerdekaan para PRT sudah waktunya niscaya.

AKSI RUU PPRT

Aksi damai dari Aliansi Mogok Makan Untuk RUU PPRT pada Senin (21/8/2023) di depan gedung DPR RI. tirto.id/Fajar Nur

Baca juga artikel terkait RUU PPRT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz