Menuju konten utama

Jakarta yang Selalu Jadi Tumbal Kegagalan Pemerataan Pembangunan

Masyarakat desa masih menganggap Jakarta dan kota-kota besar lainnya sebagai pusat kemajuan.

Jakarta yang Selalu Jadi Tumbal Kegagalan Pemerataan Pembangunan
Sejumlah wisatawan menikmati suasana kawasan Kota Tua di Jakarta, Selasa (16/4/2024). ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt.

tirto.id - Bagi Sugeng, Jakarta masih menjadi magnet untuk ditinggali meski sudah tak lagi menyandang status sebagai Ibu Kota. Pria asal Klaten, Jawa Tengah itu, masih berkeyakinan kuat bisa mengikuti jejak teman-temannya yang lebih dulu sukses mengadu nasib di Jakarta.

Ia mengaku sudah lebih dari seminggu berada di Jakarta. Pria kelahiran 1997 itu, tiba pada 15 April 2023 bersamaan dengan arus balik mudik Lebaran 2024. Untuk sementara waktu, Sugeng menumpang dan tinggal di indekos teman sekampungnya di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur.

"Minggu ini rencananya mulai [interview]. Kemarin sudah ada tawaran," ujar Sugeng kepada Tirto, Rabu (24/4/2024).

Meski belum jelas jenis pekerjaannya dan posisinya apa, namun Sugeng tetap bertekad mengikuti proses dan akan bersedia menjalankannya. Toh, kata dia, pekerjaan ini bisa menjadi batu loncatan untuk awal kehidupan lebih baik di Jakarta.

"Jadi kemarin sebelum ke sini [ke Jakarta], teman nawarin salah satu restoran gitu. Cuma untuk posisinya apa belum tahu," imbuhnya.

Sugeng, boleh jadi salah satu dari ribuan orang yang mencoba peruntungan mengadu nasib di DKI Jakarta.

Menurut data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta terdapat sebanyak 1.038 pendatang tiba di Jakarta setelah periode Hari Raya Idulfitri 2024. Ribuan warga baru ini berasal dari sejumlah kota atau kabupaten se-Indonesia.

“Berdasarkan data kami, mulai 16-22 April 2024, ada 1.038 orang pendatang baru di Jakarta pasca-Lebaran,” kata Kepala Disdukcapil Jakarta, Budi Awaluddin, kepada awak media, Selasa (23/4/2024).

Kemacetan terjadi di sejumlah jalan Jakarta

Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (19/2/2024). ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt.

Menurut Budi, Kota Bekasi menjadi wilayah penyumbang pendatang di Jakarta terbanyak. Jumlah pendatang dari kota tersebut mencapai 80 orang. Pendatang lain kebanyakan berasal dari Jabodetabek. Berdasarkan data, pendatang yang tidak berasal dari Jabodetabek, yakni warga Medan, Indramayu, dan Brebes.

“Dari 10 wilayah yang pendatangnya paling tinggi, ada warga dari tiga wilayah non-Jabodetabek yang penduduknya datang ke Jakarta. Dari Medan 26 orang, Indramayu 23 orang, dan Brebes 21 orang," ungkap Budi.

Berdasar pemetaan Disdukcapil DKI Jakarta, sebanyak 38,17 persen pendatang diasumsikan berpenghasilan rendah dan sisanya diasumsikan berpenghasilan tinggi.

"Dari kategori usia, kebanyakan warga baru ini berusia 25 tahun-29 tahun. Ada yang berusia lebih dari 70 tahun, jumlahnya [warga baru] empat orang. Yang paling muda, [pendatang] berusia 0 tahun-4 tahun," urainya.

Budi berujar, selisih jumlah pendatang baru berjenis kelamin perempuan lebih tinggi daripada pendatang baru berjenis kelamin laki-laki. Pendatang perempuan berjumlah 523 orang, sementara pendatang laki-laki berjumlah 515 orang.

Akibat Kegagalan Pemerataan Pembangunan

Fenomena pendatang baru di Jakarta usai Lebaran menjadi bukti kegagalan dari pemerintah dalam melakukan pemerataan pembangunan.

Dosen Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Andreas Budi Widyanta, melihat penyebabnya yakni terjadinya sentra-sentra pembangunan yang besar di pusat perkotaan melahirkan sebuah disparitas ketimpangan pembangunan antar wilayah Indonesia.

“Itu penting banget harus di-highlight pada level itu. Ini adalah bentuk kegagalan dari satu pemerintahan ke pemerintahan di Indonesia bahwa pembangunan itu tidak merata,” ujar Andreas saat dihubungi, Rabu (24/4/2024).

Di sisi lain, masyarakat desa masih menganggap Jakarta dan kota-kota besar lainnya sebagai pusat kemajuan.

Dalam hal ini, dirinya tidak menyalahkan sepenuhnya anggapan terhadap mereka. Justru, ini adalah kesalahan sistem besar pembangunan yang tak merata.

“Memang timpang. Pembangunan sumber-sumber ekonomi produktif di wilayah juga tidak merata,” kata Andreas.

Maka jangan heran, kata dia, jika setiap momen sehabis Lebaran masyarakat dari kota besar ke desa mengajak saudaranya untuk menikmati kue pembangunan di kota metropolitan dengan seluruh pertaruhan hidup yang mereka korbankan.

“Artinya sistem pembangunan tadi tidak memprioritaskan SDM sebagai bagian terpenting dari pembangunan. Yang terjadi adalah bias pembangunan infrastruktur fisik,” ucap dia.

ANGKA KEMISKINAN DI JAKARTA

Sejumlah warga beraktivitas di perkampungan padat penduduk tepi rel kereta api di Kampung Bandan, Jakarta, Jumat (14/10/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.

Hanya Akan Jadi Beban?

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai, kehadiran pendatang baru pada akhirnya jika tidak segera dicegah akan menjadi beban baru bagi pemerintah daerah.

Terlebih Jakarta, menurutnya, memiliki dana untuk program bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, yang nilainya mencapai triliunan.

Sederhananya, mereka yang datang, kemudian menumpang atau mendapatkan identitas kependudukan di Jakarta akan menikmati berbagai fasilitas dari ketiga program tersebut. Secara tidak langsung, kehadirannya bakal menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

"Cuma pertanyaannya kalau sudah daerah khusus Jakarta, mereka [pemprov] kan harus pintar-pintar kelola anggaran. Bagaimana dan dari dana bantuan ini?," ujar Yayat saat dihubungi Tirto, Rabu (24/4/2024).

Masalah lain yang akan timbul dari pendatang baru di Jakarta, menurut Yayat adalah bertambahnya angka kriminalitas dan kemiskinan.

“Sama saja tambah masalah. Berapa tahun dia di Jakarta dan mau bekerja apa?” kata Yayat.

Untuk diketahui, persentase penduduk miskin di kota Jakarta Pusat, tercatat 4,68 persen hingga November 2023. Jumlah ini turun 0,22 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang dilaporkan 4,9 persen, dikutip dari Katadata.

Perkembangan persentase penduduk miskin dalam 10 tahun di kota Jakarta Pusat dalam tren naik, bergerak dari kemiskinan sebesar 4,12 persen menuju ke 4,68 persen.

Sementara itu, wilayah lain dengan persentase penduduk miskin di urutan dua teratas di Provinsi DKI Jakarta adalah Kepulauan Seribu 13 persen dan Jakarta Utara 6 persen. Selebihnya Jakarta Timur 4 persen, Jakarta Barat 4 persen, dan Jakarta Selatan 3 persen.

"Warga pendatang itu jadi masalah kenapa itu kemari? Bagaimana tanggung jawab kepala daerah sana?," ujar Yayat mempertanyakan.

Daya Tarik Jakarta Mulai Memudar

Fenomena pendatang baru ke Jakarta tetap harus menjadi urgensi bagi pemerintah daerah di luar Jakarta untuk melakukan tata kelola kota. Hal ini setidaknya bisa dimulai dengan penataan penduduknya, bila tidak ingin dianggap sebagai beban.

"Jadi kita tidak makin tertata kalau penduduknya tidak ditata,” ujar Yayat.

Persoalan lainnya kata Yayat, bukan hanya menganggap pendatang ke Jakarta menjadi masalah saja setiap tahunnya. Namun, mengatur juga bagaimana warga Jakarta yang tinggal di pinggiran seperti Bodetabek, tetapi memiliki KTP Jakarta.

Faktanya, kata dia, sejak era 90-an banyak orang keluar dari Jakarta dibandingkan dengan mereka yang datang. Penyebabnya adalah biaya hidup dan masalah pekerjaan. Sehingga orang lebih memilih tinggal di pinggiran Jakarta.

“Justru pertanyaan, ini harus ditata ulang. Supaya daya dukung daya tampung Jakarta betul-betul sesuai. Kalau misalnya pun mereka tinggal di tetangga sebelah, nanti dianggap sebagai kotak asrama saja tidak memberikan kontribusi apa-apa bayar pajak dan lain-lain,” ujar dia.

Yayat justru menilai daya tarik Jakarta sudah tidak seperti dahulu. Sebab, saat ini sudah makin banyak tumbuh kembang kota-kota industri baru seperti Cikarang, Cibitung, Karawang, Bekasi dan Purwakarta.

“Banyak usaha sektor informal lebih senang buka di sana. Karena di situ banyak pekerja pabrik. Jadi lebih baik bekerja di sekitar Jakarta pendapatan lumayan dan gaya hidup tidak tinggi,” kata dia.

Jadi cara membacanya, kata dia, bukan hanya menghitung berapa banyak jumlah pendatang baru ke Jakarta, tetapi juga perlu mengetahui kenapa terjadi fenomena penurunan jumlah pendatang ke Jakarta. Karena jika melihat secara tren angkanya, memang kedatangan pendatang baru ke Jakarta usai Lebaran menurun selama empat tahun terakhir.

Pada 2020 jumlah pendatang baru usai Lebaran saat itu tercatat sebanyak 24.043 orang. Kemudian pada 2021 sebanyak 20.046 orang, 2022 sebanyak 27.478 orang, dan 2023 sebanyak 25.918 orang.

“Apalagi orang sekarang tidak lagi melihat Jakarta sebagai Ibu Kota lagi. Jadi masalah status sosial. Perantau dianggap dewa penyelamat di kampung. Jadi pulang mereka belaga orang kaya,” ujar Yayat.

Baca juga artikel terkait JAKARTA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto