tirto.id - Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan menerbitkan aturan baru tentang petunjuk pelaksanaan lelang. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 122 Tahun 2023, DJKN memperbolehkan keikutsertaan lelang oleh warga negara asing (WNA) yang diselenggarakan pemerintah.
Dalam Pasal 21 ayat 2 huruf b, WNA yang diperbolehkan mengikuti lelang diatur dengan sejumlah ketentuan. Untuk orang dan korporasi asing, harus memiliki paspor atau dokumen identitas resmi yang diterbitkan negara bersangkutan.
Menurut Direktur Lelang DJKN Kementerian Keuangan, Joko Prihanto, pertimbangan keikutsertaan WNA dalam lelang adalah untuk memperluas akses peserta lelang. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan daya laku lelang yang diselenggarakan oleh negara.
“Sebagaimana dimaklumi, pada era globalisasi, dimungkinkan transaksi jual beli yang melintasi batas negara,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (26/1/2024).
Joko menuturkan semua jenis lelang pada prinsipnya dapat diikuti oleh peserta WNA, baik lelang eksekusi, non eksekusi, maupun sukarela.
Lelang eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Beberapa contoh jenis lelang eksekusi adalah lelang eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), lelang eksekusi pengadilan, lelang eksekusi pajak, lelang eksekusi harta pailit, lelang eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), dan lain sebagainya.
Sementara lelang non eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan melalui lelang.
Beberapa contoh lelang non eksekusi adalah lelang barang milik negara/daerah, lelang barang milik badan usaha milik negara/daerah berbentuk non perseroan, lelang aset badan penyelenggara jaminan sosial, lelang barang milik negara yang berasal dari tegahan kepabeanan dan cukai, dan lain sebagainya sesuai peraturan perundang-undangan.
Sedangkan lelang sukarela adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik swasta, perorangan atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela.
Contoh lelang non eksekusi sukarela atau lebih dikenal sebagai lelang sukarela adalah lelang barang milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) berbentuk persero, lelang barang milik perorangan atau badan hukum/usaha swasta, lelang kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama, dan lelang non eksekusi sukarela lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
“Namun demikian, keikutsertaan peserta lelang WNA tetap akan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan,” ujar Joko.
Dalam kesempatan lain, Kepala Sub Direktorat Kebijakan Lelang, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Diki Zenal Abidin, menyampaikan WNA boleh mengikuti kegiatan lelang yang diselenggarakan oleh negara tanpa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Mereka cukup menggunakan dokumen identitas sesuai negara penerbit.
“Syarat lelang harus punya NPWP. Sekarang kita beri relaksasi, mereka yang nggak punya NPWP, bukan WNI, dengan identitas sesuai yang diterbitkan negaranya,” kata Diki ditemui awak media usai media briefing di Kantor Pusat DJKN, Jakarta pada Kamis (25/1/2024). https://tirto.id/gUV8
Kesempatan Memperluas
Pasar
Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menilai dari sisi kelebihan, relaksasi lelang untuk WNA membuka semakin banyak peluang untuk menjual beberapa produk pasar yang lebih luas.
Artinya produk atau barang yang dilelang ini tidak hanya mengincar pasar di dalam negeri, tetapi juga pasar atau konsumen dari luar.
Berdasarkan data DJKN, total nilai transaksi lelang telah mencapai Rp44,34 triliun pada 2023. Capaian ini tertinggi dalam sejarah penyelenggaraan lelang di Indonesia.
Sejak 2020 hingga 2023, 1.667 pelaku UMKM telah memanfaatkan lelang untuk menjual produknya. Terdapat 17.515 lot barang yang dilelang, dan yang laku sebanyak 11.198 lot barang.
Hanya saja, kata Yusuf, tantangannya adalah memastikan bahwa barang yang dilelang itu bukan barang milik negara yang sifatnya tidak boleh dimiliki oleh asing, misalnya tanah.
“Dan tentu pengawasan pihak terkait menjadi penting untuk diperhatikan di sini,” ujar Yusuf kepada Tirto, Jumat (26/1/2024).
Meski demikian, Yusuf meyakini bahwa pihak stakeholder dalam hal ini di DJKN Kemenkeu sudah punya regulasi yang mengatur terkait barang-barang yang diperbolehkan dilelang untuk WNA. Di samping juga teknis penerapan beberapa pungutan yang umumnya dikenakan untuk barang-barang lelang.
“Misalnya kalau kita bicara pungutan seperti bea lelang, ataupun misalnya apabila barang-barang tersebut merupakan barang kena pajak, maka akan ada pungutan seperti PPNBM ataupun PPN, dan tentu ini perlu diperhatikan apabila diberlakukan untuk WNA,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut dia, nilai yang bisa diterima oleh pemerintah relatif sama. Artinya pungutan-pungutan ini juga ikut dipertimbangkan dalam harga lelang yang dijual oleh pemerintah ke WNA.
“Sehingga ini tidak menghilangkan potensi penerimaan dari pungutan-pungutan tersebut. Didapatkan ketika pemerintah melakukan lelang terhadap warga atau masyarakat di Indonesia,” ucapnya.
Aset Negara Dikuasai Asing?
Di sisi lain, peluang aset negara bakal dikuasai WNA dinilai Yusuf sangat kecil. Sebab menurutnya, beberapa aset negara yang sensitif sudah dipikirkan pemerintah. Dalam hal ini, seharusnya DJKN punya daftar barang yang diperbolehkan akan dilelang untuk WNA.
"Saya kira pemerintah sudah memasukkan barang-barang yang memang dikecualikan untuk dilelang bagi WNA," ucap Yusuf.
Sementara itu, Joko Prihanto menegaskan bahwa WNA dapat menjadi peserta lelang sepanjang tidak ada larangan bagi WNA untuk memiliki barang yang di lelang. Sebagai contoh adalah larangan kepemilikan tanah hak milik oleh WNA.
Dalam konteks ini, hak atas tanah adalah suatu hak untuk menguasai tanah oleh negara yang diberikan kepada seseorang, sekelompok orang, maupun kepada badan hukum baik WNI maupun WNA.
Pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang dimilik.
Negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan/atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai UUPA).
WNA yang berkunjung dan ingin menetap di Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu WNA yang tinggal dalam jangka waktu tertentu, dan WNA yang ingin menetap di Indonesia.
Secara hukum, status kepemilikan tanah dan bangunan yang dapat diperoleh oleh WNA atau badan hukum asing di Indonesia hanya sebatas hak pakai atas tanah dengan jangka waktu tertentu, hak sewa untuk bangunan, hak milik atas satuan rumah susun, dan rumah tempat tinggal atau hunian.
Berdasarkan ketentuan di atas, WNA tidak diperbolehkan menguasai tanah dengan hak milik. Apabila WNA mendapat hak milik maka tanah tersebut dikuasai oleh negara, hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA.
"Maka apabila yang dilelang adalah tanah hak milik, dengan sendirinya peserta lelang WNA tidak diperbolehkan (termasuk aset negara)," ujarnya.
Dengan kata lain, kata Joko, kepesertaan lelang WNA tidak mutlak. Melainkan tetap dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang melarangnya.
"Dengan demikian tidak akan terjadi adanya kepemilikan aset oleh WNA yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," pungkas Joko.
Di luar lelang, kepemilikan hunian dan properti oleh WNA di Indonesia aturannya lebih fleksibel.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana, mengatakan bahwa kondisi saat ini Indonesia masih tertinggal dalam realisasi kepemilikan hunian bagi warga negara asing, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Meskipun Indonesia telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kepemilikan properti asing, penyerapannya masih rendah.
Sejauh ini hanya 36 pemilik rumah asing yang terdaftar pada tahun 2023. Orang asing biasanya membeli properti melalui calo lokal, khususnya di lokasi wisata terkenal seperti Bali. Hal ini mempersulit penelusuran kepemilikan properti asing.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi