Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Di Balik Isu Megawati & Jokowi Enggan Bertemu Jelang Pemilu 2024

Keengganan Megawati bertemu Jokowi dinilai tidak lepas dari keyakinan soal Ganjar-Mahfud akan lolos ke putaran kedua.

Di Balik Isu Megawati & Jokowi Enggan Bertemu Jelang Pemilu 2024
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri (tengah) berbincang dengan Presiden Joko Widodo (kiri), dan bakal Capres Ganjar Pranowo (kanan) saat sesi konferensi pers Rakernas PDI Perjuangan di Jakarta, Selasa (6/6/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Isu Joko Widodo meminta dimediasi bertemu Megawati Soekarnoputri menjadi “bola liar” yang terus dibicarakan publik. Hal ini tidak lapas dari hubungan keduanya yang renggang akibat beda pilihan politik pada Pilpres 2024. Megawati bersama PDIP usung Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sementara Jokowi dianggap mendukung Prabowo Subianto karena gandeng Gibran Rakabuming Raka, anak sulung dari Jokowi.

Sontak, elite PDIP dan Istana merespons “isu liar” tersebut dengan sigap. Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, membantah kabar yang menyebut Jokowi meminta bertemu dengan Megawati. “Enggak ada,” kata Hasto di JCC, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Hasto justru menilai, rumah Megawati selalu terbuka. Ia justru menyindir Jokowi agar hadir dengan Sri Mulyani, Basuki Hadimuljono, dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Sebaliknya, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, juga membanta kabar yang menyebut Presiden Jokowi meminta agar dimediasi bertemu dengan ketua umum DPP PDI Perjuangan tersebut.

“Terkait dengan narasi yang dikembangkan seolah-olah ada pertemuan, permintaan dari bapak presiden untuk bertemu apalagi dihubungkan dengan Pemilu 2024, itu sama sekali tidak benar,” kata Ari saat ditemui di Gedung Utama Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2024).

Ari mengamini pernyataan Hasto Kristiyanto soal kabar pertemuan tersebut. “Itu sudah dikonfirmasi juga oleh sekretaris jenderal PDI Perjuangan, Mas Hasto yang mengatakan tidak benar ada permintaan untuk pertemuan. Jadi saya tidak tahu hal yang seperti ini ya,” kata Ari.

Ari mengakui, pertemuan tokoh bangsa memang penting dan positif. Ia juga mengatakan, Jokowi bertemu dengan para tokoh bangsa seperti ulama, tokoh daerah, dan tokoh nasional. Ari menilai silaturahmi dan komunikasi membangun bangsa baik demi kepentingan masa depan.

“Kalau presiden, kan, selama ini terbuka bertemu dengan siapa saja tokoh-tokoh bangsa dan saya kira juga Bu Mega juga sama ya, terbuka untuk bertemu dengan tokoh-tokoh bangsa,” kata Ari.

Pertarungan Kingmaker

Analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, melihat keengganan pertemuan Megawati dengan Jokowi tidak lepas dari posisi keduanya sebagai pemberi pengaruh dan pengambil keputusan dalam konstelasi politik di Pilpres 2024. Ia sebut Jokowi, Megawati, dan Surya Paloh serta Jusuf Kalla adalah para kingmaker.

“Ini, kan, gengsi kingmaker, artinya tiga orang ini kingmaker dari para paslon. Saya rasa, baik Surya Paloh atau mungkin Jokowi punya kepentingan ketemu dengan Megawati karena kalau kita cek survei ini bahwa yang punya kemungkinan akan masuk di putaran kedua tentu yang pertama Prabowo, karena paling tinggi survei-nya kan, dan yang paling bersaing Ganjar dengan Anies. Artinya ketika Ganjar kalah di putaran pertama, tentu Megawati mahal posisinya,” kata Arifki, Selasa (23/1/2024).

Arifki sebut, posisi Megawati menjadi mahal karena kingmaker kedua capres akan berupaya meraih suara kubu 03, terutama PDIP, bila Ganjar-Mahfud gagal di putaran pertama. Sebaliknya, bila paslon nomor 3 yang lolos, maka parpol pendukung AMIN juga akan menjadi sasaran untuk dirangkul.

“Makanya bargaining position Megawati ini muncul sehingga ada agenda membaca ruang-ruang untuk ketemu sehingga narasi untuk putaran kedua muncul apakah dengan pertemuan dengan agenda putaran kedua,” kata Arifki.

Arifki mengatakan, PDIP akan penting dalam pemenangan putaran kedua karena elektabilitas partai moncong putih itu kerap di atas 20 persen dalam pileg. Dengan kata lain, suara PDIP berpotensi mendorong suara capres di putaran kedua.

Selain itu, posisi PDIP akan mahal karena PDIP berpotensi berkuasa sebagai pimpinan DPR dengan perolehan suara legislatif yang besar. Sebab, pemerintahan masa depan bisa terganggu bila hubungannya tidak harmonis dengan pemegang suara terbanyak di parlemen.

“Ini akan mengganggu rekonsiliasi bagaimana hubungan legislatif dengan eksekutif ketika misalnya PDIP di luar kekuasaan,” kata dia.

Arifki melihat setidaknya ada dua skenario besar jika Ganjar kalah. Pertama, PDIP akan berkomunikasi dengan Timnas AMIN. Jika opsi ini terjadi, maka kebuntuan komunikasi antara Surya Paloh dengan Megawati berarti telah berakhir. Ia mengingatkan, Megawati dan Surya memiliki hubungan kurang baik.

“Kalau bertemu Surya Paloh, kita membaca bahwa mungkin persoalan panggung kingmaker Jokowi atau Bu Mega dengan Surya Paloh sudah berakhir. Artinya mungkin kepentingan yang paling penting bagi mereka itu apakah itu ketersinggungan Mega dengan Jokowi lebih tinggi dibandingkan ketersinggungan Mega dengan Surya Paloh,” kata Arifki.

Opsi ini akan menimbulkan konsekuensi di akar rumput. Ia mengingatkan basis pemilih Anies yang mayoritas kelompok kanan layaknya air dan minyak dengan basis PDIP yang nasionalisme kiri. “Tapi namanya politik ruang itu masih terbuka, dan apakah PDIP ingin menyimpan dulu di saku ideologi sama kepentingan sektoral demi kepentingan memenangkan pemilu atau pilpres,” kata Arifki.

Sementara itu, kata Arifki, opsi kedua adalah Megawati akhirnya benar-benar bertemu dengan Jokowi. Akan tetapi, hal ini sangat sulit terjadi melihat Megawati kurang suka dengan manuver politik Jokowi setelah Gibran menjadi cawapres dari Prabowo.

Meskipun demikian, kata Arifki, potensi komunikasi Jokowi dan Megawati akan lebih memungkinkan karena basis massa pemilih PDIP dengan Prabowo-Gibran lebih dekat ke PDIP daripada ke Anies-Muhaimin.

Namun, Arifki memprediksi kondisi Megawati dengan Jokowi akan bertemu baru muncul setelah putaran pertama. “Saya rasa Bu Mega akan terus tarik ulur untuk mencari kepentingan mana yang menguntungkan apakah menunggu putaran kedua atau mungkin dari awal,” kata Arifki.

Di sisi lain, keengganan Megawati bertemu Jokowi juga tidak lepas dari keyakinan ketum PDIP itu terhadap Ganjar-Mahfud akan lolos ke putaran kedua. Oleh karena itu, dialog masih ditutup Megawati ke semua pihak maupun demi memastikan PDIP bisa lolos atau tidak di putaran kedua.

“Saya rasa ini para kingmaker, Surya Paloh, JK, Jokowi maupun Megawati lagi menimbang-nimbang apa kemungkinan yang bisa kita lakukan ketika pilpres dua putaran dan siapa yang harus dijaga dan siapa yang harus kita tinggalkan,” kata Arifki.

Kecil Kemungkinan Megawati dan Jokowi Ketemu?

Sementara itu, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, pesimistis Megawati akan mau bertemu Jokowi. Mengacu pada karakter dan gaya politik Megawati, Pangi menilai sulit Jokowi bertemu Megawati karena sudah dikhianati.

“Ibu Mega tidak semudah itu juga bertemu dengan orang yang sudah khianati secara politik yang Bu Mega sudah memutuskan untuk merekomendasikan Ganjar-Mahfud, tapi Jokowi ikut mendukung Prabowo-Gibran. Jadi kesalahan itu bagi Bu Mega menurut saya bukan sesuatu yang mudah untuk dimaafkan, apalagi ini masih dalam kontestasi bertarung, harga diri Bu Mega mau ditaruh di mana? Martabat, harga diri dan wibawanya?" kata Pangi, Selasa (23/1/2024).

Pangi mengingatkan, Megawati sudah dikhianati langsung Jokowi lewat perbedaan keputusan politik capres. Kemudian, Megawati juga ditinggalkan lantaran Jokowi terkesan membesarkan PSI lewat tangan putra bungsunya, Kaesang Pangarep.

Kedua, Pangi melihat tidak ada alasan pembenar bagi Megawati bertemu Jokowi. Ia menilai, Jokowi telah tidak menghormati Mega. Beberapa indikator antara lain sikap Jokowi yang keluar negeri saat perayaan ulang tahun partai. Kemudian, Jokowi pergi ke luar negeri saat deklarasi Ganjar-Mahfud.

“Jadi kalau Jokowi katanya Istana enggak punya niat untuk bertemu, ya sebenarnya Bu Mega dua kali enggak niat bertemu, kalau satu kali enggak niat di sana, ini dua kali niat enggak ingin ketemu juga. Saya pikir Bu Mega akan memberi pembelajaran juga, enggak semudah itu juga untuk sebuah orang yang tidak disiplin, tidak ikut garis partai,” kata Pangi.

Pangi mengatakan, politik itu memang cair, semua serba mungkin terjadi bila kepentingannya sama. “Tapi sejauh saya cermati Bu Mega enggak segitu-gitu amatlah, apalagi pengkhianatan itu pertama mengkhianati PDIP-nya, yang kedua mengkhianati Bu Mega-nya," kata Pangi.

Pangi juga tidak memungkiri perlakuan Megawati akan lebih kejam ke Jokowi daripada ke SBY. Dulu, Megawati mendiamkan SBY karena diam-diam maju sebagai capres. Jokowi mungkin akan merasakan lebih parah karena mengkhianati Megawati dan PDIP.

Pangi menambahkan, skenario pertemuan Jokowi dengan Mega juga ditafsirkan sebagai kepanikan mantan Wali Kota Solo itu dalam menghadapi pilpres putaran kedua. Saat ini, Pangi melihat Jokowi butuh dukungan PDIP untuk memenangkan putaran kedua. Jokowi juga takut pemerintahan ke depan tidak akan kuat bila tidak mendapat dukungan PDIP.

“Yang diantisipasi Jokowi toh kalau ada putaran kedua, dia ingin PDIP bersama beliau, tapi jangan lupa dia sudah menyakiti Bu Mega dan PDIP. Itu problemnya. Apa semudah itu? Tapi ideologi kita makin cair, tidak ada yang ketat banget, tapi memang persamaan ideologi pragmatis saja,” kata Pangi.

Akan tetapi, Pangi menduga, PDIP tidak akan masuk ke kubu mana pun di putaran kedua bila jagoan mereka kalah. Ia menilai, PDIP berani untuk beroposisi dengan siapa pun pemenang pilpres. Hal ini tidak lepas dengan sikap partai yang berpegang teguh dalam sikap politiknya.

“Kalau kemudian PDIP akan mengemis-ngemis masuk ke koalisi pemerintahan yang menang, saya pikir kok enggak akan seperti itu, enggak akan sama dengan partai lain. Kalau menang jadi partai penguasa, kalau kalah ya jadi oposisi. Enggak ada cerita setelah presiden terpilih, kemudian gabung ramai-ramai, ikut-ikutan gabung ke koalisi pemerintahan,” kata dia.

Jika pun PDIP merapat ke kubu AMIN setelah putaran kedua, Pangi melihat hal tersebut sebagai aksi yang luar biasa. Sebab, kedua kubu itu adalah konsolidasi nasional yang mendamaikan dua kutub politik yang berbeda, yaitu basis PDIP dan PKS.

“Itu memecahkan kebuntuan polarisasi selama ini dan itu konsolidasi yang harganya sangat mahal sekali sehingga kita tidak sibuk isu sentimen-sentimen agama, isu SARA, isu identitas," kata Pangi.

Di sisi lain, Pangi lebih mendorong agar PDIP berada di sisi kubu yang berbeda dengan Prabowo-Gibran jika paslon nomor urut 2 itu menang pilpres. Meski ada kemungkinan kubu Prabowo-Gibran menawarkan kursi menteri ke PDIP, tapi partai koalisi ini sudah gemok. Karena itu, Pangi menilai PDIP tidak mungkin bergabung bila jagoannya kalah.

“Memang PDIP partai pengemis? Seolah-olah Anda bukan partai pengusung utama, kemudian terbebani, ya terbebani PDIP, dihina-hinakan oleh koalisi yang lain, Anda enggak berjuang di putaran pertama, Anda kan mengusung Ganjar, tiba-tiba jadi menteri? Nanti enggak dianggap berjuang," kata Pangi.

Pangi mengingatkan bawah PDIP punya pengalaman panjang sebagai oposisi dan mampu bertahan di tengah parpol lain pada merapat ke pemerintahan. Hal itu bagus untuk keseimbangan di parlemen dan demokrasi.

Pangi menilai, keseimbangan pemerintahan akan kembali muncul sehingga kebijakan bermasalah seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba dan revisi UU KPK yang tidak pro-rakyat dan mengganggu pemerintahan tidak akan terjadi.

“Oposisi yang kuat menjadikan pemerintahan jadi sehat dengan check and balances yang bagus. Jadi saya inginnya pemerintahan boleh Gerindra, Prabowo, tapi oposisinya PDIP. Itu keren. Itu baru berimbang,” kata Pangi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz