tirto.id - Surabaya dikenal sebagai kota metropolitan terbesar setelah Jakarta. Anggapan ini tak mengejutkan mengingat Surabaya adalah kota yang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan infrastruktur di Jawa Timur. Bahkan pertumbuhan ekonomi di Surabaya bisa dikatakan cukup tinggi yakni, sebesar 5,76 persen pada tahun 2024.
Menurut Badan Pusat Statistik Surabaya, angka ini melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur dengan persentase 4,93 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,03 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang demikian tinggi ini diiringi dengan Upah Minum Regional (UMR) yang cukup besar yakni, Rp 4.961.753. Ini menjadikan Surabaya masuk dalam daftar 10 besar kota dengan UMR tinggi di Indonesia dan wilayah dengan UMR tertinggi di Jawa Timur.
Besaran UMR tersebut menjadi daya tarik bagi banyak orang dari kota-kota lain yang, banyak berkata, ingin mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik dengan pergi merantau ke Surabaya. Tak heran bila Surabaya menjadi tempat berlabuh sekaligus tumpuan harapan bagi mereka yang ingin memiliki akses dan fasilitas ekonomi yang lebih mapan.
Akan tetapi, hal tersebut bukanlah tanpa masalah. Banyaknya orang dari kota lain untuk menjemput segepok rupiah di Surabaya dengan jumlah yang massif menyebabkan kota yang memperoleh julukan Kota Pahlawan ini mengalami masalah kepadatan penduduk.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Surabaya mengakui masalah ini dalam laporannya yang berjudul Profil Perkembangan Administrasi Kependudukan Kota Surabaya 2023 yang diterbitkan pada 2024.
Laporan itu merinci peningkatan jumlah penduduk di Surabaya berdasarkan ukuran satu kilometer persegi yakni, 8.781 jiwa/Km2 pada tahun 2020, menjadi 8.782 jiwa/Km2 pada tahun 2021, kemudian 8.832 jiwa/Km2 pada tahun 2022, hingga 8.895 jiwa/Km2 pada 2023.
Laporan itu juga menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat mengakibatkan hambatan bagi pembangunan suatu kota. Sehingga antisipasi dini terhadap jumlah penduduk yang meningkat secara signifikan dalam suatu kota menjadi penting untuk dilakukan.
Menjadi masuk akal akhirnya bila Pemkot Surabaya berusaha untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk sejak 2024. Dalam hal ini, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Kadisdukcapil) Eddy Cristijanto, mengatakan akan mengetatkan kedatangan penduduk dari luar kota Surabaya yang ingin mencari penghidupan di kota Surabaya, terutama pasca-lebaran tahun 2024.
Pengetatan pencatatan bagi pendatang ini kembali dilakukan setahun kemudian dengan cara yang lebih terkoodinir, di mana RT/RW wajib melaporkan kedatangan penduduk non-permanen Surabaya kepada lurah setempat untuk kemudian disampaikan pada Disdukcapil.
“Kami sudah buat surat ke lurah se-Surabaya untuk koordinasi dengan Ketua RT dan RW dalam rangka pendataaan penduduk non-permanen yang datang ke Surabaya,” ungkap Eddy ketika dihubungi oleh Kontributor Tirto.id pada Minggu (6/4/2025).
Tanpa tedeng aling-aling, Eddy menegaskan bahwa Pemkot Surabaya ingin memastikan orang yang bermigrasi ke Surabaya memiliki pekerjaan yang jelas, sehingga nantinya tidak menjadi beban sosial bagi Surabaya. Eddy tak mau bila orang yang bermigrasi ke Surabaya hanya bekerja serabutan atau bahkan tidak memiliki pekerjaan sama sekali.
Menurutnya, orang macam demikian dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. “Kami ingin memberikan pelajaran kepada warga pendatang bahwa untuk hidup di Surabaya bukan hanya bermodal tekad saja, tapi juga harus mempunyai pendidikan dan skill yang memadai,” imbuhnya.
Melalui kebijakan ini, menurut Eddy, Pemkot Surabaya dapat lebih fokus dan tepat sasaran dalam menjamin kesejahteraan penduduk permanen Surabaya, baik itu dalam aspek pendidikan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Tak hanya pengetatan pencatatan pendatang baru, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi berencana memulangkan penduduk non-permanen yang tidak memiliki tujuan yang jelas setelah berkoordinasi dengan pemda asal penduduk tersebut.
“Saya pulangkan kalau tidak ada kejelasan, tidak bekerja. Saya koordinasikan dengan pemda asal,” tegas Eri, sebagaimana dikutip dari Antara, Rabu (2/4/2025).
Tidak Mau Seperti Jakarta
Muhtar Habibi, Dosen Kebijakan Publik di Universitas Gajah Mada, menyebut bahwa kebijakan yang diimplentasikan oleh Pemkot Surabaya tersebut bisa dibilang reaktif. Menurutnya, hal yang lumrah bila orang bermigrasi ke Surabaya untuk mencari penghidupan yang lebih baik, meskipun belum memiliki pekerjaan yang jelas atau skill yang tidak memadai.
“Justru keliru bila Pemkot Surabaya membatasi orang-orang yang masih dalam cakupan satu negara untuk melakukan mobilitas internal guna memperoleh pekerjaan. Kecuali bila Surabaya menjadi negara sendiri yang kemudian orang membutuhkan paspor untuk ke Surabaya. Jadi ini kebijakan yang sangat bertentangan dengan semangat untuk tanggung jawab negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya.,” kata Habibi ketika dihubungi oleh Kontributor Tirto.id pada Kamis (10/4/2025).
Habibi menambahkan bahwa kebijakan ini juga mengabaikan problem historis kebijakan pembangunan di Indonesia. Masifnya orang yang berbondong-bondong dari desa ke kota atau yang akrab disebut urbanisasi, kata Habibi, disebabkan karena kurangnya pekerjaan yang layak dan memadai di pedesaan.
Masalah tersebut bermula pada masa Pemerintahan Orde Baru, ketika Soeharto tidak mau melanjutkan kebijakan reforma agraria dengan meredistribusikan lahan pertanian secara lebih adil dan merata pada penduduk pedesaan dan memilih untuk mengimplementasikan kebijakan Revolusi Hijau.
Memang, di satu sisi, hasil panen dari petani meningkat secara signifikan. Namun, di sisi lain, hanya petani pemilik lahan luas yang dapat memetik buah dari kebijakan tersebut.
"Jadi ini ketimpangan kepemilikan tanah di pedesaan yang sudah sejak tahun '60-an berusaha dipecahkan dengan program land reform (reforma agraria) tapi kemudian gagal di tahun '65. Akibatnya, banyak orang terpaksa meninggalkan desa karena memang akses terhadap tanah yang merupakan sumber utama di pedesaan itu hanya dikuasai oleh segelintir orang. Biasanya mereka adalah pejabat-pejabat desa dan juga elit-elit desa sejak zaman kolonial yang berusaha mempertahankan penguasaan tanah itu,” kata Habibi, yang juga penulis buku Capitalism and Agrarian Change: Class, Production, and Reproduction in Indonesia itu.
Khalid Syaifullah, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Surabaya, mengamini pernyataan Habibi tersebut. Ia menambahkan bahwa kebijakan Pemkot Surabaya tersebut mengulang pola umum dari kota-kota metropolitan ketika menghadapi masalah kepadatan penduduk.
Inisiatif tersebut, kata Khalid, dapat kita lihat pada kasus Kota Jakarta. Menurut Khalid, dengan mengutip Abidin Kusno dalam risetnya yang berjudul After the New Order: Space, Politics, and Jakarta, Jakarta mengalami overpopulation pada tahun '70-an, tepatnya pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Ali Sadikin kemudian menyingkirkan penduduk kelas bawah yang tidak memiliki pekerjaan yang jelas atau bekerja serabutan dan kelas menengah yang baru muncul tapi kesulitan mengakses harga rumah, ke wilayah Kota Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi. Kebijakan ini bisa dibilang sebagai wujud aglomerasi, di mana aktivitas ekonomi dipusatkan dalam suatu kawasan yang kemudian dikenal dengan nama Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi).
Oleh karenanya, Khalid pun menganggap bahwa Pemkot Surabaya tidak mau Surabaya menjadi seperti Jakarta. Apalagi, dalam segi geografis maupun ekonomi, Surabaya mirip dengan Jakarta.
"Ya, saya pikir Surabaya itu populasinya kan tidak sampai 4 juta, ya, sebetulnya ya dengan luas lahan sekitar 300 kilometer persegi kalau enggak salah, saya menyadari kalau Surabaya ketambahan populasi memang sangat bisa terjadi overpopulasi seperti Jakarta," ucap Khalid.
Ia membandingkan kondisi tersebut dengan Jakarta yang luasnya sekitar 600 kilometer persegi tapi penduduk aktual bisa mencapai 20 juta jiwa dalam sehari. "Nah saya pikir, Pemkot Surabaya itu mungkin memiliki kekhawatiran seperti itu, ya. Karena saya secara personal lama tinggal di Jakarta dan sekarang di Surabaya, jadi saya melihat tata kelolanya sebetulnya sama saja walau tidak separah Jakarta,” ujarnya menambahkan.
- Muhtar Habibi
Mereka yang Pindah ke Surabaya
Selama ini, Dasdukcapil Surabaya tak pernah merinci secara spesifik penduduk dari kota mana yang biasanya bermigrasi ke Surabaya. Namun, bila menengok data hasil Sensus Penduduk pada tahun 2020, ada 5 kota yang penduduknya biasanya bermigrasi ke Surabaya yakni, Kabupaten Sampang dengan jumlah 74.623 jiwa, Kabupaten Bangkalan dengan jumlah 71.401 jiwa, Kabupaten Lamongan dengan jumlah 56.333 jiwa, lalu Kabupaten Jombang sebanyak 43.465, dan Kabupaten Nganjuk sejumlah 35.671 jiwa.
Kelima kota yang paling banyak menyumbang jumlah pendatang ke Kota Surabaya itu, menurut data BPS Jawa Timur merupakan wilayah yang banyak memiliki penduduk miskin. Pada tahun 2021, misalnya, Sampang menempati posisi ketiga dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 237,23 ribu jiwa. Sementara Bangkalan berada di posisi kelima dengan penduduk miskin sebanyak 215,97 ribu jiwa. Lamongan pada posisi kedelapan memiliki penduduk miskin sebanyak 166,82 ribu jiwa, dan Jombang pada posisi ke-15 memiliki penduduk miskin sebanyak 127,30 ribu jiwa, dan Nganjuk di posisi ke-16 memiliki jumlah penduduk miskin sebanyak 125,53 ribu jiwa.
Data terakhir BPS pada tahun 2024 menunjukkan bahwa posisi kota-kota tersebut tak banyak berubah walau ada penurunan terhadap angka kemiskinan. Masih di posisi ketiga, Sampang memiliki penduduk miskin sebanyak 214,32 ribu jiwa, Bangkalan di posisi kelima memiliki jumlah penduduk miskin sebanyak 190,94 ribu jiwa.
Sementara Lamongan turun ke posisi kesembilan memiliki penduduk miskin sebanyak 146,98 ribu jiwa. Jombang pada posisi ke-14 dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 110,57 jiwa, dan Nganjuk pada posisi ke-17 dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 108, 37 jiwa.
Menanggapi data tersebut, Habibi mengeklaim bahwa menjadi masuk akal bila penduduk dari lima wilayah tersebut pergi ke Surabaya. Pasalnya, kelima wilayah tersebut kurang atau bahkan tidak menyediakan fasilitas ekonomi yang memadai.
Habibi menegaskan bahwa masalah ini menjadi tanggung jawab Pemprov Jawa Timur. Sebab, tak mungkin penduduknya berjuang mencari kehidupan yang lebih layak tanpa adanya bantuan dari Pemprov Jawa Timur.
“Ketika daerah itu enggak dibangun dan tidak mendapat perhatian yang memadai ya orang akan pindah ke tempat yang lebih baik. Dan itu harusnya jadi tugas pemerintah, minimal Pemprov Jatim meredistribusikan atau menambah bantuan ke kawasan-kawasan tertinggal. Karena enggak mungkin mengharapkan warga sendiri untuk bisa bangkit tanpa ada bantuan negara. Kalau seperti itu ya apa gunanya negara bila lepas tangan dan mengharapkan warganya untuk bangun sendiri,” terang Habibi.
Hal senada juga disampaikan oleh Khalid dalam menanggapi data tersebut. Menurutnya, urbanisasi yang masif ke Surabaya yang dilakukan oleh penduduk dari lima wilayah tersebut menjadi salah satu contoh wujud kegagalan pembangunan di Indonesia. Dalam hal ini, pembangunan di Indonesia hanya menyasar kota-kota besar saja sembari mengabaikan kota-kota pinggiran.
“Jadi saya kira fenomena urbanisasi ini menunjukkan bahwa pembangunan kita sejak era kemerdekaan sampai sekarang ini pembangunan yang masih jauh dari kata adil dan merata, di mana pembangunan hanya difokuskan atau diutamakan bagi wilayah-wilayah perkotaan besar saja,” jelas Khalid.
Berdasarkan data BPS Jawa Timur, angka kemiskinan di Jawa Timur secara keseluruhan mengalami penurunan dari 11,40 persen pada Maret tahun 2021 menjadi 9,56 persen pada September 2024. Itu artinya, dari total jumlah penduduk di Jawa Timur pada tahun 2024 sebesar 41,91 juta jiwa, ada sekitar 3,898 juta jiwa penduduk miskin. Sebagian besar penduduk miskin ini berasal dari wilayah pedesaan dengan total mencapai 2,305 juta jiwa.
- Khalid Syaifullah
Perlunya Menghidupkan Reforma Agraria
Selama memimpin Jawa Timur sejak tahun 2019, Khofifah Indar Parawansa mencetuskan berbagai program untuk mengentaskan kemiskinan. Program itu ialah pemberian bantuan PHK Plus sebanyak 50 ribu kartu keluarga per tahun. Dalam program ini setiap penerima program memperoleh uang sebesar Rp2 juta per tahun.
Kemudian ada program renovasi Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) yang telah merenovasi 33.745 unit rumah sejak 2019 hingga 2023 dengan total anggaran yang dihabiskan sebesar Rp402 milliar. Selain itu juga ada program Elektrifikasi atau penyambungan listrik bagi 16.780 rumah tangga miskin dalam kurun waktu yang sama.
“Kami juga aktif memberikan bantuan program Jatim Puspa untuk mendorong pelaku usaha yang digawangi ibu-ibu kepala rumah tangga agar bisa mengungkit ekonomi keluarga dan kesejahteran masyarakat,” ujar Khofiah, dikutip dari Antara, pada Senin (8/7/2024).
Namun, bagi Khalid, hal tersebut sama sekali tidak cukup. Bila Khofifah ingin serius mengentaskan kemiskinan di Jawa Timur yang menjadi biang kerok masalah urbanisasi yang laju, kata Khalid, harus berani menjalankan pembangunan yang tak hanya menyasar kota-kota metropolitan, melainkan juga kota-kota pinggiran yang notabene masih banyak memiliki lahan pertanian.
“Wilayah pedesaan seharusnya juga dibangun dengan akses terhadap pekerjaan, dengan akses terhadap sarana produksi, lahan, input produksi sampai pemasaran, dan lain sebagainya. Jangan hanya terus memaksa desa untuk menjadi frontier kota, sementara dalam waktu bersamaan menutup mata akan ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi yang menjadi pendorong urbanisasi,” tutur Khalid.
Solusi yang sama juga dikatakan oleh Habibi. Menurutnya, upaya utama yang semestinya dilakukan oleh Pemprov Jatim untuk mengatasi masalah urbanisasi ialah membangun sektor pertanian dengan meredistribusi lahan pertanian secara lebih adil dan merata. Dengan ini, perlu untuk untuk kembali menghidupkan kebijakan reforma agraria Soekarno yang sempat dimatikan oleh Soeharto.
“Kalau pertanian kita dibiarin seperti ini, di mana ketimpangan kepemilikan lahannya itu sangat tinggi ya otomatis yang bisa hidup dengan layak di desa lewat pertanian ya hanya segelintir orang. Dan itu akan membuat orang akan selalu banyak melakukan urbanisasi. Kalau tidak ingin urbanisasi yang begitu besar nanti membebani kota-kota pemerintah perlu memberikan sumber daya yang memadai di desa. Dan salah satu caranya adalah meredistribusi lahan pertanian,” pungkas Habibi.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Rina Nurjanah