Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Di Balik Permintaan Megawati Jangan Dibully Saat HUT ke-51 PDIP

Kunto menilai pernyataan Megawati merujuk pada sikap aparat saat ini. Kata bully yang dipakai Mega sebagai kiasan dari kata represi.

Di Balik Permintaan Megawati Jangan Dibully Saat HUT ke-51 PDIP
Megawati Soekarnoputri. foto/Humas PDIP

tirto.id - Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri, kembali curhat di depan publik saat menyampaikan pidato politik dalam HUT ke-51 PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (10/1/2024). Presiden RI ke-5 itu meminta publik tidak mem-bully-nya dalam setiap mengeluarkan pendapat tentang Pemilu 2024.

“Jangan saya di-bully ketika pemilu. Saya bukan nakutin itu kata kebenaran saya,” kata Megawati di hadapan Wapres Ma’ruf Amin, Capres Ganjar Pranowo, puluhan kader PDIP, dan tamu undangan.

Megawati mengklaim ia kerap di-bully saat berkampanye. Ia pun mengaku punya pengacara untuk membelanya saat di-bully netizen.

Dalam pidatonya, Megawati juga menyinggung Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk bekerja sesuai koridor. Ia tidak ingin KPU dan Bawaslu bekerja tidak benar karena melihat ada upaya penggiringan dalam pemilu.

“Saya tuh baca di jalan ada baliho, pemilu yang demokratis, di mana ya saya lihat. Jujur, adil, luber, langsung, umum, bebas. Nah, ini bebasnya dan rahasia, jadi tidak digiring lho, tolong ya," kata Megawati.

Megawati mengatakan penyelenggara pemilu lebih kuat ketika masih bernama Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Namun, semua itu mengalami perubahan ketika masuk era reformasi.

“Zaman Orde Baru, kan, LPU, menurut saya itu lebih kuat, tapi waktu reformasi itu dijadikan komisi. Saya selalu mengatakan, tapi saya kayak selalu di-bully, saya bilang komisi itu sifatnya adhoc, kan, bahwa suatu saat bisa dibubarkan, itu berulang kali saya ngomong," tutur Megawati.

Di saat yang sama, Megawati menyinggung soal pengalamannya memimpin bangsa. Ia mengaku sulit memisahkan TNI-Polri saat masih menjadi lembaga dwifungsi ABRI. Setelah pemisahan, ia mengaku langsung memberikan perlengkapan sesuai keperluan.

“Ada pendapatan untuk APBN-nya, saya belikan yang namanya peralatan dan lain sebagainya. Jangan macam-macam. Jangan saya di-bully,” tutur Megawati.

HUT ke-51 PDI Perjuangan

Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri (tengah) didampingi Ketua DPR Puan Maharani (kiri) berbincang dengan Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo (kanan) saat peringatan HUT ke-51 PDI Perjuangan di Sekolah Partai di Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (10/1/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Mengapa Megawati Di-bully?

Megawati memang kerap mengalami perundungan, terutama di media sosial terkait pernyataan atau sikap politiknya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Dalam beberapa unggahan di media sosial, sejumlah meme Megawati bahkan sempat menjadi perhatian publik.

Misalnya, meme Megawati soal disebut sebagai perempuan cantik oleh Presiden Jokowi. Megawati, yang mengenakan masker terlihat tertawa sambil memegang tangan. Bahkan, beberapa ada yang memanggil Megawati dengan istilah “Mega-Chan.”

Selain perilaku, ujaran Megawati juga kerap menjadi bahan nyinyiran publik. Terbaru, Megawati diolok-olok akibat menyindir soal peran generasi muda bagi bangsa. Meski kejadiannya sudah lama, yaitu 2020, tapi kembali diviralkan jelang Pemilu 2024.

“Apa sumbangsih kalian bagi bangsa dan negara ini. Masa hanya demo saja? Nanti saya di-bully, saya enggak peduli, hanya demo saja merusak,” kata Megawati dalam video tersebut.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai pernyataan Megawati ke publik adalah ujaran berdasarkan karakter aslinya. Mega dikenal lugas, tidak berpura-pura, blak-blakan dan tak berkompromi. Sikap Mega itulah yang menjadi bahan olok-olok publik.

“Pidatonya seringkali misal ada sindir, ada gimmick-gimmick, ada keras, menyerang, bermanuver, pidato[nya] selalu ditunggu-tunggu publik yang kemudian itu dijadikan bahan guyonan, bahan bully bagi netizen, dijadikan tambahan olok-olok,” kata Pangi, Rabu (10/1/2024).

Pangi menilai, Megawati tidak intens berbicara di publik. Akan tetapi, ujaran Megawati langsung meledak sehingga orang membicarakan PDIP. Menurut Pangi, PDIP tinggal mengelola sentimen publik yang muncul.

“Kalau Bu Mega sudah tidak banyak intens bicara di publik sehingga omongan beliau ditunggu-tunggu di publik. Sekali ngomong, tapi meledak. Orang-orang membicarakan beliau semua orang pada akhirnya membicarakan PDIP, itu kan juga bagian dari iklan gratis, bukan statement Bu Mega kemudian diambil, dipotong di video-video,” kata Pangi.

Pangi menilai, sentimen positif akan menguntungkan PDIP. Sementara itu, PDIP bisa meminta Megawati untuk berbicara ketika dianggap merugikan partai. Ia menilai, PDIP sudah beberapa kali bermain narasi seperti itu. Ia mencontohkan, PDIP sempat melawan narasi publik dalam kasus pelibatan Timnas Israel di Pilaka Dunia U-20.

Lantas, apakah omongan Megawati akan memengaruhi elektabilitas? Pangi menilai bisa saja memengaruhi elektabilitas, apalagi PDIP masih berada di peringkat teratas dalam rilis sejumlah lembaga survei. Jika omongan Mega bisa menurunkan elektabilitas, kata dia, PDIP bisa meminta Mega untuk tidak bicara.

“Kalau elektabilitas akan menurun, lebih baik Bu Mega enggak ngomong, kan nahan diri, tapi kalau kemudian elektabilitas PDIP jadi naik, sentimen positif, ya enggak apa-apa pidato tiap minggu,” kata Pangi.

HUT ke-51 PDI Perjuangan

Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri (kiri) didampingi Ketua DPP PDIP Prananda Prabowo (kanan) bersiap menyampaikan pidato politiknya saat peringatan HUT ke-51 PDI Perjuangan di Sekolah Partai di Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (10/1/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai pernyataan Megawati merujuk pada sikap kepolisian dan aparat keamanan saat ini. Kata bully yang dipakai Mega sebagai kiasan dari kata represi.

“Jadi menurut saya interpretasinya Bu Mega sedang berpesan kepada aparat keamanan dan pertahanan di Indonesia gitu untuk tidak mem-bully dirinya dan kemudian terutama di saat pemilu,” kata Kunto, Rabu (10/1/2024).

Kunto menambahkan, “Menurut saya message-nya jelas bukan ke publik, tapi lebih ke polisi dan tentara apalagi terus dilanjutkan soal anak jenderal yang nantinya kembali jadi rakyat. Jadi konteksnya masih konteks hankam. Konteks polisi dan tentara.”

Kunto menilai, Megawati sebenarnya santai di-bully publik. Ia beralasan, Megawati belum pernah menuntut lewat UU ITE akibat perundungan di media sosial. Oleh karena itu, Kunto mengapresiasi sikap Megawati yang berkomitmen terhadap demokrasi.

“Lalu kalau takut di-bully di saat pemilu, mungkin tepatnya bukan di-bully, apalagi yang melakukan polisi dan tentara, ya itu harusnya Bu Mega pakai istilah intimidasi. Yang jelas intimidasi dari aparat keamanan dan aparat negara jelas sangat berbahaya ketika pemilu apalagi ketua partai. Jelas itu sangat mengganggu jalannya demokrasi,” kata Kunto.

Kunto menambahkan, “Menurut saya ketakutan Bu Mega bukan masalah ketakutan elektabilitas, tetapi ketakutan pada terkikisnya demokrasi kalau sampai pemilu ada kejadian bully atau intimidasi itu.”

Kunto juga menilai, tidak ada relasi ujaran Megawati dengan elektabilitas. Akan tetapi, ia menekankan intimidasi atau bully bisa memengaruhi orkestrasi pemilu akibat elektabilitas. Ia pun menekankan dampak elektabilitas baru muncul secara tidak langsung.

Di sisi lain, kata Kunto, elektabilitas PDIP maupun Ganjar-Mahfud baru berpengaruh ketika direspons negatif. Hal ini tidak lepas posisi Megawati sebagai ketua umum partai. Ia mengingatkan bawa alasan masyarakat memilih partai karena ketua umum dan Megawati masuk hal itu.

“Ketika ada atribusi negatif, ada sentimen negatif terhadap Megawati, tentu saja itu akan memengaruhi cara pandang orang terhadap PDIP secara keseluruhan sehingga itu juga menjadi problem ketika Bu Mega mengeluarkan pernyataan kontroversial, lalu kemudian direspons negatif oleh publik, tentu itu juga sedikit banyak pasti akan memengaruhi elektabilitas PDIP,” kata Kunto.

Akan tetapi, kata Kunto, untuk elektabilitas Ganjar-Mahfud tidak akan berpengaruh secara langsung. “Cuma, kan, ya ada istilah petugas partai dan Pak Ganjar sendiri petugas partai yang dipimpin Bu Mega, sehingga ketika akhirnya jadi turun dua tingkat efeknya, efek lanjutan partai, lalu ke capres-cawapres,” kata Kunto.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz