Menuju konten utama
Mozaik

Mengapa Orang-Orang Merantau ke Jakarta?

Sebagai pusat administrasi pemerintahan, kekuasaan, dan ekonomi, Jakarta menjanjikan pendapatan tinggi. Inilah yang jadi magnet dari tahun ke tahun.

Mengapa Orang-Orang Merantau ke Jakarta?
Lukisan Batavia karya Adrianus Johannes Bik. FOTO/KITLV

tirto.id - Jakarta telah mengalami transformasi besar sejak era kolonial hingga kini. Kota ini menyimpan sejarah panjang sebagai pusat perdagangan, administrasi, dan kekuasaan.

Sejak pembentukan Batavia oleh Belanda, migrasi ke Jakarta telah menjadi fenomena yang terus berkembang, membentuk karakter kota, yang hingga saat ini tetap menjadi magnet bagi para pencari peluang ekonomi dan identitas sosial.

Fondasi Awal Jakarta

Era kolonial merupakan periode penting yang meletakkan dasar bagi Jakarta sebagai pusat urban dan ekonomi. Pada awalnya, wilayah ini menarik perhatian kekuatan asing karena letaknya yang strategis, terutama sebagai pelabuhan dan jalur perdagangan.

Pada tahun 1619, Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen merebut kota yang sebelumnya dikenal dengan nama Jayakarta untuk mendirikan Batavia. Kota ini segera menjadi pusat administrasi bagi VOC (Kompeni) dan menjadi tempat berkembangnya sistem perdagangan yang modern dengan model kota Eropa.

Pembangunan kanal, benteng, dan gudang-gudang untuk menyimpan barang dagangan merupakan bagian dari upaya transformasi kota agar menyerupai kota-kota di Belanda.

VOC menjadikan Batavia sebagai markas besar operasinya di Asia, yang menarik migran dan pekerja dari berbagai wilayah di kepulauan ini dan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang terus meningkat.Kebijakan VOC juga membatasi kedatangan orang Jawa ke dalam tembok kota karena khawatir akan potensi pemberontakan jika mereka menjadi mayoritas.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, VOC mengimpor pekerja dan budak dalam jumlah besar dari berbagai wilayah di Nusantara, seperti Kepulauan Maluku dan Bali.

Merujuk Marsely L. Kehoe dalam Journal of Historian of Netherlandish Art, sistem segregasi lantas diterapkan. Bagian inti kota dihuni oleh pejabat kolonial dan pedagang Eropa, sementara komunitas Tionghoa, budak, dan pribumi tinggal di wilayah perifer, seperti kawasan Glodok dan permukiman pinggiran.

Masing-masing kelompok menduduki lokasi permukiman strategis berdasarkan peran ekonomi dan fungsinya dalam sistem kolonial. Pola tersebut mulai membentuk dinamika migrasi, di mana pekerja dan pedagang dari berbagai daerah mulai berdatangan demi mengisi kekosongan ekonomi dan tenaga kerja.

Dalam kurun satu abad dari 1800 hingga 1900-an, banyak penduduk desa yang digiring untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan kota seperti pembangunan Pasar Baru, Pelabuhan Tanjung Priok, hingga perumahan elite seperti Menteng dan Gondangdia. Mereka memberi kontribusi besar terhadap pertumbuhan populasi Batavia.

Warisan kolonial tidak hanya terlihat pada arsitektur klasik dan tata ruang kota, tetapi juga pada budaya, gaya hidup, dan sistem perdagangan yang terus berlanjut hingga pasca-kemerdekaan.

Transformasi Infrastruktur dan Lonjakan Populasi

Pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial mulai merelokasi pusat administrasi ke wilayah yang lebih sehat dan nyaman, seperti di Weltevreden, sekarang bagian dari Gambir dan Menteng. Pemindahan ini bertujuan mengurangi penyakit tifus dan malaria yang menyebar di Batavia sejak pertengahan 1700-an.

Pembangunan infrastruktur transportasi mempercepat distribusi barang dan tenaga kerja, meningkatkan perekonomian, dan menarik lebih banyak migran ke kota yang sudah berkembang pesat.

Pada 1880, penduduk Batavia hanya sekitar 100 ribu jiwa. Walaupun data awal menunjukkan populasi yang masih relatif kecil, pengaruh dari migrasi terus tumbuh, meletakkan dasar bagi lonjakan populasi di era selanjutnya.

Pada masa awal kemerdekaan, Jakarta menghadapi pergolakan politik dan konflik antara kekuatan pro-kemerdekaan dengan sisa-sisa administrasi kolonial. Namun, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Yogyakarta ke Jakarta.

Perpindahan tersebut memberikan sinyal kuat bahwa Jakarta akan menjadi pusat kekuasaan dan pusat pergerakan nasional. Pemindahan ibu kota menimbulkan harapan akan perbaikan ekonomi dan stabilitas sosial.

PERGELARAN PECINAN BATAVIA 2019

Penari barongsai tampil dalam Pergelaran Pecinan Batavia 2019 di Taman Fatahillah, Kawasan Kota Tua, Jakarta, Sabtu (16/11/2019).ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

Hal tersebut memicu arus masuk pegawai negeri, keluarga elite baru, serta masyarakat yang mencari peluang dalam infrastruktur pemerintahan yang mulai tumbuh. Jakarta menawarkan banyak kesempatan kerja, yang menarik orang-orang dari berbagai latar belakang dan keahlian.

Banyak pekerja tidak terampil dan putus sekolah juga pindah ke Jakarta untuk bekerja, sering kali mendirikan warung makan atau usaha kecil yang melayani berbagai segmen pasar.

Data kemudian menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi di Jakarta melonjak signifikan setelah kemerdekaan. Statistik pertumbuhan penduduk pada 1950 mencapai sekitar 1,4 juta jiwa. Sepuluh tahun kemudian, angka ini melonjak menjadi sekitar 2,6 juta jiwa, yakni peningkatan hampir 81 persen dalam satu dekade.

Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi aset Belanda, termasuk bank dan perusahaan perkebunan. Nasionalisasi ini membuka lapangan kerja baru dan menciptakan suasana ekonomi yang kondusif untuk investasi.

Program pembangunan seperti Kebayoran Baru dirancang untuk menampung gelombang migran yang datang dari berbagai daerah, terutama dari Jawa dan Sumatra. Kebijakan inilah yang menjadi landasan perkembangan kawasan urban di Jakarta pasca-kemerdekaan.

Migran yang datang ke Jakarta pada era ini tidak hanya berasal dari wilayah Jawa, tetapi juga dari Sumatra, Kalimantan, dan daerah lainnya yang terpengaruh oleh konflik dan keterbatasan lapangan pekerjaan di daerah asal.

Rahadian Ranakamuksa Candiwidoro dalam jurnal berjudul “Menuju Masyarakat Urban: Sejarah Pendatang di Kota Jakarta Pasca Kemerdekaan (1949-1970)”, menyebut kelompok utama migran pada 1950-an, masyarakat Jawa Barat cenderung datang karena ada konflik internal seperti pemberontakan DI/TII.

Sementara masyarakat dari Jawa Tengah dan Jawa Timur tertarik dengan peluang kerja di sektor pemerintahan dan industri. Migran dari Sumatra banyak datang untuk memanfaatkan peluang perdagangan dan pendidikan.

Daya Tarik Abadi

Setelah melewati masa transisi pasca-kemerdekaan, Jakarta terus mengalami pertumbuhan yang pesat. Kota ini tidak hanya menjadi pusat administrasi dan pemerintahan, tetapi juga menjadi pusat bisnis, industri, dan layanan sosial yang kompleks.

Jakarta menjadipusat bagi perusahaan multinasional dan nasional. Sebagian besar perusahaan besar menempatkan kantor pusatnya di Jakarta, yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja di sektor jasa keuangan, teknologi, logistik, dan manufaktur.

Pembangunan jalan tol, jaringan transportasi massal, seperti KRL, MRT dan LRT, serta modernisasi fasilitas umum telah meningkatkan kualitas infrastruktur kota, sehingga menarik lebih banyak pendatang untuk berinvestasi dan bekerja di Jakarta.

Sebuah penelitian mencatat, pada tahun 1980, jumlah penduduk di wilayah Jabodetabek adalah 11,4 juta jiwa, dan pada tahun 2018, jumlah tersebut meningkat menjadi 34 juta jiwa, dengan 10 juta jiwa berada di kota Jakarta.

Pada 2014, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa Jakarta memiliki jumlah penduduk sebesar 10,2 juta jiwa. Akan tetapi, laporan PBB tersebut meremehkan aglomerasi perkotaan di Jakarta karena mengabaikan jumlah penduduk pinggiran kota Jakarta, yang mencakup dua pertiga dari jumlah penduduk di wilayah Jabodetabek.

Setelah hari raya besar seperti Lebaran, Jakarta masih mengalami arus masuk migran baru, meskipun jumlahnya menurun dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, sekitar 25.900 setelah Lebaran 2023, turun dari tahun-tahun sebelumnya.

Warsa 2020, tahun pertama pandemi, lebih dari 113.000 orang pindah ke Jakarta, dan jumlah ini meningkat pada tahun-tahun berikutnya, sebelum sedikit menurun. Sementara tingkat pertumbuhan penduduk di Jakarta melambat, kota ini terus menarik sejumlah besar penduduk baru setiap tahunnya, yang mengindikasikan bahwa daya tariknya tetap kuat meskipun pertumbuhan keseluruhan lebih lambat.

Sementara menurut Badan Pusat Statistik, Jakarta memiliki PDB per kapita tertinggi di Indonesia dengan selisih yang signifikan pada tahun 2023, jauh melebihi rata-rata nasional dan provinsi lain.

Trem Batavia Jakarta

sarana transportasi berupa Trem yang pernah ada di Batavia (Jakarta) pada tahun 1900-an. FOTO/wikipedia

Perbedaan mencolok dalam PDB per kapita ini sangat menunjukkan bahwa Jakarta masih menawarkan potensi pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain, yang merupakan insentif ekonomi utama untuk migrasi.

Jakarta juga memiliki upah minimum provinsi tertinggi di Indonesia sebesar Rp5.396.760 pada tahun 2025. Gaji rata-rata di Jakarta cenderung lebih tinggi daripada di kota-kota lain dan daerah perdesaan, terutama di sektor-sektor yang membutuhkan keterampilan khusus.

Misalnya, gaji rata-rata untuk pekerja TI dan profesional keuangan jauh lebih tinggi di Jakarta dibandingkan dengan wilayah lain. Sementara upah minimum telah meningkat secara signifikan di Jakarta dan pusat-pusat manufaktur di sekitarnya seperti Bekasi dan Karawang, peningkatan ini terkadang lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya.

Jakarta juga memiliki rasio dokter-pasien yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa provinsi lainnya. Meskipun kualitas layanan kesehatan bervariasi di seluruh Indonesia, kota-kota besar seperti Jakarta umumnya memiliki rumah sakit umum dan swasta yang lebih lengkap, meskipun sering kali penuh sesak.

Pertimbangan lain, prospek pendidikan yang lebih baik merupakan motivasi yang kuat bagi keluarga untuk bermigrasi ke Jakarta, mencari akses ke sekolah-sekolah yang berpotensi berkualitas tinggi.

Namun, biaya hidup di Jakarta umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota besar Indonesia lainnya seperti Bali, Surabaya, Bandung, dan Medan. Biaya akomodasi, terutama harga sewa apartemen di pusat Jakarta, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota seperti Semarang, Yogyakarta, dan bahkan beberapa wilayah di Bali.

Bagi kelompok berpenghasilan rendah, biaya hidup yang tinggi di Jakarta, terutama perumahan, dapat menjadi tantangan serius untuk berkembang dan maju. Tetapi keinginan untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk meningkatkan standar hidup mereka, sering kali menjadi motivasi utama untuk migrasi.

Banyak migran akhirnya tinggal di daerah pinggiran Jakarta yang lebih murah atau di permukiman informal untuk mengelola biaya hidup. Ketersediaan pilihan makanan yang lebih murah, seperti warteg, sangat membantu mengurangi harga makanan yang kian mahal.

Ketimpangan Sosial

Jakarta adalah “surganya” ketimpangan dan keberlebihan dalam segala hal, tutur Rizal Malarangeng dalam “Teori dan Kerusuhan di Dua Kota” di buku Dari Langit: Kumpulan Esai Tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan (2008:419).

Meski memiliki daya tarik ekonomi yang besar, pertumbuhan urbanisasi meningkatkan tekanan pada sumber daya kota dan menimbulkan sejumlah masalah. Migrasi terus-menerus menyebabkan kepadatan yang ekstrem dan terciptanya area permukiman informal di berbagai sudut kota.

Warisan sistem infrastruktur kolonial, seperti jaringan pipa yang tidak merata, membuat kurang dari 50 persen penduduk memiliki akses ke air bersih secara memadai. Peningkatan permukiman di daerah rawa dan pesisir meningkatkan risiko banjir dan dampak perubahan iklim, yang menambah kompleksitas tata kelola kota.

Lain itu, Jakarta menghadapi sejumlah tantangan yang berkaitan dengan warisan sejarah dan modernisasi. Banyak bangunan bersejarah dari masa Batavia masih eksis di beberapa kawasan Jakarta. Arsitektur kolonial ini tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan kota, tetapi juga memengaruhi tata ruang dan pola permukiman di era modern.

Walaupun Jakarta menyediakan banyak kesempatan kerja, hasil konsentrasi ekonomi di kota ini tidak selalu diikuti dengan distribusi kesejahteraan yang merata. Banyak pendatang yang terpaksa tinggal di perkampungan kumuh (kampung) di pinggiran kota, yang kerap kali tidak memiliki infrastruktur memadai.

Mereka yang memilih meninggalkan kampung halaman demi mencari kehidupan yang lebih baik, rasa identitas dan keterikatan budaya tetap kuat. Banyak Jakartan yang mempertahankan tradisi dalam kehidupan sehari-hari, baik dari segi kuliner, bahasa, maupun kebiasaan, yang menciptakan dinamika sosial yang unik.

Akar migrasi dan niat berduyun-duyun dari daerah ke Jakarta bukan semata-mata fenomena ekonomi, tetapi merupakan perjalanan kompleks yang mencakup transformasi politik, sosial, dan budaya.

Perjalanan panjang sejarah dari era kolonial hingga masa modern telah membentuk Jakarta sebagai kota yang unik, dengan tantangan dan potensi yang saling terkait.

Baca juga artikel terkait SEJARAH JAKARTA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi