Menuju konten utama

Warga Tak akan Gadai Sertifikat bila Tidak Kepepet, Pak Jokowi

Bhima sebut sebagian warga gadai sertifikat tanah untuk pemenuhan kebutuhan harian atau menutup utang jatuh tempo.

Warga Tak akan Gadai Sertifikat bila Tidak Kepepet, Pak Jokowi
Presiden Joko Widodo meninjau petani yang sedang melakukan tanam padi saat kunjungan kerja di area persawahan Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (13/12/2023). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/foc.

tirto.id - Presiden Joko Widodo kembali menyerahkan ribuan sertifikat tanah kepada masyarakat dalam dua hari kunjungan kerja ke Jawa Tengah. Jokowi juga mewanti-wanti agar warga yang dapat sertifikat tidak mudah menggadainya.

Dalam kunjungan ke Wonosobo, Senin (22/1/2024) misalnya, Jokowi menceritakan bagaimana proses pencetakan sertifikat tanah dari 500 ribu menjadi jutaan demi memenuhi target 126 juta sertifikat bidang tanah dari angka 46 juta.

Jokowi lantas meminta warga untuk berhati-hati setelah memegang sertifikat. Sebab, kata Jokowi, masyarakat bisa saja menyekolahkan sertifikat yang ia dapatkan demi mendapat uang.

“Biasanya kalau sudah pegang sertifikat, biasanya ingin disekolahkan. Hati-hati kalau mau pinjam uang dengan agunan sertifikat, tolong dikalkulasi, dihitung yang teliti. Jangan mikir pas dapatnya, tapi berpikir saat nyicilnya setiap bulan,” kata Jokowi di Wonosobo.

Jokowi mengatakan, tanah pertanian luas bisa dapat uang hingga Rp500 juta. Akan tetapi, tanpa perencanaan matang untuk modal usaha bisa tidak menghasilkan apa-apa. Ia mencontohkan agar warga jangan membeli mobil saat berkunjung ke mal setelah dapat duit. Dalam acara pembagian 5000 sertifikat itu, kata dia, aset bisa saja diambil ketika tidak bisa mengangsur.

Jokowi kembali mengatakan hal serupa saat membagikan 3.000 sertifikat kepada warga di Grobogan, Jawa Tengah, Selasa (23/1/2024). Jokowi juga menyinggung soal sengketa lahan dan konflik lahan. Ia lagi-lagi mengingatkan masyarakat untuk tidak menggadaikan tanah demi kepentingan pribadi.

“Ini yang perlu saya ingatkan jangan sampai tanahnya gede pinjam bank dapat Rp100 juta, yang Rp20 juta untuk beli sepeda motor atau yang Rp50 juta untuk beli mobil seken. Nah, itu mulai masalah nanti. Masalahnya nanti setelah 6 bulan setelah pinjam,” kata Jokowi.

“Jadi kalau pinjam, saya titip dipakai semua untuk modal kerja, dipakai modal usaha, jangan dipakai untuk barang konsumsi. Kalau dapat untung Rp5 juta untung, Rp4 juta untung, untung-untung mau beli mobil silakan, dari keuntungan, bukan dari pokok pinjaman,” kata Jokowi menambahkan.

Pernyataan Jokowi lantas direspons ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira. Ia mengakui bahwa penggadaian sertifikat memang tidak lepas untuk kepentingan pinjaman.

Menurut Bhima, setidaknya ada beberapa faktor dasar. Pertama, tanah dan bangunan mudah untuk mendapat akses pinajamn. Kedua, pinjaman dengan skema gadai lebih familiar, terutama para baby boomers yang dominan memiliki tanah.

“Jadi begitu dikasih sertifikat resmi langsung terpikir untuk gadai agar mendapat uang tunai secara cepat,” kata Bhima kepada reporter Tirto, Rabu (24/1/2024).

Ketiga, kata Bhima, pemasaran gadai cukup agresif di pedesaan dan ini juga faktor yang buat banyak masyarakat gampang menggadaikan aset tanahnya.

Bhima menilai, maraknya aksi gadai sertifikat yang disampaikan Jokowi adalah bukti negara gagal dalam menjaga kesejahteraan publik. Sebab, kata dia, tidak sedikit masyarakat menggadaikan sertifikat mereka demi kebutuhan hidup di luar soal pembelian barang mewah seperti yang disampaikan Jokowi.

“Fenomena gadai sertifikat jadi indikasi kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar gadai sertifikat tanah untuk pemenuhan kebutuhan harian atau menutup utang jatuh tempo yang sifatnya konsumtif," kata Bhima.

Saat ditanya soal lahan pertanian, Bhima mengakui bahwa gadai sertifikat juga dilakukan para petani. Bhima mengatakan, mayoritas petani Indonesia itu kerap menjadi korban rayuan rentenir demi mendapatkan dana dengan cara menggadaikan sertifikat mereka. Hal ini tidak lepas dari posisi petani yang mayoritas bertanam untuk kebutuhan sendiri.

“Jadi kalaupun menjual [hasil pertanian] sebenarnya harga jualnya juga sebagian belum bisa menutup biaya produksi seperti pupuk, pestisida, biaya angkutan misalnya. Itu menjadi tantangan petani. Makanya kalau paling gampang melihat tantangan petani itu dilihat dari seberapa banyak rumah tangga miskin yang ada di sektor pertanian,” kata Bhima.

Bhima mengutip data Badan Pusat Statistk (BPS) yang menunjukkan 51,3 persen rumah tangga miskin itu memiliki sumber penghasilan utama dari sektor pertanian. “Jadi ada korelasi antara kemiskinan dengan pertanian,” kata Bhima.

Bhima juga mengatakan ptofesi petani mulai ditinggalkan anak muda. Data BPS menunjukkan dari 40,6 juta petani, itu sebagian berusia 45-64 tahun. Kemudian yang petani usia muda itu hanya 21,9 persen dari 40,6 juta petani.

“Jadi ini juga menunjukkan kalau pertanian menarik, pastinya banyak anak muda bekerja di pertanian, tapi yang terjadi ya banyak petani-petani yang akhirnya menggadaikan sertifikat tanah agar anaknya misalkan bisa mendapat pekerjaan yang lebih bagus di perkotaan. Ada yang menggadaikan sertifikat tanah agar anaknya bisa masuk kuliah di perguruan tinggi,” kata Bhima.

Berkaca dari kasus pertanian, Bhima mendorong agar permasalahan pertanahan ikut menyelesaikan reforma agraria. Kemudian, hasil pertanian dibeli oleh BUMN dan dibantu peningkatan produktivitas lahan mereka.

Sementara itu, pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai upaya gadai sertifikat memang kerap terjadi.

Khudori menyinggung, pemerintah memang harus membagikan sertifikat sebagai bukti kepemilikan lahan bagi publik, terutama petani. Akan tetapi, Khudori menilai, pemerintah seharusnya tidak hanya membagikan sertifikat lahan untuk para petani, tetapi juga upaya redistribusi lahan.

“Idealnya selain memberikan legalisasi dalam bentuk sertifikat itu, pemerintah juga melakukan proses di hulu yang meredistribusi lahan itu supaya kalau perluasan lahan memadai, luasan lahan itu cukup, itu petani-petani yang menerima redistribusi lahan akan menggantungkan pendapatan, akan menggantungkan kehidupannya dari bertani," kata Khudori, Selasa (23/1/2024).

Khudori mengatakan, sebuah keluarga 4 hingga 5 anggota bisa hidup dengan bertani apabila memiliki lahan sekitar 2 hektar. Ketika lahan hanya setengah hektar (atau mungkin lebih rendah), maka petani dipastikan memiliki penghasilan kecil. Para petani akhirnya mencari pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

“Kalau pendapatan kecil, artinya pendapatan dari non-usaha tani itu jauh lebih penting, jauh lebih menentukan keberlanjutan hidup mereka. Jadi akhirnya apa? Usaha tani hanya sambilan. Kalau usaha sambilan, terus ketika mereka terdesak oleh kebutuhan, ya salah satunya sangat mungkin [dilakukan] sertifikat digadaikan. Jadi sepanjang usaha tani belum menjadi penopang utama penghasilan keluarga, sangat sulit untuk menghidari itu,” kata Khudori.

Khudori menekankan, pemerintah harus melakukan reforma agrarian, khususnya terkait redistribusi lahan. Hal itu akan membuat masyarakat, terutama bagi petani bisa hidup dengan mendapatkan bantuan pemerintah seperti lewat kredit usaha untuk mengembangkan usahanya, tapi pemerintah harus tetap mengedepankan reforma agraria.

“Legalisasi penting juga, tapi jangan hanya ini yang didorong, sementara reforma agrarianya enggak jalan,"kata Khudori.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKAT TANAH atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz