tirto.id - Berkumpul dan silaturahmi dengan keluarga besar menjadi salah satu esensi sukacita dalam perayaan Idul Fitri.
Seiring itu, mudik ke kampung halaman menjadi perjalanan yang dinanti-nanti banyak orang, tak terkecuali para Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Pada momen itulah, keluarga-keluarga kelas menengah terutama di kawasan urban dan perkotaan, semakin menyadari dan mensyukuri pentingnya kerja-kerja domestik yang dilakukan PRT untuk membantu kelancaran urusan rumah tangga mereka.
Diana Rolina (42), ibu tiga anak, mengamininya.
Ketika PRT mudik selama libur Lebaran, Diana dan suaminya sepakat untuk menangani segala urusan rumah dan anak-anak.
"Saya tidak pakai PRT infalan, semua saya kerjakan berdua dengan suami," jelas Diana.
"Biasanya PRT saya libur seminggu—sampai 10 hari. Karena kami tidak merayakan Lebaran, kami seringnya memanfaatkan libur untuk liburan ke luar kota atau ke luar negeri. Namun tahun ini hanya liburan yang dekat saja, jadi mau tidak mau tetap harus beres-beres rumah sendiri."
Diana juga mengaku kerap dibantu oleh adik-adik sepupu suami yang belum menikah untuk mengurus anak-anak mereka.
"Beruntung kami tinggal dekat dengan keluarga besar. Jadi, saat libur, mereka datang ke rumah, membantu mengasuh anak-anak. Saya jadi ada waktu mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menjemur baju atau menyetrika.”
Diana bersyukur selama ini memiliki PRT yang setia mendampinginya menjalankan pekerjaan-pekerjaan rumah.
"PRT kami, Budhe Tika, sudah ikut saya sekitar 10 tahun. Setiap Lebaran seperti ini pasti pulang kampung. Saya merasakan ternyata berat juga setiap hari mengurus pekerjaan rumah dan anak-anak,” cerita Diana yang selama libur ini kerap memesan makanan atau makan di luar rumah.
Berbeda dengan Diana, Galuh Narindahmurti (36) memutuskan untuk menggunakan jasa PRT infalan selama libur Lebaran.
"Alasannya, karena saya tak sanggup mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Apalagi saya ada 2 anak—yang kecil masih usia 3 tahun," ungkap Galuh.
Upaya Galuh mencari PRT infalan dilakukan jauh-jauh hari sebelum libur Lebaran tiba. Galuh biasanya mencari pekerja infalan melalui yayasan penyalur PRT.
"Tidak begitu sulit mencari infalan. Karena lewat yayasan, tarifnya sekitar Rp150 ribu per hari. Hanya saja memang harus pesan sekitar 1 bulan sebelumnya. Saya memilih pekerja sesuai kriteria yang saya inginkan, dari usia sampai pengalaman kerja,” papar Galuh yang memanfaatkan jasa infalan sekitar 10 hari lamanya.
Ketika ditanya tentang tantangan bekerja dengan PRT infalan, Galuh menjelaskan pentingnya mengajari mereka terlebih dahulu tentang kebiasaan-kebiasaan di rumahnya, termasuk seperti cara menggunakan alat-alat elektronik.
Selama libur Lebaran itu pula, Galuh kerap bergantian dengan PRT infalan untuk memasak.
Sementara itu, ketika Galuh memiliki keperluan di luar rumah, ibunya diminta untuk datang membantu pengasuhan anak di rumah.
Libur Lebaran menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh Rosmiyatin (49), seorang PRT asal Karanganyar, Jawa Tengah.
"Senang sekali karena mendapat libur 9 hari—dan karena dapat THR," ujar perempuan yang sudah bekerja selama lima tahun ini sebagai PRT ini.
"Keperluan saat Lebaran banyak sekali. THR dan gaji habis untuk beli pakaian sekeluarga, belanja kue-kue dan ketupat, memberi fitrah pada cucu dan keponakan yang datang. Tapi saya senang bisa kumpul keluarga besar," jelasnya.
Rosmiyatin mengaku jarang sekali pergi liburan bersama keluarganya saat Lebaran.
"Paling sholat Ied bersama di masjid. Setelah itu makan di rumah. Hari berikutnya berkunjung ke rumah saudara dan para tetangga. Karena anak ada yang kerja di hotel, dia cuma libur 1-2 hari saja saat Lebaran. Jadi saat libur lebih banyak momong cucu," jelasnya.
"Kalau pergi ke tempat wisata, yang dekat rumah saja untuk menghemat uang," tambahnya.
Rosmiyatin bercerita, setiap bulan dirinya mendapatkan jatah libur selama 2 hari.
Menurut Komnas Perempuan tahun 2023 lalu, jumlah PRT di Indonesia diperkirakan mencapai 5 juta jiwa. Sebagian besar berjenis kelamin perempuan.
Data Sakernas BPS menunjukkan, sebesar 63,53 persen PRT di Indonesia berpendidikan di bawah SMP. Hanya 15 persen yang menempuh pendidikan SMA.
Bekerja di sektor informal dan domestik merupakan salah satu pilihan, jika bukan satu-satunya pilihan, bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses pendidikan.
Meskipun jumlah PRT tergolong tinggi—bahkan melebihi jumlah guru—PRT ternyata belum sepenuhnya diakui sebagai pekerjaan karena belum adanya regulasi kebijakan nasional terkait profesi mereka.
Demikian disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani saat dihubungi pada Kamis, 14 Maret 2025 lalu.
Hak-hak PRT yang dimaksud Tiasri mengacu pada ketenagakerjaan, yaitu “mengakui PRT menjadi salah satu pekerjaan”.
“Pengakuan terhadap mereka dan memastikan perlindungan bagi mereka,” terangnya lagi.
Tiasri menegaskan, “Relasi hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja bisa terkelola dengan baik melalui regulasi kebijakan. Memahami hak dan kewajiban masing-masing agar tidak berpotensi pelanggaran kepada keduanya."
Apa jadinya jika tidak tersedia regulasi yang jelas tentang ranah kerja PRT?
"Relasi tidak setara memunculkan upah tidak dibayar, tindak kekerasan—itu yang sering terjadi di Indonesia—karena belum ada payung hukumnya, sehingga tidak ada pengawasan dari instansi yang berwenang maupun perjanjian kerja," jelas Tiasri.
Kasus-kasus yang terjadi berupa kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi dalam situasi kerja.
Upah tidak dibayar (2-11 bulan gaji), dipecat tiba-tiba, atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja menjadi realitas yang dialami sejumlah PRT.
Temuan JALA juga mengungkapkan, ketika sakit, sejumlah PRT tidak dapat mengklaim jaminan kesehatan.
Ada pula yang tidak mendapatkan kenaikan upah meskipun telah bekerja bertahun-tahun, bahka tidak menerima pesangon ketika mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Apakah pelaku mendapatkan hukuman setimpal?
Nyatanya, upaya penegakan hukum kasus kekerasan terhadap PRT hanya berpengaruh terhadap 15 persen pelaku. Mereka mendapat hukuman sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Mayoritas pelaku lainnya mendapat hukuman ringan atau bebas.
"JALA sangat intens mengawal RUU PRT dan melakukan mendampingan kasus PRT yang mengalami kekekrasan kerja oleh majikan. Sementara Komnas Perempuan memberikan dukungan mekanisme rujukan ke lembaga layanan atau surat rekomendasi ke pihak-pihak terkait, merilis pernyataan sikap upaya penegakan hukum dan lainnya."
"Dua puluh tahun sudah cukup lama PRT digantung nasibnya. Data dan kasus sudah banyak cukup banyak. Padahal, RUU ini bertujuan memberi perlindungan hukum kedua belah pihak," pungkas Tiasri.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih