Menuju konten utama
Kebijakan Pertambangan

Sikap Tegas Pemerintah Tetapkan Tarif Baru Ekspor Mineral Logam

Kemenkeu merilis aturan baru tarif ekspor mineral logam. Aturan ini dinilai sebagai sikap tegas pemerintah terhadap perusahaan tambang di Indonesia.

Sikap Tegas Pemerintah Tetapkan Tarif Baru Ekspor Mineral Logam
Arsip Foto Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wdy

tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis aturan baru terkait tarif bea keluar produk hasil olahan mineral logam. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Regulasi tersebut berlaku untuk semua sektor pertambangan, termasuk lima perusahaan yang baru saja mendapatkan relaksasi izin ekspor untuk mineral mentah pada Mei 2023.

Kelima perusahaan itu adalah PT Freeport Indonesia, Amman Mineral Nusa Tenggara untuk komoditas tembaga, kemudian PT Sebuku Iron Lateritic Ores untuk komoditas besi, PT Kapuas Prima Citra untuk komoditas timbal, dan PT Kobar Lamandau Mineral untuk komoditas seng.

Penetapan tarif bea keluar atas ekspor produk hasil pengolahan mineral logam sebagaimana dimaksud dalam PMK 71 Tahun 2023 didasarkan atas kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dibagi dalam 3 tahap.

Tahap I, apabila tingkat kemajuan fisik pembangunan lebih dari atau sama dengan 50 persen sampai dengan kurang dari 70 persen dari total pembangunan, maka perusahaan akan dikenakan bea keluar 10 persen pada periode 17 Juli-31 Desember 2023 dan naik menjadi 15 persen pada periode 1 Januari-31 Mei 2024.

Tahap II, jika tingkat kemajuan fisik pembangunan lebih dari atau sama dengan 70 persen sampai kurang dari 90 persen dari total pembangunan, maka akan dikenakan bea keluar 7,5 persen pada periode 17 Juli-31 Desember 2023 dan naik menjadi 10 persen pada periode 1 Januari-31 Mei 2024.

Terakhir tahap III, jika tingkat kemajuan fisik pembangunan lebih dari atau sama dengan 90 persen sampai dengan 100 persen dari total pembangunan, maka perusahaan akan dikenakan bea keluar 5 persen pada periode 17 Juli-31 Desember dan naik menjadi 7,5 persen pada periode 1 Januari-31 Mei 2024.

"Tahapan kemajuan fisik pembangunan yang tercantum dalam rekomendasi ekspor dicantumkan dalam surat persetujuan ekspor yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dan menjadi dasar dalam pengenaan tarif bea keluar," tulis Pasal 11 Ayat 7 PMK tersebut.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga mengatakan, terbitnya PMK tersebut memang menjadi bentuk ketegasan dan juga komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan hilirisasi.

Selain PMK 71 Tahun 2023, bahkan sudah terdapat sanksi denda sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 89 Tahun 2023 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif Keterlambatan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri.

"Meskipun (kelima perusahaan) mendapatkan relaksasi ekspor, tapi ini merupakan bentuk ketegasan dan juga komitmen pemerintah (bea keluar ini)," ujarnya kepada Tirto, Rabu (9/8/2023).

Tambang Freeport

Area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. Antara foto/Muhammad Adimaja

Jalan Tengah Pemerintah

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, kebijakan bea keluar mineral menjadi jalan tengah pemerintah dibandingkan pelarangan total ekspor bijih mentah. Sebab menurutnya, jika yang diambil kebijakan tarif, maka gugatan di Word Trade Organization (WTO) oleh negara tujuan ekspor masih bisa dinegosiasikan.

"Tapi kalau total export ban (larangan ekspor) akan susah dimenangkan indonesia, belajar dari kasus nikel," ujarnya kepada Tirto.

Bhima menuturkan, Freeport dan kawan-kawan sudah diberi waktu untuk menyelesaikan smelter. Mungkin karena progresnya lambat, maka pemerintah mengambil langkah dengan kebijakan bea keluar.

"Lagipula pemerintah memang sedang antisipasi penurunan harga beragam komoditas minerba tahun 2024 sehingga pendapatan pajak dan PNBP-nya dikejar," ujarnya.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan, PMK 71 Tahun 2023 sepantasnya memang berlaku untuk semua produk tambang yang keluar dari smelter atau barang setengah jadi. Apalagi selama ini relaksasi yang diberikan pemerintah kepada Freeport sudah sangat istimewa.

"Seharusnya sudah sejak tahun 2014 sudah tidak boleh diekspor dalam kondisi raw material. Seharusnya kebijakan itu tidak berubah karena ada ancaman pemegang saham PT Freeport Indonesia, yaitu Freeport Mcmoran," ujarnya kepada Tirto.

Sikap Keberatan Pengusaha dan Freeport

Dari kacamata pengusaha sektor pertambangan, PMK 71 Tahun 2023 tersebut justru dinilai akan memberatkan. Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno mengatakan, pengusaha saat ini masih dalam tahap pemulihan dari pendanaan COVID-19.

Djoko menyebut, pengusaha juga tengah menyelesaikan pembangunan smelter. Dalam hal ini dukungan pemerintah sangat diharapkan untuk pendanaan smelter sampai selesai, yaitu sekitar 3,5 miliar dolar AS. Angka ini pun kemungkinan masih bisa bertambah.

"Kalau pembebanan ke perusahaan bertambah, akan berdampak pada saham yang dimiliki pemerintah, mungkin akan mengurangi deviden ke BUMN MIND ID (saat ini menguasai 51 persen, pendanaannya masih pinjaman dan harus dibayar)," ujarnya kepada Tirto.

Djoko menilai PMK baru tersebut juga tidak sejalan dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang tertulis 2x10 tahun hingga 2041. Karena berdasarkan PMK 164 Tahun 2018, bea keluar dibebaskan selama umur IUPK.

"Pengusaha menantikan konsistensi regulasi dan kepastian dalam usaha," ujarnya.

VP Corporate Communications PT Freeport Indonesia, Katri Krisnati menjelaskan, pada akhir 2018, Pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoRan Inc, selaku pemegang saham PT Freeport Indonesia (PTFI), mencapai kesepakatan bersama yang dituangkan dalam IUPK.

Ini sebagai hasil dari perundingan panjang terkait dengan divestasi dan kebijakan-kebijakan bagi kegiatan operasi produksi PTFI guna menciptakan manfaat optimal bagi seluruh pemangku kepentingannya.

"Salah satu ketentuan yang diatur dalam IUPK tersebut adalah mengenai tarif bea keluar yang berlaku bagi PTFI selama jangka waktu IUPK," ujarnya kepada Tirto.

Katri mengatakan dalam proses penerapan bea keluar, dikenal mekanisme pengajuan keberatan dan banding terhadap penghitungan penetapan bea keluar. Ini merupakan wadah dalam rangka mewujudkan kebijakan kepabeanan yang obyektif dan akurat.

"Adalah wajar bagi setiap pelaku usaha untuk menempuh mekanisme keberatan dan banding tersebut apabila ada perbedaan pandangan antara otoritas kepabeanan dengan pelaku usaha yang bersangkutan dalam penerapan peraturan kepabeanan," jelasnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka wajar jika ada kemungkinan pengajuan keberatan dan banding. "Namun kami tetap berharap pemerintah senantiasa menerapkan ketentuan bea keluar bagi PTFI sesuai dengan IUPK yang sudah disetujui bersama," pungkas Katri.

Baca juga artikel terkait BEA EKSPOR MINERAL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang