tirto.id - “Kemerdekaan bukan hanya sepatah kata bulan Agustus. Kita tiap kali didesak merenungkannya–meskipun kita sering tak bisa.” – Goenawan Mohamad.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini menuturkan bahwa dirinya kerap dibayang-bayangi oleh “bau kolonial” selama tinggal di Istana Kepresidenan Jakarta dan Bogor. Menurut Jokowi, istana tersebut merupakan peninggalan kolonialis Belanda dan sudah seharusnya bangsa Indonesia memiliki istana presiden bikinan sendiri yang bukan sisa-sisa penjajahan.
Jokowi memang tengah getol mendorong penyelesaian pembangunan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Di calon ibu kota baru itu, sedang dibangun Istana Negara dan Istana Garuda atau Kantor Presiden baru dengan desain ikonik berupa siluet burung garuda nan kolosal.
Curahan hati ingin punya istana buatan bangsa sendiri itu disampaikannya di hadapan para kepala daerah ketika berkunjung ke IKN yang disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (13/8/2024).
“Hanya ingin menyampaikan bahwa itu [Istana lama] sekali lagi [dibuat] Belanda. Bekas Gubernur Jenderal Belanda dan sudah kita tempati 79 tahun. Ini bau-bau kolonial selalu saya rasakan setiap hari dibayang-bayangi,” ucap Jokowi saat memberikan pengarahan.
Memang tak jelas betul apa yang dimaksud Jokowi dengan “bau-bau kolonial” di istana lama. Namun yang pasti, Jokowi memang punya ambisi untuk membangun istana presiden baru di IKN. Sebelumnya, Jokowi mengatakan tidak bisa membalas pujian dari tamu negara yang berkunjung ke Istana di Jakarta sebab bangunan tersebut merupakan peninggalan Belanda.
"Saya ndak bisa jawab apa-apa karena itu gedungnya peninggalan dari kolonial Belanda. Di Bogor juga sama, di Yogya juga sama, di Cipanas juga sama,” kata Jokowi saat groundbreaking gedung BPJS Kesehatan di Nusantara, Jumat (1/3/2024) lalu.
IKN: Wajah Baru Kolonialisme
Sejumlah pihak menilai Jokowi sudah salah kaprah memahami esensi dari kolonialisme. Ucapan Jokowi soal istana presiden buatan anak bangsa lebih terkesan sebagai upaya mengais legitimasi atas ambisinya membangun megaproyek IKN di Kalimantan Timur.
Padahal, selain bermasalah, proyek pembangunan IKN sebenarnya juga membawa semangat kolonial dalam wajah baru.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyatakan bahwa Jokowi salah dalam memahami warisan budaya kolonial yang sebatas bangunan dan perangkat fisik lainnya. Seharusnya, menurut Isnur, yang perlu dipahami soal kolonialisme adalah warisan karakter sebuah bangsa dan tindakannya terhadap rakyat.
“Jokowi dalam periodenya justru mengembalikan semangat penjajahan. Penjajahan yang dimaksud saya adalah Jokowi semakin menjauhkan Indonesia dari prinsip kemanusiaan dan keadilan,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Rabu (14/8/2024).
Isnur lantas memaparkan beberapa ciri khas kolonialisme dalam kebijakan pemerintahan Jokowi. Pertama, Jokowi memuluskan keberlanjutan kepentingan politiknya dengan membiarkan keluarganya masuk pemerintahan lewat cara-cara mengakali konstitusi.
“Ini karakter Ratu Belanda yang mengutus sesuai kehendaknya, bukan sesuai demokrasi. Jokowi justru melahirkan atau mewariskan kerusakan demokrasi yang dulu ketika kemerdekaan dicoba dihapuskan,” ucap Isnur.
Selain itu, Jokowi dinilai mengaktifkan kembali semangat kolonialisme dengan melakukan eksploitasi sebesar-besarnya terhadap sumber daya alam. Lebih parah, eksploitasi alam ini mengedepankan kepentingan investor ketimbang kesejahteraan rakyat luas.
Pembangunan proyek IKN juga tak jauh-jauh dari semangat kolonialisme. Hal itu, menurut Isnur, ditandai dengan terusirnya masyarakat adat yang berabad-abad menetap di kawasan yang kini dicakup dalam wilayah proyek IKN. Sampai saat ini saja, sengketa lahan di kawasan IKN belum sepenuhnya selesai.
“Pembangunan IKN yang mengusir penduduknya sendiri, seperti di Rempang juga. Itu jelas karakter kolonialisme,” ujar Isnur.
Sementara itu, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai Jokowi tak layak berbicara soal membangun istana buatan anak bangsa di IKN. Pasalnya, Jokowi secara serampangan memaknai kolonialisme sebatas warisan budaya kebendaan dan bangunan era penjajahan Belanda.
Bivitri menjelaskan bahwa esensi dari kolonialisme berdasarkan aspek hukum dan politik adalah bentuk penguasaan penduduk atau wilayah oleh kelompok yang berkuasa. Dia mencontohkan bagaimana dulu VOC datang ke Nusantara dan disusul Kerajaan Belanda yang melakukan klaim atas tanah dan masyarakat lokal.
“Penduduknya diklaim sebagai budak, kan begitu cerita kolonialisme di mana pun,” ucap Bivitri kepada reporter Tirto, Rabu.
Berdasar esensi tersebut, Bivitri memandang apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi atas kawasan yang kini dicakup IKN dapat disebut bentuk baru kolonialisme. Hal itu akan tampak lebih jelas bila dilihat dari perspektif masyarakat adat yang tinggal di kawasan IKN.
“Karena ada orang-orang yang datang menduduki tanah masyarakat adat yang sudah diduduki turun-temurun sangat lama dan ada effective occupation yang mereka upayakan hidup dari tanah adat itu,” kata Bivitri.
Sayangnya, dari sisi legalitas hukum negara, tanah adat yang didiami dan dikelola berabad-abad oleh masyarakat adat itu memang harus lebih dulu mendapatkan pengakuan negara. Tanpa pengakuan negara itu, posisi masyarakat adat menjadi lemah secara hukum.
Padahal, ruang hidup yang sudah ditempati selama turun-temurun itu sudah dianggap hak komunal. Alhasil, banyak masyarakat adat yang tergusur dari ruang hidup mereka sendiri karena tanah adatnya diakuisisi oleh negara dan perusahaan.
“Jadi, kalau mau diakui hukum Indonesia sekarang yang juga warisan kolonial, masyarakat adatnya harus diakui dulu. Makanya banyak sekali tanah-tanah adat di Indonesia enggak bisa diklaim oleh orang yang sudah efektif berada di situ dari beberapa generasi,” jelas Bivitri.
Oleh sebab itu, kata Bivitri, tak berlebihan jika menyebut semangat kolonialisme terjadi di IKN. Masyarakat adat terusir karena kedatangan orang-orang berkuasa yang mengklaim tanah adat mereka sebagai milik negara.
Apalagi, kata Bivitri, hal tersebut disusul dengan sederet regulasi yang sangat berpihak pada investor, yakni pemberian HGU dan HGB yang durasinya mencapai ratusan tahun. Padahal, investor merupakan pihak ketiga di IKN, tapi masyarakat adat dan lokal harus mengalah karena ada regulasi tersebut.
Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024, pemerintah mengobral hak guna usaha (HGU) di IKN yang bisa mencapai 190 tahun dalam dua siklus. Bukan cuma obral HGU hampir dua abad, beleid itu juga mengatur hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai bagi investor di IKN yang mencapai 160 tahun dalam dua kali siklus.
Nantinya, izin hak atas tanah akan diberikan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berdasarkan permohonan Otorita IKN (OIKN). Perpres Nomor 75/2024 merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Ibu Kota Negara (IKN).
“Jadi, enggak layak buat saya Jokowi berbicara seperti itu. Jadi, dilihat esensinya, bukan dilihat apakah kolonialisme itu [bangunan] peninggalan asing apa tidak,” tegas Bivitri.
Kolonialisme adalah Soal Mental
Pakar Hukum Tata Negara, Herlambang P. Wiratraman, juga menilai Jokowi sama sekali tidak memahami makna kolonialisme. Pasalnya, peninggalan kolonial itu bukan cuma bangunan atau warisan yang memiliki sejarah secara arsitektural, tapi juga soal mental menjajah.
Menurut Herlambang, anasir kolonialisme yang masih terasa hingga saat ini adalah mental menindas dan menjajah. Dia menilai mental semacam ini seharusnya tidak lagi tepat diberlakukan di Republik Indonesia.
“Jelas sekali dalam pembukaan Undang-Undang Dasar bahwa berupa [harus] melepas [mental] penjajahan itu,” kata Herlambang kepada reporter Tirto, Rabu.
Sayangnya, Herlambang menilai situasi kolonialisme justru semakin terlihat jelas saat ini dalam penguasaan tanah rakyat oleh negara yang berlipat ganda. Selain itu, semangat kolonial juga jelas terlihat dalam revisi KUHP yang sudah disahkan.
“Revisi KUHP memasukan elemen-elemen pasal yang dulu diupayakan oleh para kolonial untuk mereka yang menyerang institusi publik atau pejabat publik,” ujar Herlambang.
Pembangunan IKN pun, kata Herlambang, mencerminkan banyak persoalan yang berkaitan dengan mental kolonialisme itu, seperti sengketa lahan masyarakat adat dan pembentukan regulasi yang minim partisipasi masyarakat.
“Pernyataan itu bukan saja kontradiktif, tapi hendak mengelabui hakikat dari kolonialisme yang artinya menjajah,” ujar Herlambang.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pembangunan istana baru di IKN akan menjadi pencapaian tersendiri bahwa bangsa Indonesia mampu membangun istana sendiri. Dia mengakui pembangunan IKN memang penuh dengan lika-liku serta diprediksi membutuhkan waktu yang tak singkat hingga akhirnya jadi dan layak untuk dihuni.
“Tetapi, memang masih memerlukan waktu yang panjang. Ini dimulai baru 2021-2022, akan selesai kira-kira 10-15 tahun,” ujar Jokowi ketika mengunjungi IKN, disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (13/8/2024).
Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP), Wandy Tuturoong, enggan mengomentari kritik soal ucapan Presiden Jokowi terkait bau kolonialisme di istana negara. Dia menyarankan Tirto minta pandangan dari pihak di luar Istana saja terkait hal tersebut.
“Maaf saya enggak berani mengomentari Presiden,” kata Binyo, sapaan akrab Wandy Tuturoong, saat dihubungi reporter Tirto, Rabu.
Dihubungi terpisah, Deputi V KSP, Rumadi Ahmad, meminta agar publik tidak terlalu jauh mengomentari pernyataan Presiden Jokowi tersebut. Dia menegaskan bahwa Presiden hanya tengah bicara soal bangunan, bukan hal lain-lain.
“Kan, presiden bicara soal bangunan. Enggak usah ditarik ke mana-manalah,” ujar dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi