Menuju konten utama

Ketika Patriarki Jadi Penghambat Bisnis Perempuan Pelaku UMKM

Bagi Asri dan Aliyah, persoalan ketimpangan gender adalah masalah utama bagi para perempuan pelaku UMKM.

Ketika Patriarki Jadi Penghambat Bisnis Perempuan Pelaku UMKM
Para mentor program Women Ecosystem Catalyst tengah mendengarkan pertanyaan dari hadirin acara Kick Off & Press Conference Women Ecosystem Catalyst di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta pada Rabu (24/01/2024). FOTO/Woman Ecosystem Catalyst

tirto.id - Saat menghadiri peresmian program pelatihan Women Ecosystem Catalyst (WEC), Ali Charisma yang kala itu berada di atas panggung sebagai salah satu mentor berkelakar bahwa masalah perkembangan bisnis perempuan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang stagnan adalah laki-laki.

“Jadi kalau saya simpulkan, yang harus didatangkan nanti adalah bapak-bapaknya,” kata dia di Yogyakarta pada Rabu (24/01/2024). “Nanti bapaknya dihakimi dulu, baru ibu-ibunya di-training.”

Ali Charisma adalah salah seorang perancang busana terkemuka di Indonesia, ia didapuk WEC untuk menjadi mentor pelatihan pengembangan bisnis bagi perempuan pelaku UMKM yang rencananya akan berlangsung hingga Juni mendatang.

Kendati pernyataan yang Ali Charisma lontarkan tersebut dimaksudkan sekadar sebagai kelakar, namun apa yang disampaikannya tak sepenuhnya salah.

Keberadaan perempuan dalam bisnis UMKM di Indonesia sebenarnya menyimpan potensi yang besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menyebut bahwa 64,5 persen pelaku UMKM di Indonesia adalah perempuan.

Akan tetapi, Asisten Deputi Bidang Konsultasi Bisnis dan Pendampingan Kementerian Koperasi dan UKM, Destry Anna Sari, menyatakan mayoritas perempuan pelaku UMKM hanya memiliki usaha dalam skala mikro. Semakin tinggi skalanya, persentase keberadaan perempuan pelaku bisnis semakin menciut.

Bagi Destry jika saja perempuan pelaku usaha mikro dapat mengembangkan skala usahanya menjadi usaha kecil-menengah, maka bukan tak mungkin perempuan menjadi tumpuan penting sektor ekonomi dan pasar kerja di Indonesia.

“Kita harus menambah kemampuannya agar usahanya bertumbuh, jadi tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhannya, tapi juga menciptakan lapangan pekerjaan,” kata Destry yang juga hadir dalam acara serupa.

Sayangnya, agar apa yang dikatakan Destry bisa menjadi kenyataan, perkembangan usaha para perempuan pelaku UMKM harus melewati banyak tantangan dan banyak di antaranya justru tidak bermula dari para perempuan itu sendiri, melain orang-orang di sekitarnya.

Women Ecosystem Catalyst

Asisten Deputi Konsultasi Bisnis & Pendampingan Kementerian Koperasi & UKM Destry Anna Sari beserta Kepala Dinas Koperasi dan UKM Jawa Tengah Eddy Sulistyo Bramiyanto meresmikan program Women Ecosystem Catalyst di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta pada Rabu (24/01/2024). FOTO/Rizal Amril

Pertama-tama adalah Patriarki

Salah satu tantangan terbesar untuk mengembangkan usaha yang dimiliki para perempuan pelaku UMKM adalah peningkatan profesionalitas pengelolaan usaha. Aliyah Natasya, seorang financial planner yang juga menjadi mentor dalam program WEC, menyebutkan masih banyak perempuan pelaku UMKM yang belum bisa membuat pengelolaan finansial yang baik.

Hal tersebut, menurut Aliyah, dapat dilihat dari pemisahan rekening bisnis sebagai kantung kas usaha yang belum banyak digunakan. “Banyak pengusaha perempuan yang saya temui hanya punya satu rekening buat personal dan bisnis,” kata dia.

Padahal, pemisahan rekening menjadi salah satu pengetahuan dasar dalam pengelolaan finansial sebuah usaha sebelum menentukan hal lain seperti efisiensi dan pengembangan skala usaha.

Masalah pemahaman literasi finansial, terutama untuk bisnis, yang dikemukakan Aliyah tersebut sejalan dengan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan. Survei tersebut menunjukkan tingkat literasi finansial perempuan di Indonesia masih berada di angka 50,33 persen.

Selain literasi finansial bisnis, Astri Saraswati, pendiri perusahaan manufaktur rempah Agradaya yang juga menjadi salah satu mentor program WEC, menyatakan bahwa kurangnya pemahaman perempuan pelaku UMKM untuk membangun relasi bisnis juga menjadi tantangan yang masih banyak ia temui.

Sebagai mentor, ia sering bertemu dengan perempuan pelaku UMKM yang masih kebingungan ketika harus menjalin relasi bisnis untuk mengembangkan usahanya.

“Ini yang kurang dari perempuan-perempuan yang masuk ke ranah entrepreneur. Mungkin knowledge ini enggak sampai ke beliau-beliau. Ketika jualan naruh [produk] di stall makanan bisa, begitu scaling up masuk ke dunia yang sifatnya startup, beda lagi,” kata dia.

Rendahnya pengetahuan pengusaha perempuan tentang keterampilan berwirausaha seperti bagaimana membuat relasi bisnis sebenarnya merupakan masalah yang sudah lama ada.

Laporan Sasakawa Peace Foundation dan Dalberg Global Development Advisors tentang kondisi perempuan pelaku usaha di wilayah Asia Tenggara pada 2017, menempatkan hal tersebut sebagai salah satu kendala utama perempuan pelaku usaha untuk berkembang.

Dalam laporan tersebut, perempuan pelaku usaha di Asia Tenggara lebih sedikit memanfaatkan jejaring berorientasi bisnis ketimbang laki-laki. Margin penggunaan relasi bisnis antara pengusaha perempuan dan laki-laki dalam laporan tersebut mencapai angka 7 persen.

Kini, enam tahun pasca laporan tersebut dirilis, Asri masih melihat problem yang sama menghinggapi banyak perempuan pelaku UMKM di Indonesia.

Akan tetapi, masalah-masalah yang menghambat perempuan pelaku UMKM tersebut bisa diatasi jika terlebih dahulu melewati masalah utama yang menghinggapi mereka, yakni ketimpangan gender dalam kehidupan sehari-hari.

Women Ecosystem Catalyst

Ali Charisma (kedua dari kiri) tengah menyampaikan penjelasan dalam acara Kick Off and Press Conference Women Ecosystem Catalyst di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta pada Rabu (24/01/2024). FOTO/Women Ecosystem Catalyst

Masih dari laporan Sasakawa, keadaan sosio-kultural yang mengakar di wilayah Asia Tenggara memang cenderung mempersulit perempuan dalam membangun bisnis.

Dalam laporan yang diterbitkan pada 2017 tersebut, disebutkan bahwa situasi yang umum ditemui pada perempuan pelaku usaha di Asia Tenggara ada tiga, yakni lebih tidak dipercaya ketika mengemban tugas sebagai pemimpin bisnis dan rekan bisnis ketimbang laki-laki; mengalami beban ganda karena harus mengelola bisnis di saat pekerjaan domestik sepenuhnya dibebankan pada perempuan; dan ketidakmandirian perempuan dalam mengambil keputusan bisnis karena harus mendapat persetujuan pasangan atau keluarga mereka.

Bagi Asri dan Aliyah, persoalan ketimpangan gender tersebut sebenarnya adalah masalah utama bagi para perempuan pelaku UMKM.

“Aku setuju ketika problemnya perempuan [pelaku usaha] bukan karena manajemen dan segala macem. Karena kita hidup di konstelasi yang sangat maskulin sebagai perempuan," ujar Asri.

Sebagai perempuan yang bekerja, Asri merasa bahwa ketimpangan gender membuat perempuan sulit untuk bekerja secara optimal. Kesadaran untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan di tempat kerja dan ruang publik, kata Asri, juga baru belakangan ini meluas dan diterapkan.

Hambatan perempuan pelaku usaha akibat ketimpangan gender umumnya terjadi karena stigma bahwa perempuan memiliki tanggung jawab penuh atas pekerjaan domestik dalam keluarga.

Nisaul Aulia, founder perusahaan konsultan branding basicludo yang juga menjadi mentor WEC, bercerita bahwa mayoritas kliennya mengalami kesulitan ketika hendak mengembangkan bisnisnya karena tak direstui oleh keluarga, kendati memiliki potensi dan prospek yang baik.

“Katanya orang tua atau suaminya melarang menginvestasikan hasil profitnya,” tutur Nisaul.

Alasannya, kata Nisaul, adalah karena anggapan bahwa mengembangkan usaha para perempuan pelaku bisnis hanya akan membuat keluarga terbengkalai.

Bagi Nisaul, anggapan yang salah tentang mengembangkan bisnis bagi perempuan pelaku usaha berakar dari pola pikir patriarkis yang masih mengakar kuat.

Padahal, kata dia, ketakutan keluarga dan suami perempuan pelaku usaha tersebut bisa ditanggulangi dengan pengelolaan bisnis yang profesional. “Sehingga bisnis itu bisa, kalau kata anak sekarang, terautomasi lah ya, bisa didelegasikan,” kata dia.

Masih tingginya ketimpangan gender bagi perempuan yang bekerja di Indonesia, seperti yang disampaikan Asri dan Nisaul, memang masih jadi problem besar Indonesia.

Indeks Ketimpangan Gender Global 2023 yang dirilis oleh World Economic Forum—yang memberikan peringkat terhadap seberapa besar ketimpangan yang terjadi di sebuah negara—menempatkan Indonesia di peringkat 87 dari 146 negara terindeks.

Oleh karenanya, Asri menyatakan bahwa setiap kali ia menjadi mentor, dirinya selalu memberikan edukasi baik kepada perempuan pelaku usaha maupun laki-laki di sekelilingnya.

“Perempuan-perempuan ini [pelaku UMKM] tidak bisa tumbuh jika tidak punya pendamping atau pasangan yang tidak hanya suportif tapi juga bisa berdiri setara," ujar Asri.

Senada dengan Asri, Aliyah Natasya menuturkan bahwa problem perempuan pelaku UMKM yang perlu dipecahkan pertama-tama adalah keengganan pasangan atau keluarga mendukung keputusan para perempuan pelaku usaha.

“Ketika si istri bisa berperan besar dalam berkontribusi secara finansial, ya enggak papa, suaminya tolong support keputusannya [yang dibuat sang istri dalam hal usaha], hari-hari operasionalnya," kata dia.

Baca juga artikel terkait UMKM atau tulisan lainnya dari Rizal Amril Yahya

tirto.id - Ekonomi
Kontributor: Rizal Amril Yahya
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Abdul Aziz