tirto.id - Konflik Laut Cina Selatan menjadi salah satu isu yang diperdebatkan dalam debat ketiga Pilpres 2024 pada Minggu (7/1/2024) malam. Persoalan geopolitik ini awalnya disinggung capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, saat menjawab pertanyaan moderator yang disiapkan para penelis.
Dalam debat tersebut, Ganjar menggagas pendekatan kesepakatan sementara dalam penyelesaian masalah Laut Cina Selatan. Hal ini tidak lepas dengan sikap Cina yang akan segera menyelesaikan upaya modernisasi alat pertahanan mereka beberapa tahun ke depan.
“Kenapa kesepakatan sementara ini mesti kita dorong dan kita inisiatif? Agar kita bisa mencegah sesuatu yang tidak kita inginkan. Kita tahu persis, modernisasi peralatan di Tiongkok akan selesai di 2027, apa artinya? Kalau kita bicara one China policy, maka seluruh dunia pasti akan mengakui bagaimana peran itu,” kata Ganjar.
Ganjar mengakui, kekuatan Cina akan membuka potensi untuk berkonflik dengan negara lain. Meski Indonesia tidak berperang, tapi mantan Gubernur Jawa Tengah ini yakin Indonesia akan terdampak dari sikap Cina dalam Laut Cina Selatan.
Selain itu, Ganjar juga mendorong penguatan patroli laut di wilayah Laut Cina Selatan. Ia menilai perlu tanker terapung untuk TNI AL untuk menjaga logistik tentara tetap terpenuhi dalam beroperasi.
“Maka inilah titik-titik penting yang mesti kita dorong dan kita akan bisa membawa posisi inisiatif ini untuk membuat tadi yang sampaikan adalah kesepakatan sementara untuk menghindari potensi-potensi yang lainnya, yang lebih tinggi. Kita akan meredam dengan cara itu,” kata Ganjar.
Sementara itu, capres nomor urut 1, Anies Baswedan, yang dapat kesempatan untuk menanggapi jawaban Ganjar, lantas menilai penyelesaian masalah Laut Cina Selatan harus melibatkan ASEAN. Ia meniai, Indonesia harus menjadi pemimpin ASEAN daripada hanya hadir kegiatan seremonial dan membawa penyelesaian masalah, termasuk soal Laut Cina Selatan.
“Indonesia harus kembali menjadi pemimpin ASEAN yang dominan, bukan sekadar hadirin dalam summit-summit ASEAN. Kita menjangkau semua dan negara-negara ASEAN yang sekarang ini menjadi pintu masuk bagi kekuatan Tiongkok misalnya di Laut Cina Selatan, apakah itu Laos, apakah itu Myanmar sekarang. Itu akan menjadi bagian dari kesepakatan ASEAN terhadap wilayah Laut Cina Selatan,” kata Anies.
Anies menilai, Indonesia perlu membangun kesepakatan dengan ASEAN, menata kekuatan dan mengajak kerja sama untuk menghadapi kekuatan asing di luar ASEAN. Ia yakin menghadapi masalah Laut Cina Selatan dengan satu wilayah.
“Kita menghadapinya sebagai satu regional. Bukan sebagai Indonesia berhadapan dengan negara lain. Tapi satu region dan Indonesia memimpin ASEAN. Itu kuncinya menurut saya,” kata Anies.
Sedangkan capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, mendorong penguatan pertahanan Indonesia. Ia menilai perlu beragam alat untuk menghadapi masalah tersebut.
“Jadi keadaan Laut Cina Selatan, menggarisbawahi bahwa kita perlu kekuatan pertahanan yang kuat. Kita perlu platform untuk patroli, kita perlu satelit, kita perlu banyak sekali. Dan untuk itu, pertahanan harus kita bangun,” kata Prabowo.
Prabowo lantas menyindir Anies Baswedan soal barang bekas. Ia menilai, mantan Rektor Universitas Paramadina itu tidak paham soal isu pertahanan. Ia juga mengundang Anies untuk membahas soal alutsista, terutama soal alat bekas. Ia sebut narasi alat bekas yang disampaikan Anies telah menyesatkan publik.
“Saya akan bawa data yang sebenar-benarnya, jadi barang-barang bekas itu menurut saya menyesatkan rakyat. Itu tidak pantas seorang profesor ngomong gitu. Karena dalam pertahanan hampir 50 persen alat-alat di manapun adalah bekas. Tapi usianya masih muda,” kata Prabowo.
Ganjar pun menanggapi pandangan kedua rivalnya itu tentang isu Laut Cina Selatan. Ia menekankan bahwa pengambilan keputusan di ASEAN sulit sehingga memilih jalan kesepakatan sementara dan mendorong revitalisasi posisi ASEAN.
“Saya tidak memberikan catatan ASEAN. Saya tahu persis pengambilan keputusan di ASEAN itu rumitnya minta ampun. Karena harus dengan konsensus. Maka kenapa banyak persoalan tidak selesai. Di situlah ketika kemudian amanah diberikan kepada saya, revitalisasi ASEAN [akan dilakukan] agar kemudian pengambilan keputusannya tidak bulat,” kata Ganjar.
Ganjar mengatakan, pembicaraan Laut Cina Selatan memang bisa menggerakkan masalah ASEAN. Akan tetapi, Declaration on the Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC) dan code of conduct (COC) dalam pembahasan Laut Cina Selatan tidak kunjung selesai.
“Maka pengambilan keputusannya, proses pengambilan keputusan di ASEAN itulah yang mesti juga kita review sehingga akan bisa lebih cepat,” kata Ganjar.
Ganjar sepakat pengembangan alutsista penting dan harus menjadi prioritas. Oleh karena itu, politikus PDIP ini ingin eksistensi Indonesia di Laut Cina Selatan menguat saat menjadi presiden.
“Begitu saya menjadi presiden, kita tunjukkan kedaulatan kita, gas yang ada di Natuna Utara, harus dieksploitasi oleh kita sendiri untuk menunjukan power kita kepada dunia,” kata Ganjar.
Tawaran Solusi Siapa yang Paling Realistis?
Direktur Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas, menilai tawaran Ganjar dalam penyelesaian Laut Cina Selatan menarik untuk dikaji. Ia menilai, Ganjar telah mendorong upaya penyelesaian Laut Cina Selatan.
“Dengan penyelesaian Laut Cina Selatan, Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia yang harus berperan sentral bagaimana Indonesia bisa mengusung kesepakatan sementara, lalu juga dengan bagaimana modernisasi Cina yang bisa selesai dalam beberapa tahun mendatang termasuk juga patroli diperkuat,” kata Anton, Selasa (9/1/2024).
Akan tetapi, Anton mempertanyakan soal definisi tanker terapung yang digagas Ganjar. Ia menyoalkan penggunaan tanker terapung untuk kepentingan militer atau sipil. Ia mengingatkan, alat sipil tidak bisa untuk kepentingan militer. Namun, Anton tertarik dengan tawaran Ganjar soal revitalisasi ASEAN.
“Tawaran tentang revitalisasi ASEAN terutama untuk revisi konsensus ini merupakan perdebatan yang perlu dicermati, ketika jelas menyebutkan soal kita revitalisasi ASEAN karena bagi saya konsensus itu adalah salah satu, apa namanya, alat ikat kenapa ASEAN bisa bertahan sampai sekarang,” kata Anton.
Anton menilai gagasan Anies soal Laut Cina Selatan berbeda dengan Ganjar. Ia melihat, Anies ingin agar Indonesia menjadi leader lewat regional block.
“Sementara kalau Pak Prabowo jelas ini kemudian merepitisi apa yang dibicarakan sebelumnya bagaimana kekuatan pertahanan Indonesia itu harus diperkuat,” kata Anton.
Sementara itu, Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue sekaligus Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Pizaro Gozali Idrus, menilai bahwa ketiga capres tidak menunjukkan sikap seharusnya Indonesia dalam permasalahan Laut Cina Selatan.
“Saya enggak melihat ketiganya memention isu LCS [Laut Cina Selatan] dalam konsep yang lebih aplikatif dan menunjukkan situasi yang riil di lapangan. Ketiganya masih berbicara secara normatif,” kata Pizaro kepada Tirto, Selasa (9/1/2024).
Pizaro mengatakan, laut Indonesia sudah beberapa kali ditembus oleh kapal Cina. Nelayan Indonesia juga sempat menangkap kapal penjaga pantai (coast guard) Cina, tetapi minim respons.
“Soal kedaulatan di Laut Natuna Utara. Sudah beberapa kali laut Indonesia diterobos kapal-kapal Cina. Para nelayan setempat kerap mendapati keberadaan coast guard Cina. Namun respons Indonesia masih lemah," kata Pizaro.
Pizaro juga menyoalkan Code of Conduct antara ASEAN dan Cina yang tidak mengalami kemajuan signifikan sejak 2012. Oleh karena itu, ia mempertanyakan usul Ganjar Pranowo yang ingin membuat kesepakatan sementara.
“Kesepakatan seperti apa yang dimaksud? Publik belum melihat rincian detailnya,” kata Pizaro.
Ia juga mengatakan, Prabowo lebih meniru gaya Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, dalam kampanye. Namun, ia bingung karena Prabowo tidak meniru kebijakan asertif yang dilakukan Marcos.
“Mengapa Prabowo tidak sekalian meniru kebijakan assertive transparency Filipina dalam menghadapi kapal-kapal Cina yang mengkesploitasi besar-besaran pelanggaran yang dilakukan kapal-kapal Beijing?" kata Pizaro.
Ia menilai, sikap Prabowo yang tidak berubah, tidak lepas dari ketergantungan Indonesia kepada Cina di bidang ekonomi dan infrastruktur. Hal itu juga yang memicu hambatan dalam isu demokratisasi Myanmar akibat besarnya pengaruh Cina.
“Di sini pernyataan Ganjar relevan karena kompleksnya persoalan di ASEAN untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya di wilayahnya sendiri,” kata Pizaro.
Pizaro juga menyoroti sikap Indonesia saat ini yang belum menanggapi peta baru Cina pada 2023. Isi peta, dalam kacamata Pizaro, menandakan Cina semakin agresif di Laut Cina Selatan. Sebagai catatan, peta baru Cina yang diserahkan kepada PBB tentang Laut Cina Selatan sudah berubah dari 9 garis putus-putus menjadi 10 garis putus-putus.
Mengutip data Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI, Ten-Dash Line yang berbentuk huruf U tersebut menunjukkan Cina seolah telah memperluas klaimnya atas wilayah geografis di Laut China Selatan yang diperkirakan hingga 90 persen. Angka ini melingkar sebesar 1500 kilometer di selatan Pulau Hainan, memotong Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia, dekat Sabah dan Sarawak, lalu Brunei, Filipina, Vietnam, hingga ke wilayah perairan Indonesia.
Oleh karena itu, Pizaro mendorong agar pemerintah Indonesia berani dan lebih tegas pada Cina dalam menghadapi sikap agresif Cina lewat patroli kedaulatan laut di Natuna.
“Pemerintah Indonesia perlu mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran ini dan menyebarkannya secara besar-besaran. Ini akan menjadi pesan bagi Beijing bahwa Indonesia tegas dalam visi kedaulatan maritim. Bukankah itu juga yang ditunjukkan Pak Jokowi dalam visi Indonesia Poros Maritim Dunia-nya?" kata Pizaro.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz