tirto.id - Isu perempuan disinggung dalam agenda debat calon presiden (capres) terakhir, Minggu (4/2/2024) malam. Ketiga kandidat menyoroti sudut pandang yang berbeda-beda ketika membahas persoalan yang menimpa nasib perempuan. Kendati demikian, isu perempuan disebut masih sekadar terulas di level permukaan dan sama sekali belum menyentuh akar persoalan.
Pada debat capres pamungkas, capres nomor urut 1, Anies Baswedan, sempat mengulas soal isu perempuan. Dia bertanya kepada capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, soal pandangan terhadap perlindungan perempuan dari kekerasan yang masih marak terjadi.
“Bisakah Bapak jelaskan, apa yang kurang dalam pemberdayaan dan perlindungan perempuan sekarang, dan bagaimana mengubahnya?” tanya Anies.
Prabowo menjawab bahwa perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan suatu bangsa. Dia menyampaikan akan memberikan makanan bergizi untuk ibu hamil karena angka kematian ibu di Indonesia disebut Prabowo masih tinggi.
“Dan karena itu fokus saya adalah tadi, ya membantu gizi makan untuk kaum ibu-ibu yang hamil,” jawab Prabowo.
Tidak hanya itu, Prabowo mengklaim dirinya ingin kesetaraan gender dengan mendorong pendidikan setara bagi perempuan. Diakui Prabowo, sejak saat ini, dirinya telah membangun sejumlah program di Universitas Pertahanan yang didominasi perempuan.
Dia pun berkomitmen akan membangun sekolah unggul dan terpadu di tiap kabupaten untuk mendukung kesetaraan gender.
“Upaya-upaya kesetaraan gender sangat penting dalam politik. Saya akan mendorong peranan itu di pemerintahan yang saya pimpin kalau terpilih,” tutur Prabowo.
Di sisi lain, Anies menilai Prabowo tidak menjawab pertanyaan soal pemberdayaan dan persoalan kekerasan yang menimpa perempuan. Anies menyoroti, jumlah kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi di Indonesia. Hal itu dipandangnya perlu mendapat perhatian yang serius.
“Jumlah kasus kekerasan kepada perempuan luar biasa banyak. 3,2 juta kasus selama 8 tahun, itu yang tercatat dan terlaporkan,” tanggap Anies.
Lebih lanjut Anies menyatakan, akan menindak tegas kekerasan mulai dari cat calling hingga kekerasan fisik kepada perempuan. Dia juga berkomitmen menyetarakan gaji perempuan dengan laki-laki serta mendirikan banyak daycare untuk mendukung karier perempuan.
Menanggapi respons Anies, Prabowo menilai solusi Anies kurang tegas. Dia mendorong penindakan hukum yang keras untuk melindungi perempuan dari kekerasan.
“Kalau masalah itu, kita harus tegakkan sekeras-kerasnya, kita berpikir panjang dan harus lindungi seluruh rakyat kita, apalagi kaum perempuan dari segala bentuk penindasan, kekerasan, eksploitasi, human trafficking dan sebagainya,” timpal Prabowo.
Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, menyoroti soal pentingnya intervensi penanganan stunting mulai saat perempuan sebelum melakukan pernikahan. Ganjar juga sempat menyinggung soal anemia yang sering dialami perempuan dan ibu hamil. Hal ini disampaikan Ganjar merespons pertanyaan Prabowo soal penanganan stunting.
“Kalau Bapak mau mencegah stunting, Pak, perhatikan proses menikah, Pak. Mulai dari mereka remaja, kemudian, Bapak mesti lihat, Pak. Perempuan Indonesia, remaja Indonesia itu sebagian besar anemia, Pak,” kata Ganjar kepada Prabowo.
Ganjar menilai, kesehatan remaja menjadi bagian penting untuk diperhatikan dalam mencegah anak lahir dalam kondisi stunting. Sebelumnya, Prabowo menawarkan gagasan pemberian makan bergizi untuk anak dan ibu hamil.
“Perhatikan itu dulu, kalau itu sudah dia menikah maka perhatikan usianya, menjadi ukuran mereka akan sehat secara mental dan fisik,” ucap Ganjar.
Meski dibahas kurang mendalam pada agenda debat pamungkas, isu perempuan sendiri juga sempat disinggung sekilas pada agenda debat pertama dalam cakupan umum. Kala itu, capres menyinggung pelayanan publik yang inklusif, termasuk kepada perempuan dan anak.
Sayangnya, itu pun sepintas lalu dan tidak mendalam, sebatas mengulik permukaan seperti memastikan keterlibatan kelompok perempuan dan pemerhati anak dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Hingga rangkaian agenda debat rampung, isu perempuan belum dibahas secara mendalam dan tidak menyentuh akar masalah yang dialami perempuan saat ini serta tawaran pemecahannya.
Urgensi Komitmen Politik
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, menilai waktu penyampaian gagasan dalam debat yang singkat memang memaksa capres-cawapres memilah isu-isu terpenting untuk disampaikan. Namun, dia mengapresiasi isu perempuan sempat disinggung oleh ketiga capres dalam agenda debat terakhir.
“Isu [perempuan] dianggap tidak seksi dan ditambah masyarakat kita yang patriarki, ini kan isu yang bagi pandangan publik isu kecil dan enggak sepenting isu ekonomi misalnya,” kata Hurriyah kepada reporter Tirto, Senin (5/2/2024).
Padahal, kata dia, isu perempuan sangat penting diakomodir kandidat, apalagi bicara soal perlindungan perempuan, khususnya dari kekerasan seksual. Hurriyah memandang, di dokumen visi-misi ketiga paslon memang sudah menyebut isu soal kesetaraan gender dan perempuan.
Sayangnya, dia menilai gagasan yang ditawarkan belum komprehensif. Isu perempuan sebatas disebut dan tidak ada program yang menjawab akar permasalahan yang dihadapi perempuan.
“Misal [paslon] 01, bagaimana pengentasan kemiskinan dan penciptaan kerja setara dan upah berkeadilan antara laki dan perempuan. Juga soal responsif gender misal cuti hamil dan melahirkan. Di paslon 03 juga terlihat penekanan kemajuan dan kesejahteraan perempuan, dan palson 02 juga ada [masih] umum soal kesetaraan gender dan kebijakan inklusif, belum ada detail turunannya,” jelas Hurriyah.
Hurriyah menegaskan pentingnya kemauan politik (political will) pemerintahan dan partai politik dalam mengakomodasi aspirasi dan permasalahan perempuan. Tanpa program yang jelas, dia menilai justru akan lahir kesenjangan antara tawaran agenda dan realisasi yang nanti muncul saat para capres-cawapres terpilih memerintah.
Misalnya, saat ini memang ada kemajuan peran perempuan dalam pemberdayaan dan ekonomi. Hal ini berkat adanya kebijakan arus pengutamaan gender. Sayangnya, dalam Pemilu 2024 dia menilai hal ini mengalami kemunduran karena kurangnya komitmen partai politik pengusung dalam melibatkan perempuan di gelanggang politik.
“Hanya 1 dari 18 partai yang punya komitmen menegakkan aturan kuota gender [perempuan] 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif. Ada gap antara dukungan dengan realisasi di parpol pengusung,” tutur Hurriyah.
Padahal, peran perempuan dalam pemilu sangat tinggi, baik sebagai pemilih maupun partisipasi politik. Suara perempuan sangat menentukan, pasalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat pada Pemilu 2024, dari total 204.807.222 pemilih, ada sebanyak 102.588.719 perempuan dan 102.218.503 laki-laki.
Sayangnya, aspirasi perempuan dan program yang ditawarkan paslon dirasa belum membenahi akar permasalahan. “Ketika perempuan hanya dipandang sebagai angka pemenangan suara tapi kemudian kepentingan dan isu aspirasi mereka tidak banyak diakomodir, artinya memperlihatkan mereka [paslon] tidak memandang penting perempuan atau hanya bicara unum umum saja,” ujar Hurriyah.
Sebelumnya, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa afirmasi kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mempengaruhi daya para pemimpin terpilih dalam memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Sementara tidak ada perempuan dalam lapis calon presiden dan wakil presiden, kepemimpinan perempuan dalam parlemen perlu menjadi perhatian khusus.
Tidak Menyentuh Akar
Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, memandang dalam lima kali agenda debat yang sudah dilakukan, tidak ada pembahasan substansi yang menyentuh akar persoalan dan situasi perempuan. Sehingga, kata dia, agenda politik perempuan tidak secara komprehensif dibahas sebagai agenda jangka panjang dari produk politik Pemilu 2024.
“Situasi perempuan hanya dilihat dari sudut pandang yang parsial, hal ini ditunjukkan dengan pernyataan dari masing-masing calon yang hanya melihat persoalan perempuan pada aspek ibu hamil, makanan bergizi, dan kekerasan seksual,” kata Armayanti kepada reporter Tirto, Senin (5/2/2024).
Menurut dia, persoalan perempuan juga erat kaitannya dengan relasi kuasa patriarki melalui paradigma model pembangunan yang berorientasi pada investasi serta tidak mengedepankan keadilan dan keberlanjutan. Hal tersebut menciptakan pemiskinan dan lapisan kekerasan yang sistematik bagi perempuan.
Sementara itu, refleksi Perserikatan Solidaritas Perempuan atas visi-misi ketiga paslon menilai belum mengakomodasi kepentingan persoalan perempuan secara menyeluruh. Utamanya, berkaitan dengan perempuan nelayan, perempuan petani, perempuan adat dan perempuan buruh migran yang sampai hari ini terpinggirkan dan dimiskinkan secara sistematis oleh kebijakan dan pembangunan patriarki.
Armayanti menambahkan, persoalan kejahatan terhadap perempuan tidak hanya terjadi pada ruang publik tetapi juga di ruang private (keluarga). Akar persoalan kejahatan terhadap perempuan diakibatkan oleh relasi kuasa patriarki pada sistem sosial yang berdampak pada ketimpangan gender di berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, dan politik.
Soal kematian ibu dan anak yang masih tinggi, dia menyoroti pentingnya pembenahan akar masalah, bukan hanya penanganan parsial. “Tidak dapat dilihat sebagai hal yang parsial akibat oleh kekurangan gizi misalnya, akan tetapi ketimpangan ekonomi dan minimnya akses kesehatan di pedesaan bagi perempuan,” ujar Armayanti.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menyatakan isu perempuan masih sering dilihat secara segmentasi. Artinya, pembahasan mengenai persoalan perempuan baru mengemuka jika sebuah pembahasan isu diasosiasikan sebagai isu perempuan.
“Padahal sejak awal kita bicara soal pelanggaran HAM, pertahanan, ekonomi, digitalisasi, lingkungan, perubahan iklim, krisis energi, itu juga masih dianggap bukan segmen yang berkaitan dengan isu perempuan,” kata Mike kepada reporter Tirto, Senin (5/2/2024).
Dia menilai persoalan perempuan memang sudah masuk dalam visi-misi paslon. Namun, ketiga paslon dinilai masih berfokus pada penyelesaian di hilir masalah. Belum ada tawaran program yang sifatnya intervensi akar masalah di hulu, misalnya soal pembenahan paradigma berbasis kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI).
“Misal, bicara penyelesaian kekerasan perempuan. Tapi kita masih menghadapi persoalan perspektif aparat yang masih belum clear soal kekerasan itu sendiri,” ujar Mike.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada Januari hingga November 2023 tercatat pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebanyak 1.290 kasus. Dari angka tersebut, jenis kekerasan paling banyak adalah kekerasan fisik di area domestik (kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT), kekerasan berbasis gender online, dan kekerasan seksual.
“Kita tidak menjebol akar-akar masalah itu dalam agenda, jadi maaf kata kalau agendanya ujungnya hanya persoalan programatik yang itu tidak menyelesaikan akar masalah ketimpangan gender dan sosial inklusi,” tutur Mike.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri