tirto.id - "Saya kira untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen juga bukan sesuatu yang sulit.”
Pernyataan tersebut diungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan para pelaku usaha bertepatan dengan masa kampanye kala itu, 6 Juni 2014. Jokowi memaparkan rencana programnya di bidang ekonomi jika ia terpilih menjadi presiden.
Dalam pidatonya itu, Jokowi juga menyinggung soal inflasi. Menurutnya, tak ada guna pertumbuhan ekonomi tinggi jika inflasi juga tinggi. Ia pun bercerita tentang bagaimana pengalamannya bisa menekan laju inflasi di Solo hingga 1,53 persen.
“Kalau pertumbuhan kita misalnya 6 persen atau 7 persen, inflasinya hanya 1,5 persen, itu baru dapat kita [katakan baik]. Kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi juga lebih tinggi ya enggak ada artinya,” ujar Jokowi saat itu.
Namun faktanya, sejak 2015 hingga periode kedua kepemimpinan Jokowi, realisasi pertumbuhan Indonesia selalu melenceng dari apa yang pernah diucapkan saat kampanye. Pertumbuhan ekonomi Indonesia rerata hanya bertengger di kisaran 5 persen saja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 berada pada level 4,88 persen, 2016 sebesar 5,03 persen, 2017 sebesar 5,07 persen, 2018 sebesar 5,17 persen, 2019 sebesar 5,02 persen, 2020 minus 2,07 persen, 2021 tumbuh 3,69 persen, dan 2022 di level 5,31 persen.
Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 merupakan angka tertinggi dalam delapan tahun terakhir atau sejak 2013 yang kala itu tercatat tumbuh sebesar 5,56 persen. Sementara hingga kuartal II-2023 ekonomi Indonesia masih betah di level 5,17 persen.
Sementara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, Jokowi hanya memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen. Target pertumbuhan ini tentunya menjadi periode terakhir Jokowi di masa pemerintahannya.
"Pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan sebesar 5,2 persen. Stabilitas ekonomi makro akan terus dijaga," kata Jokowi di dalam Sidang Tahunan di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Tumbuh Stagnan 10 Tahun Terakhir
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati menilai, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah sebesar 5,2 persen menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi dalam sepuluh tahun terakhir.
Dia menuturkan dalam sepuluh tahun terakhir, rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi yang mampu dicapai oleh pemerintah hanya mencapai 4,23 persen. Capaian ini jauh dari target yang disampaikan oleh Jokowi diawal masa kepemimpinannya sebesar 7 persen.
"Bahkan dalam RPJMN 2020-2024, target pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6,0-6,2 persen pada akhir tahun 2024,” terang Wakil Ketua BAKN DPR RI ini dalam pernyataanya.
Tentu, kata Anis, tidak bisa dipungkiri, dalam dua tahun yaitu 2020-2022, perekonomian global menghadapi krisis multi dimensi yang disebabkan oleh serangan pandemi COVID-19. Kondisi ini menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Pasca COVID-19 pemulihan ekonomi Indonesia banyak terbantu oleh tingginya harga komoditas unggulan, seperti batu bara, nikel, kelapa sawit dan komoditas lainnya. Ujian sesungguhnya akan terlihat ketika harga komoditas tersebut mulai turun pada pertengahan tahun 2023,” ungkapnya.
Proses konsolidasi fiskal dan transformasi struktural yang sudah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir, kata Anis, belum terlalu banyak mempengaruhi perekonomian nasional. Hal tersebut tercermin dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law), keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbaiki kualitas UU belum dilaksanakan sepenuhnya.
"Akibatnya hubungan industri antara pekerja dengan pengusaha bahkan dengan pemerintah sekalipun menjadi kurang harmonis, kondisi ini sangat tidak sejalan dengan semangat untuk membangun iklim investasi yang kondusif,” terangnya.
Begitu pula dengan sektor perpajakan. Menurut Anis, membaiknya penerimaan perpajakan belum sepenuhnya hasil dari implementasi kebijakan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang sudah dilaksanakan, tetapi masih sangat terbantu oleh harga komoditas.
Harapan terhadap perbaikan hubungan keuangan pusat dan daerah, juga belum mencerminkan perbaikan kualitas fiskal daerah. Pelaksanaan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) belum berjalan secara efektif dalam memperbaiki kinerja ekonomi dan keuangan daerah.
"Masih banyak persoalan yang dihadapi baik oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan hubungan pusat dan daerah,” urai Anggota DPR RI dari Dapil DKI Jakarta I ini.
Tidak Mungkin Tercapai
Direktur Center of Law and Economic Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, target pertumbuhan ekonomi 7 persen jelas tidak mungkin tercapai di akhir kepemimpinan Jokowi. Sehingga perlu dievaluasi bagaimana kebijakan ekonomi selama periode Jokowi dilakukan.
"Jokowi terlalu menitikberatkan pada sektor Sumber Daya Alam (SDA) atau komoditas olahan primer. Begitu ada tren harga komoditas rendah baik batu bara dan CPO pada rentang 2015-2020 berkorelasi dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi," kata Bhima kepada Tirto, Senin (21/8/2023).
Bhima mengatakan pemerintah hanya dua tahun menikmati pertumbuhan yang bagus pasca pandemi. Namun, lagi-lagi pertumbuhan yang baik ini ditopang oleh booming komoditas yang temporer.
"Kendala lain adalah digitalisasi yang didorong kurang inklusif dan berkelanjutan. Waktu ada booming startup para pejabat latah mendukung tanpa memikirkan konsekuensi bisnis startup masuk fase winter dan akibatkan tekanan di sektor digital," kata dia.
Di sisi lain, menurut Bhima, pemerintah juga tidak pernah serius membenahi sektor yang jadi daya ungkit ekonomi yakni tanaman pangan dan perikanan. Misalnya, alokasi subsidi pupuk yang belum optimal. Jika subsidi pupuknya benar, alih teknologi dilakukan, investasi bisa didorong masuk ke hilirisasi produk pertanian perikanan. Dengan demikian, ekspor perikanan dan pertanian bisa menjadi pendongkrak ekonomi yang tinggi.
Ada juga beberapa kebijakan yang salah dan wajib dikritik yaitu longgarnya kebijakan impor pemerintah. Misalnya di e-commerce, barang impornya besar. Kemudian proyek infrastruktur, di mana konten impor besi baja dan mesin juga tinggi.
"Jadi aneh kalau pemerintah keluarkan Rp400 triliun setahun untuk bangun sarana infrastruktur. Tapi kok sektor besi baja domestiknya kurang bergairah," jelas dia.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy mengatakan, jika melihat kembali dokumen rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) untuk periode 2014 sampai dengan 2019, maka bisa dilihat apa saja yang bisa jadikan bahan evaluasi. Utamanya terkait dengan target pertumbuhan ekonomi yang diatur oleh pemerintah.
Misalnya, strategi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendorong pertumbuhan industri manufaktur. "Kalau kita bicara pertumbuhan PDB industri pengolahan, maka kita dapatkan hampir di tiap tahun dari 2015 sampai dengan 2019 pertumbuhan industri pengolahan itu justru berada di bawah 5 persen bahkan pada tahun 2019 pertumbuhan industri pengolahan itu hanya berada dikisaran 3,8 persen," jelas dia kepada Tirto.
Penyebab Tidak Tercapai
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, tidak menampik bahwa apa yang sudah dilakukan Presiden Jokowi tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melompat ke atas 5 persen. Penyebabnya, karena masih banyak permasalahan ekonomi yang belum bisa diselesaikan.
"Yaitu permasalahan tidak efisiennya ekonomi dengan indikator angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang sangat tinggi. Inefisiensi sistem ekonomi ini antara lain disebabkan oleh masih maraknya KKN. Reformasi yang sudah lebih dari 20 tahun kita laksanakan ternyata belum mampu memberantas habis KKN," ujar Piter kepada Tirto.
Perekonomian Indonesia, lanjut Piter, juga menghadapi permasalahan suku bunga tinggi yang tidak kunjung bisa diselesaikan. Suku bunga tinggi adalah distorsi dalam perekonomian. Permasalahan ini menurutnya, sudah sering diupayakan oleh Jokowi, tetapi belum berhasil karena memang kunci solusinya bukan di pemerintah.
"Banyak permasalahan lain dalam perekonomian yang masih perlu diselesaikan agar lompatan pertumbuhan ekonomi bisa diwujudkan," katanya.
Oleh karena itu, menurut Piter pemerintahan yang baru ke depan harus bisa melanjutkan programnya presiden Jokowi sekaligus mengatasi berbagai hambatan perekonomian. Sehingga pertumbuhan ekonomi bisa dipacu diatas 5 persen.
Sementara itu, Plt Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Ferry Irawan mengatakan, perkembangan pertumbuhan ekonomi beberapa waktu ini memang terkendala adanya berbagai dinamika. Baik dari tataran global maupun domestik, seperti pandemi COVID-19 dan beberapa gejolak ekonomi global.
"Pada saat terjadi pandemi, pemerintah memberlakukan beberapa kebijakan sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil pulih dan lepas dari jurang resesi," kata Ferry saat dihubungi Tirto.
Namun, setelah pulih pasca pandemi perekonomian Indonesia, kata Ferry, masih dibayangi oleh dinamika ekonomi global yang masih rentan oleh berbagai risiko. Pertumbuhan ekonomi dunia melambat karena situasi geopolitik yang tidak menentu dan adanya gejolak pada sektor keuangan global.
Pada 2023, berdasarkan survey Bloomberg beberapa negara maju memiliki probabilitas resesi yang cukup tinggi. Sebut saja Inggris dan Amerika Serikat masing-masing memiliki potensi resesi 54,5 dan 60 persen. Sementara ekonomi Indonesia diperkirakan relatif tangguh dengan probabilitas resesi di angka 2 persen. Indonesia masih tetap resilien di tengah dinamika global.
Dia mengklaim pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh pada angka 5 persen merupakan capaian yang baik di tengah adanya berbagai gejolak. Beberapa negara peers bahkan belum banyak yang kembali pulih ke level pra-pandemi. Beberapa Negara maju juga masih rentan terjadi perlambatan dan adanya resesi.
"Akan tetapi dengan berbagai prospek yang baik dan positif dari indikator ekonomi menjadi landasan yang kuat dalam pencapaian target ekonomi," katanya.
Dia menuturkan sebelum pandemi melanda, perekonomian Indonesia berada dalam momentum akselerasi. Saat itu pemerintah memfokuskan pada percepatan pembangunan infrastruktur dan reformasi struktural di berbagai aspek.
"Pasca pandemi, tentu ekonomi indonesia harus tumbuh tinggi untuk mengembalikan pada trajectory pertumbuhan PDB," katanya.
Untuk mencapai visi Indonesia Emas, di mana Indonesia menjadi negara maju, maka diperlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-7 persen per tahun. Artinya ini lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan 5 persen yang ada saat ini.
Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, transformasi ekonomi dilakukan. Beberapa Kebijakan yang akan menjadi perhatian adalah menjaga stabilitas politik. Karena visi bangsa tidak dapat diwujudkan apabila berpecah dan berkonflik.
Selanjutnya mendukung dan mendorong upaya hilirisasi industri dalam negeri untuk memaksimalkan nilai tambah sekaligus tetap menjaga kelestarian lingkungan. Lalu mendukung penyelesaian program dan proyek-proyek strategis nasional (PSN).
Kemudian menerapkan teknologi digital di berbagai sektor baik di kota dan desa, berpartisipasi dalam upaya meningkatkan kapasitas SDM masyarakat sekitar.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang