tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sudah membuat 126 Undang-Undang (UU) selama periode 2019-2024. Ratusan aturan yang diklaim sebagai capaian itu telah rampung lewat alat kelengkapan dewan bersama pemerintah dan disahkan dari 11 komisi, Badan Legislatif (Baleg), dan Badan Anggaran (Banggar).
“Hingga saat ini, yaitu terdapat 126 Undang-Undang yang telah selesai dibahas DPR RI bersama pemerintah,” ujar Ketua DPR RI, Puan Maharani, saat menyampaikan pidato pembukaan Sidang Paripurna Masa Persidangan I DPR RI Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat (17/6/2024).
Puan menuturkan, dari 126 UU telah disahkan komisi paling produktif membuat dan mengesahkan UU adalah Komisi II, yakni dengan 80 undang-undang. Kemudian Komisi I sebanyak 8 UU, Komisi III 5 UU, Komisi VI 6 UU, Komisi X 4 UU dan Komisi XI 5 UU. Sisanya komisi IV, V, VII, VIII dan IX masing-masing 1 UU.
Sementara Baleg telah membentuk 9 UU, Banggar 1 UU, dan Pansus DPR-RI 4 UU. Pada masa persidangan ini, DPR bersama pemerintah juga akan membahas fokus pada 17 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih berada pada pembicaraan tahap I di luar dari Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2025.
"Salah satu agenda pembentukan Undang-Undang yang sangat strategis dan saat ini, sedang dalam pembicaraan tingkat I, adalah Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Periode Tahun 2025-2045,” ucap Puan.
Ke depan, Puan menuturkan, UU perlu dioptimalkan dalam memberikan arah dan prioritas pembangunan nasional secara menyeluruh, terencana dan berkelanjutan sehingga setiap Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota tidak lagi memiliki ambisi visi misi pribadi masing-masing dalam membangun Indonesia.
Pidato Puan dinilai hanya template yang selalu dibunyikan setiap tahun. Bisa dibaca juga sebagai capaian kinerja legislasi. Tapi masalahnya kinerja legislasi hanya masih dilihat dari UU yang dihasilkan yang sebenarnya juga tidak memuaskan dan kualitasnya dipertanyakan.
Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, mengatakan proses pembentukan perundang-undangan yang ada saat ini tidak sepenuhnya juga mengakomodir partisipasi dari seluruh elemen masyarakat. Artinya, masyarakat yang mungkin bisa jadi pro dan kontra terhadap satu kebijakan tertentu tidak bisa ditampung suaranya.
“Jadi agregasi kepentingan dari sekelompok masyarakat itu tidak bisa didelegasikan dan diperjuangkan hingga terbentuknya satu peraturan perundang-undangan,” kata Afrianto kepada Tirto, Jumat (16/8/2024).
Padahal partisipasi publik itu bermakna untuk mengawal proses pembentukan perundang-undangan. Tapi dalam praktiknya itu tidak dilakukan di lapangan. Walaupun ada beberapa hal dalam pembentukan UU mengundang beberapa kelompok masyarakat atau beberapa pihak.
“Tapi menjadi catatan kami dan juga beberapa kelompok masyarakat sipil adalah sebenarnya itu yang terjadi hanya sekedar formalitas belakang gitu. Partisipasi yang bermakna menjadi catatan merah gitu ya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan gitu,” kata Arfianto.
Legislasi Tak Berpihak Kepada Masyarakat
Selain masalah partisipasi publik, keberpihakan UU yang sudah ada saat ini juga tidak berpihak kepada masyarakat. Fungsi keberpihakan ini menurut Afrianto sudah hilang. Padahal seharusnya DPR dapat menjadi "rumah" bersama bagi masyarakat Indonesia yang artinya dapat memberikan pandangan atau partisipasi terkait dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri.
“Harusnya peran DPR bisa lebih baik lagi ke depannya karena proses pembentukan undang-undang itu tidak lepas dari fungsi-fungsi dari legislatif gitu ya. Dalam kenyataannya DPR tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik,” jelas Afrianto.
Jika fungsi itu hilang, maka pertanyaanya bagaimana anggota DPR bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat? Terlebih beberapa UU yang dilahirkan justru tidak memuaskan masyarakat dan dampaknya juga kecil.
Beberapa UU tersebut diantaranya seperti revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.
“Kita bisa lihatlah beberapa contoh kasus misalkan dalam proses pembentukan atau revisi undang-undang KPK, Undang-Undang Cipta Kerja, dan lain-lain yang berpolemik bahkan mendapatkan perhatian di publik secara luas. Itu suara-suara dari masyarakat itu nampaknya diabaikan,” ungkap Afrianto.
Pembentukan UU tersebut bahkan bisa dibilang hanya simbolis: ketuk palu, kemudian selesai. Pada akhirnya UU tersebut bisa jadi merugikan masyarakat itu sendiri.
“Ke depannya diharapkan anggota dewan bisa menjalankan perannya lebih baik lagi,” ungkap Afrianto.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menambahkan capaian UU yang telah diselesaikan oleh DPR hanya dinilai dari kuantitas tapi bukan kualitas. Toh kata dia, sebanyak 126 UU yang telah disahkan selama periode lima tahun kemarin juga tidak berpihak banyak kepada masyarakat.
"Produk hukum yang lahir justru produk hukum yang tidak berpihak pada masyarakat," jelas dia kepada Tirto, Jumat (16/8/2024) malam.
Menurutnya, UU yang masuk ke prolegnas dan berhasil disahkan, dari sisi substansi dipilih yang dapat mengakomodir kepentingan kelompok atau partai, yang mana DPR sebagai legislator merupakan anggota partai. Contohnya UU KPK yang justru melemahkan KPK, UU KUHP yang membatasi kebebasan berpendapat, UU ciptaker yang mengakomodir kepentingan swasta.
Sementara, produk hukum seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) misalnya untuk masuk prolegnas itu membutuhkan waktu yang lama. Pada masa pembahasan pun yang kemudian menolak UU TPKS hanya ada satu fraksi saja. Sementara fraksi lain yang mendukung UU TPKS seperti kurang serius membuat regulasi ini.
"Sehingga ini membutuhkan waktu yang lama," jelas dia.
Beda kemudian dengan omnibus law yang prosesnya cepat dan bahkan rapat hingga malam. Maka ke depannya, Annisa berharap yang perlu di lihat ke depan bukan lagi hanya dari segi kuantitas produk hukumnya, tapi dari sisi kualitas juga, apakah kemudian berpihak kepada masyarakat atau sebaliknya.
Pidato Puan Hanya Template Berulang
Di sisi lain, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai pernyataan atau pidato Puan dalam sidang tahunan sudah template dan berulang. Karena hampir setiap pidato penutupan atau pembukaan masa sidang selalu muncul peringatan dengan kalimat yang mirip-mirip.
"Kalo orang sering mendengarnya pidato di pembukaan masa sidang pasti langsung merasa bagian pernyataan soal komitmen keberpihakan pada rakyat ini selalu diulang-ulang," kata Lucius kepada Tirto, Jumat (16/8/2023) malam.
"Jadi jangan-jangan Bu Puan sendiri pun enggak sadar kalau kalimat itu sudah seperti template saking seringnya berpidato," ujar Lucius menambahkan.
Lucius mengatakan, pidato Ketua DPR di paripurna itu, bagi DPR sebagai lembaga juga tak punya makna mengikat karena rencana yang dibuat pimpinan melalui pidato di paripurna itu dalam perjalanan tak dijadikan pedoman bagi DPR dalam bekerja. Kemudian, soal komitmen keberpihakan kepada rakyat dinilai tak relevan lagi untuk diingatkan sekarang karena sudah telat. Ketua DPR, kata Lucius, mestinya mengganti template pidatonya.
"Peringatan kepada DPR itu mestinya lebih kepada bagaimana DPR mau mempersembahkan legacy kepada rakyat di penghujung periode," ujar Lucius.
Peringatan soal komitmen keberpihakan itu pun walau sering diucapkan tetapi nyaris tak berjalan. RUU yang dihasilkan DPR sekarang justru banyak yang dikritik oleh rakyat sendiri.
"Jadi mengingatkan itu seperti sedang menertawakan diri sendiri aja," Lucius.
Lucius menekankan, yang dibutuhkan publik itu bagaimana DPR bisa menyelesaikan RUU yang masuk skema perencanaan sesuai dengan kebutuhan hukum nasional (RUU Prioritas). Sementara dari sekitar 259 RUU Prolegnas 2020-2024, belum lebih dari 30 diantaranya yang disahkan DPR sejauh ini.
"Inilah sesungguhnya bukti komitmen keberpihakan DPR pada rakyat," kata Lucius.
Karena sebagian besar RUU yang disahkan DPR hingga jumlahnya fantastis itu berasal dari Daftar Kumulatif Terbuka. Walaupun dia menilai daftar kumulatif terbuka itu penting, tetapi itu tidak menjadi bagian dari skema perencanaan politik legislasi.
"Karena kumulatif itu ya khusus untuk ratifikasi perjanjian internasional, pengesahan Perppu, perintah MK, dan RUU tentang Daerah Otonomi dan APBN," kata Lucius.
Sementara APBN sendiri pasti akan jadi UU setiap tahun tanpa harus ada rencana legislasinya karena bagian dari fungsi anggaran DPR. Ratifikasi pun demikian, begitu ada perjanjian bilateral yang disepakati, maka ratifikasi harus diundangkan.
"Maka masuk akal kalau jumlahnya bejibun. Seolah-olah DPR kerja luar biasa banget. Padahal cuma nata-nata apa yang sudah ada," jelas Lucius.
"Jadi mestinya kalau menyebut produk hingga ratusan begitu, harus disertakan penjelasan soal asal usul RUU agar tidak salah mengira-mengira kalau DPR produktif ternyata nggak," tutup Lucius.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin