tirto.id - Jakarta nampak kembali ‘hidup’ pada Selasa, 8 April 2025 pagi. Hari itu adalah hari pertama masuk kerja bagi sejumlah pegawai usai momen libur Lebaran 2025. Jalan protokol, stasiun kereta, halte-halte bus hingga gedung perkantoran kembali diramaikan oleh aktivitas masyarakat. Pemandangan yang mungkin tidak terlihat selama sepekan sebelumnya saat kota ini ditinggal jutaan penghuninya.
Jakarta memang nampak ramai usai jutaan penghuninya yang melakukan mudik lebaran telah kembali ke kota itu. Tak hanya itu, Jakarta juga ketambahan sejumlah ‘pemain baru’ yang menghiasi wajah kota metropolitan ini. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Jakarta memprediksi sekitar 10.000-15.000 jiwa pendatang baru akan datang ke Jakarta pada musim pasca hari raya tahun ini.
Sekilas angka pendatang baru yang datang pada 2025 memang mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan Disdukcapil Jakarta, jumlah pendatang usai Lebaran 2024 mencapai 16.207 orang. Sementara itu, jumlah pendatang usai Lebaran 2023 mencapai 25.918 orang.
Meski Disdukcapil mencatat tren penurunan, sejumlah pihak tetap meyakini jumlah perantau atau pendatang di Jakarta tetap membludak usai lebaran tahun ini. Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno, tidak sepakat dengan prediksi data Disdukcapil bahwa perkiraan jumlah pendatang baru ke Jakarta setelah periode libur Lebaran 2025 mencapai 10.000-15.000 orang.
Pria yang akrab disapa “Doel” itu menilai angka yang dikeluarkan Disdukcapil tersebut masih terlalu kecil. Ia malah memprediksi akan ada 50.000 pendatang baru ke Jakarta nantinya.
"Tadi Anda bilang 15.000 [pendatang baru], kalau 15.000 itu kecil sekali, sangat kecil. Mungkin bisa diatas, prediksi kita di atas 50.000-an [pendatang baru]," ucapnya di Jakarta Selatan, Jumat (4/4/2025).
Jakarta Masih Jadi Magnet Perantau
Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Achmad Hanif Imaduddin, menilai arus migrasi pascalebaran yang tetap tinggi mencerminkan daya tarik struktural kota besar, seperti Jakarta, sebagai pusat ekonomi nasional.
Menurutnya, Jakarta masih dipersepsikan sebagai "ladang harapan" bagi mobilitas sosial ke atas, terutama bagi kelompok usia produktif dari daerah-daerah dengan peluang kerja terbatas.
Hanif menilai fenomena ini juga mencerminkan urgensi untuk melakukan desentralisasi pembangunan ekonomi yang lebih serius. Saat ini, pembangunan di Indonesia masih dan selalu bersifat Jakarta-sentris. Alhasil selama kota-kota lain belum memiliki ekosistem ekonomi dan layanan publik yang setara, termasuk akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak, Jakarta akan tetap menjadi magnet urbanisasi.
Lebih lanjut, ia menyebut kondisi ekonomi di daerah saat ini seperti peningkatan PHK dan penutupan pabrik juga turut meningkatkan arus urbanisasi yang terjadi. Pekerja yang kehilangan mata pencahariannya di wilayah industri sekunder, seperti Jawa Tengah dan Banten, kemungkinan besar akan mencoba peruntungan di wilayah megapolitan, seperti Jakarta, atau bahkan kota-kota besar lain, seperti Bodetabek.
“Mereka yang terdampak PHK akan mencari sektor informal atau pekerjaan harian, yang lebih banyak tersedia di kota besar. Bagi mereka, ketersediaan fasilitas pelatihan keterampilan dan bantuan sosial yang terkadang lebih mudah dijangkau di perkotaan memiliki daya tarik yang kuat,” ujarnya.
Sebagai informasi, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melaporkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di RI mencapai lebih dari 18.000 orang dalam dua bulan pertama 2025.
Jumlah terdampak PHK terbanyak ada di Provinsi Jawa Tengah dengan total sebanyak 10.677 orang atau lebih dari 50 persen total PHK nasional. Disusul oleh jumlah PHK di DKI Jakarta yang mencapai 5.300 orang, di Riau yang mencapai 3.853 orang. Kemudian di Jawa Timur mencapai 978 orang.
Angka PHK ini juga berbanding lurus dengan tutupnya sejumlah pabrik yang terjadi di awal tahun 2025 ini. PT Sri Rejeki Isman Tbk Group atau Sritex Group yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah misalnya. Setelah dinyatakan bangkrut, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan ada 10.665 karyawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan terakhir berkerja pada Jumat (28/2/2025).
Selain Sritex, pabrik elektronik dan rumah tangga, PT Sanken Indonesia, yang berlokasi di kawasan industri MM2100, Cikarang, juga akan menghentikan produksinya pada Juni 2025 mendatang. Penutupan perusahaan ini, berdampak pada 459 pegawai yang mendapat PHK.
PT Yamaha Music berlokasi di MM2100, Bekasi, Jawa Barat, dijadwalkan tutup operasional pada Maret 2025. Sedangkan, pabrik PT Yamaha Indonesia yang sektornya memproduksi instrumen musik khususnya piano juga akan tutup operasional pada akhir Desember 2025. Atas penutupan perusahaan ini, sekitar 1.100 pekerja diperkirakan terdampak PHK akibat penutupan tersebut.
Menanggapi kondisi ini, dari sisi kebijakan publik, Hanif mengusulkan pemerintah pusat dan daerah sedikitnya perlu bersinergi dalam tiga hal utama.
Pertama, pengembangan ekonomi daerah asal. Pemerintah pusat perlu memperkuat program padat karya dan pengembangan UMKM di daerah-daerah kantong migrasi, termasuk melalui skema Dana Desa yang lebih produktif dan akuntabel. Tujuannya adalah menciptakan alasan untuk “tinggal dan bertumbuh” di kampung halaman.
Kedua, peningkatan kapasitas kota menengah. Terkait hal ini, perlu strategi jangka menengah untuk membangun kota-kota menengah (secondary cities) agar bisa menjadi pusat pertumbuhan baru.
Terakhir, sebagai kebijakan reaktif, kota-kota tujuan migrasi seperti Jakarta perlu melakukan penguatan data urbanisasi dan perencanaan tata kota melalui penguatan sistem informasi kependudukan dan perencanaan spasial berbasis data.
“Hal ini agar migrasi tidak menimbulkan tekanan berlebih pada permukiman kumuh, transportasi, dan layanan dasar,” tutup Hanif.
Jakarta Terbuka Bagi Pendatang
Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Pramono Anung, menegaskan Pemprov Jakarta tidak akan melakukan operasi yustisi terhadap para masyarakat dari luar Jakarta yang datang ke Jakarta pascamudik lebaran.
Pramono menyebut, keputusan untuk tidak menggelar operasi yustisi dipilih karena Jakarta sebagai kota terbuka, tidak akan menutup kesempatan masyarakat yang ingin memperbaiki nasibnya.
Bagi Pramono, pindah ke Jakarta untuk memperbaiki nasib juga pernah menjadi mimpinya. Oleh karena itu, ia ingin masyarakat merasakan kesempatan tersebut.
“Karena kami di sini dulu pernah bermimpi memperbaiki nasib keluarga kami di Jakarta, sehingga dengan demikian kami melakukan hal yang sama,” tuturnya.
Meski begitu, Pramono mengimbau, para masyarakat yang berniat untuk menetap di Jakarta sebaiknya memiliki kemampuan atau skill untuk bekerja. Selain itu, identitas kependudukan masyarakat juga disebut Pramono harus tersedia dengan jelas.
“Bagi siapapun yang ingin mengadu nasib di Jakarta, yang pertama dia harus punya kemampuan untuk mengadu nasib di Jakarta. Karena hidup di Jakarta berbeda dengan di daerah-daerah, dan untuk itu siapapun yang akan bekerja di Jakarta maka identitas kependudukannya harus jelas,” ucapnya.
Pramono dan jajaran Pemprov DKJ pun telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasi kedatangan warga daerah yang akan mengadu nasib di Jakarta, di antaranya membuka pelatihan keterampilan yang akan diadakan di kantor kecamatan, kelurahan, hingga balai warga.
“Kami membuka ruang untuk siapa pun dapat mengikuti latihan keterampilan yang nanti akan diadakan di kecamatan, balai warga, kelurahan dan sebagainya,” kata Pramono di Balai Kota Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Langkah senada diungkap oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertransgi) Jakarta, Hari Nugroho, yang menyatakan pihaknya menyiapkan enam langkah untuk menekan angka pengangguran akibat adanya pendatang baru usai Lebaran 2025.
Pertama, Disnakertransgi Jakarta dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait akan menyiapkan program informasi lapangan pekerjaan, perluasan kesempatan kerja, serta pelatihan kompetensi untuk pencari kerja.
"[Lalu], penciptaan iklim berusaha yang kondusif, Pemprov DKJ berkomitmen menjamin hak pendatang dalam kebebasan berusaha dan mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak untuk para pendatang," ucapnya dalam keterangan tertulis, Senin (7/4/2025)
Hari melanjutkan, Disnakertransgi Jakarta juga akan menyosialisasikan kanal informasi lowongan pekerjaan resmi, yakni karirhub.kemnaker.go.id, karir.jakarta.go.id, disnakertransgi.jakarta.go.id atau melalui Instagram resmi Disnakertransgi Jakarta.
Kemudian, kata Hari, Disnakertransgi Jakarta akan menggelar pameran kesempatan kerja (job fair) yang merupakan program 100 hari Gubernur-Wakil Gubernur Pramono Anung-Rano Karno.
Langkah kelima, pihaknya akan menggelar peningkatan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan kerja di Pusat Pelatihan Kerja dan Suku Dinas Nakertransgi di lima wilayah Kota dan satu kabupaten Administratif.
Terakhir, Hari menyebutkan, Disnakertransgi Jakarta akan menggelar pelatihan tenaga kerja mandiri untuk pencari kerja yang berminat menjadi pelaku wirausaha atau menjadi tenaga kerja mandiri tanpa hubungan kerja atau pekerja lepas.
Optimalisasi Kualitas Pendatang
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, meyakini arus pendatang usai lebaran tetap membludak seperti tahun-tahun sebelumnya. Salah satu indikasinya bisa terlihat dari peningkatan jumlah penduduk di wilayah sekitar penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek).
Nirwono melihat ada tren pergeseran pendatang atau perantau yang akan bekerja di Jakarta saat ini lebih memilih untuk tinggal di wilayah penyangga Jakarta seperti Bodetabek. Hal ini disebabkan oleh sejumlah pertimbangan, seperti biaya hidup yang lebih murah.
“Bisa jadi pendatang yang tercatat datang ke Jakarta itu turun, tapi bagaimana dengan wilayah Bodetabek? Kota Tangsel misalnya, dalam 2 tahun terakhir ada tren kenaikan 10 persen. Kalau ditelusuri seluruh wilayah Bodetabek juga mengalami angka tren kenaikan pendatang,” ujar Nirwono saat dihubungi Tirto, Selasa (8/4/2025).
Nirwono mengatakan langkah Pemprov DKJ yang meniadakan operasi yustisi telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta yang menyatakan di pasal tiga, bahwa Jakarta akan menjadi kota global maka Jakarta tentu harus menjadi kota yang terbuka untuk siapa saja.
Nirwono menggarisbawahi sejumlah hal yang menjadi pekerjaan rumah Pemprov DKJ dalam menghadapi lonjakan arus pendatang yang akan mengadu nasib di Jakarta.
Pertama, memastikan para pendatang tersebut memiliki keahlian atau keterampilan khusus untuk bekerja. Untuk bisa melakukan hal ini dibutuhkan pendataan yang akurat hingga level terkecil seperti RT dan RW.
“Di sinilah perlunya pendataan yang akurat sampai ke tingkat RT/RW dan kelurahan dengan tujuan untuk memastikan para pendatang tadi dari mana, kemudian tinggal dimana sampai dengan tujuannya apa, ini sangat menentukan penanganannya,” ujarnya.
Jika lonjakan pendatang ini tidak bisa diantisipasi dengan baik akan menimbulkan sejumlah permasalahan kota dan tata ruang seperti menjamurnya kampung-kampung kumuh padat penduduk yang akan memengaruhi kualitas lingkungan kota. Hal ini imbas keterbatasan ruang tempat tinggal bagi para pendatang di Jakarta.
“Tak hanya itu, jika para pendatang ini gagal untuk bersaing atau berkompetisi di Jakarta, bukan tak mungkin sejumlah masalah sosial seperti meningkatnya angka kriminalitas,” ujarnya.
Nirwono menekankan, sudah menjadi tugas bagi Pemprov DKJ untuk mengoptimalkan potensi SDM para pendatang tersebut demi mewujudkan cita-cita Jakarta sebagai kota global. Ia memandang para pendatang harus dilihat sebagai potensi SDM untuk meningkatkan kualitas maupun juga perkembangan Jakarta sebagai kota global.
Menurutnya, para SDM tersebut minimal harus dibekali standar minimum kemampuan warga di sebuah kota global, seperti memiliki kemampuan berbahasa inggris dan mengenal teknologi yang baik.
Ia memberikan studi contoh kasus di sejumlah kota global lain seperti Tokyo dan New York dimana kedatangan para pendatang justru memberikan dampak positif bagi perekonomian dan perkembangan kota.
“Tetapi dengan pemberdayaan yang lebih efektif para pendatang di Tokyo dan New York justru mampu meningkatkan kualitas kotanya tadi menuju ke kota global,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang