tirto.id - Dari sekian banyak orang yang jadi Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen adalah yang paling banyak dimitoskan. Coen yang belajar dagang sejak umur belasan tahun dan pernah jadi pedagang VOC di Ambon itu dua kali menjadi gubernur jenderal. Menurut catatan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), Coen menjabatnya pada 1619-1623, lalu 1627-1629. Beberapa sumber menyebut dia lahir 1587. Artinya, dia mulai menduduki jabatan itu sejak berumur sekitar 32.
Tak lama setelah menjabat, hal yang pertama kali dilakukannya adalah merebut kota Jayakarta dari tangan orang-orang Banten pada Mei 1619. Kota yang diambilalih itu belakangan dinamai Batavia. Kota ini menjadi basis penting VOC di Hindia Timur, setelah Ambon.
Banyak cerita terkait penguasa Batavia ini yang beredar di kalangan pribumi. Istilah "jangkung" konon mengacu dari namanya. Berdasar lukisan Jacob Waben, Coen tergambar sebagai sosok yang agak ramping dan tinggi, setidaknya untuk ukuran pribumi. Ada pula narasi yang beredar tentang Coen sebagai keturunan Jawa.
“Menurut cerita, Batavia diperintah oleh Mur Jangkung, yang punya hubungan dengan dinasti Mataram. Ibunya Pajajaran, kerajaan Shiwais kuno di Jawa Barat. Dia diusir oleh suaminya, penguasa Jayakarta. Ayahnya adalah saudara Sekender (kata Jawa untuk Alexander yang menyimbolkan penakluk Barat),” tulis Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
Jadi, “ketika Mur Jangkung (alias Coen) berkuasa atas Batavia, dia hanya mengambil kembali hak miliknya.”
Menurut catatan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan (1990), ceritera itu adalah “upaya mengintegrasikan orang-orang Eropa ke dalam pandangan orang Jawa dan menjelaskan kehadiran Batavia.” Jangkung adalah gambaran dari Jan Coen. Orang yang digambarkan dalam cerita punya darah pribumi.
Mati Karena Kolera
Mempertahankan Batavia tentu tidak mudah. Di masa Coen, nun jauh di tenggara Batavia, bertakhta raja Mataram terakhir yang masih sangat kuat. Sultan Agung, Raja Mataram itu, dua kali mengirim pasukan untuk menghancurkan VOC di Batavia. Namun, dua kali juga Mataram gagal.
Dalam serangan Mataram kedua, Coen mati pada 21 September 1629, tepat hari ini 389 tahun lalu. Bukan gempuran pasukan Mataram yang menyebabkan Coen tewas. Tapi, menurut sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007), Coen meninggal karena sakit perut yang dideritanya.
Dia tewas tiga hari setelah serangan tentara Mataram karena terkena kolera. Wabah kolera yang menjangkiti air di Batavia ini diyakini karena diracun tentara Mataram.
“Coen meninggal akibat senjata balatentara Mataram. Kemudian kepalanya dibawa ke Mataram, dan dikuburkan di tangga Imogiri, makam raja-raja kesultanan Mataram. Ini simbol, bila orang hendak ke pemakaman itu ia terlebih dulu seakan menginjak kepala Coen,” menurut catatan Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).
Kebetulan, ada sebuah undakan tangga yang berupa batu dan itu dipercayai sebagian orang sebagai makam Coen. Namun, sumber yang dianggap versi Belanda menyebut Coen dimakamkan di balai kota Batavia (Taman Fatahillah) dan kemudian dipindahkan ke Museum Wayang.
Pada 1939, pernah diadakan penggalian di makam Coen yang sudah tiga abad mati itu, tapi tak ditemukan apapun. Mitos Coen dibunuh dan dikubur di tangga Imogiri oleh tentara Mataram pun menguat.
Penjaga Moral yang Fanatik
Di luar cerita-cerita tadi, ada pula kisah Coen terkait dua sejoli di Batavia, Sara Specx dan Pieter J. Cortenhoeff, yang belakangan dipopulerkan lagi. Dalam menjaga moral di kota Batavia, Coen tergolong fanatik. Ketika mencuat kasus perzinaan Sara Specx dengan Pieter J. Cortenhoeff, Coen adalah salah satu orang yang merestui hukuman mati dua sejoli itu pada 1629. Padahal, Sara adalah anak angkat yang dititipkan ke keluarga Coen.
Sara yang baru belasan tahun itu sebetulnya anak dari Jacques Specx dari hubungan gelapnya dengan perempuan Jepang. Beredar cerita, sebelum Cortenhoeff digantung, wajah dan hidungnya telah dicoreng arang hingga hitam. Konon dari sini istilah hidung belang mulai menjadi sebutan untuk laki-kaki yang suka berzina.
Terkait dengan isu kekinian yang dibenci orang-orang Indonesia pribumi yang anti-kuli asing, Coen termasuk penguasa nusantara awal yang mendatangkan tenaga kerja asing. Dia mendatangkan kuli-kuli dari Tiongkok.
“Mereka bangsa yang ulet, rajin dan suka bekerja [...] Tak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita atau yang dapat dikerahkan dengan sama mudahnya selain daripada orang Tionghoa,” kata Coen, seperti dikutip Willard Hanna dalam Hikayat Jakarta (1998) dan Benny Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008).
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 Mei 2017 dengan judul "Cerita-Cerita tentang Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Maulida Sri Handayani