tirto.id - Permasalahan kerahasiaan negara menjadi perbincangan publik setelah Anies Baswedan dan Prabowo Subianto saling serang soal pembelian alutsista dan kebijakan pertahanan. Hal ini terjadi dalam debat ketiga Pilpres 2024 yang membahas isu pertahanan, keamanan, hubungan internasional, geopolitik, politik luar negeri, dan globalisasi.
Mulanya, Prabowo menyinggung soal sikap cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, yang bilang tidak perlu beli alat perang, tetapi Anies sebagai pasangan Muhaimin justru mendukung peningkatan postur anggaran pertahanan 1-2 persen. Prabowo juga klaim data yang dilempar para capres dalam debat keliru.
“Sekali lagi data-data yang bapak pegang adalah keliru, dan juga tadi Pak Ganjar juga banyak kelirunya. Saya sangat transparan. Dan partai semua, partai yang mengusung bapak, mendukung APBN, berarti mendukung program saya, termasuk PDIP, di Komisi I [DPR RI]” kata Prabowo dalam debat ketiga di Istora Senayan pada Minggu (7/1/2024) malam.
Anies lantas menjawab pernyataan Prabowo itu dengan menilai permasalahan pertahanan harus diselesaikan lewat pendekatan berbasis ancaman, seperti penipuan onliine, batas teritorial hingga peretasan. Anies menyindir bahwa penyelesaian bukan dengan pembelian alutsista.
“Itu semua membutuhkan perhatian. Jadi bukan memutuskan untuk belanja alutsista berdasarkan selera dan berdasarkan preferensi masa lalu. Tapi justru harus mencerminkan kebutuhan masa depan. Inilah yang menurut kami penting, ya anggarannya perlu kita tingkatkan, tapi jangan keliru ancamannya juga mengalami pergeseran,” kata Anies.
Anies mengklaim bahwa kebijakan tidak boleh dibuat tertutup. “Ini bukan soal pribadi, ini soal negara, ini soal policy, penjelasannya ya di tempat ini, bukan di ruang-ruang tertutup yang tidak diketahui oleh publik,” kata Anies.
Anies menambahkan jika data yang disebutkan dia salah, maka semestinya Prabowo tunjukkan data yang benar saat debat berlangsung agar publik mengetahui. “Bukan dalam pertemuan-pertemuan lain yang tidak jelas, dari mana kita bisa menilai akurasinya,” kata Anies kepada Prabowo.
Menurut Anies, jika Prabowo tidak bisa menunjukkan datanya, maka apa yang dia dan Ganjar sampaikan adalah fakta yang benar. “Itulah kenyataan yang ada di lapangan,” kata Anies.
Prabowo pun membalas dengan menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan perbincangan tertutup, melainkan dengan Komisi I DPR. Ia juga mengatakan partai pendukung Anies yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan, seperti Nasdem, PKB, dan PKS, ikut serta menyetujui.
“Pak Anies, Pak Anies. Saya tidak bicara tertutup, saya bicara di Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi 1, di mana semua partai yang mengusung bapak hadir dan menyetujui yang saya ajukan,” kata Prabowo.
Prabowo sebut tidak ada waktu dalam debat untuk menjelaskan secara detail. Akan tetapi, mantan Danjen Kopassus itu mengingatkan bahwa permasalahan kekurangan pertahanan tidak etis dibuka ke publik dan sebaiknya dibicarakan di DPR bersama partai yang hadir.
“Masak kita mau buka semua kekurangan kita, semua masalah kita, kita buka di depan umum. Apakah itu pantas? Di negara yang baik, di negara maju, masalah rahasia ada. Jadi bohong, saya tidak minta tertutup, Komisi I DPR terbuka. Semua partai ikut,” kata Prabowo.
Akan tetapi, Anies bersikukuh bahwa tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. Ia 'ngegas' soal kepemilikan lahan Prabowo seluas 340 ribu hektar, sementara separuh prajurit TNI tidak punya rumah. Ia juga menagih bukti kerja Prabowo sebagai menhan.
“Ketika tadi bapak mengatakan, bapak akan meningkatkan kesejahteraan, pak, bapak ini sudah menhan selama 4-5 tahun, hampir 5 tahun. Bukan calon menhan. Jadi seharusnya menunjukkan inilah yang sudah saya kerjakan, bukan mengatakan apa yang akan dilakukan,” tutur Anies.
Ada Rahasia Negara yang Tidak Bisa Dibuka
Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz, bersyukur Prabowo tidak membuka data pertahanan Indonesia dalam debat. Ia menilai, Prabowo sudah bersikap kenegarawanan meski dicecar lawan debatnya. Ia menilai, pihak yang meminta Prabowo membuka data pertahanan secara terbuka adalah mereka yang tidak memahami risiko keterbukaan data pertahanan untuk kepentingan kedaulatan negara.
“Data pertahanan tidak bisa sembarangan dibuka. Sifatnya rahasia negara, confidential, hanya bisa dibuka di kalangan tertentu,” kata Meutya yang juga bagian dari TKN Prabowo-Gibran dalam keterangan, Senin (8/1/2024).
Meutya menilai, capres yang mendorong pembukaan data pertahanan tidak paham risiko pengelolaan data pertahanan, apalagi debat ditonton publik. Ia khawatir upaya membahas data pertahanan sama dengan membuka rahasia pertahanan negara. Ia sebut para capres sebaiknya menggunakan debat untuk kepentingan kedaulatan bangsa.
“Memanfaatkan data pertahanan yang sifatnya rahasia untuk menyudutkan lawan politik mestinya tidak terjadi. Negara lain sangat berkepentingan terhadap isu pertahanan ini,” kata politikus Partai Golkar ini.
Meutya juga mengajak publik untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin di masa depan karena kedaulatan negara dipertaruhkan.
“Kondisi geopolitik dunia sangat rentan. Sangat mungkin berdampak kepada kita. Untuk itu, kita butuh pemimpin kuat yang bisa menjamin kedaulatan negara untuk membawa kita menghadapi tantangan dunia,” kata dia.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS, Sukamta, menyebut isi rapat Kementerian Pertahanan tidak perlu ditutup. Hal itu berdasarkan pengalaman dia di Komisi I sejak 2014.
“Soal rahasia pertahanan, saya itu di Komisi I sejak 2014, di Komisi I sebelum Pak Prabowo jadi menhan, saya tahu suasana rapat, kapan tertutup, kapan terbuka, kalau kita lihat kebanyakan suasana tertutup, tapi isinya sebetulnya enggak perlu tertutup-tertutup amat sebetulnya,” kata Sukamta dalam keterangan kepada Tirto, Senin (8/1/2024).
Sukamta mencontohkan anggaran pertahanan yang dibahas bersifat gelondongan. Ia sebut anggaran Kementerian Pertahanan Rp18 triliun, Mabes TNI Rp10 triliun, anggaran matra sekian. Alhasil, total anggaran pertahanan mencapai Rp137 triliun.
“Jadi gelondongan banget itu bukan rahasia menurut saya, rakyat berhak tahu,” kata Sukamta yang juga Jubir Timnas AMIN.
Sedangkan bicara soal alutsista, Sukamta justru menyebut informasi majalah pertahanan sudah membuka rahasia. Ia juga menyebut angka akurasi informasi alutsista di majalah pertahanan tembus 90 persen.
“Kalau soal postur pertahanan alat-alat pertahanan, mana sih yang ada rahasia sekarang? Majalah-majalah pertahanan itu memblejeti kemampuan dan alutsista setiap negara itu dengan akurasi mungkin 90 persen, itu mestinya tidak perlu menjadi argumentasi untuk tidak menjawab pertanyaan,” kata dia.
Ada Data yang Harus Dikecualikan?
Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi, sepakat tidak semua data harus dibuka dalam masalah data pertahanan negara. Ia menilai transparansi tidak sepenuhnya bisa dilakukan, tetapi tetap menekankan akuntabilitas.
“Harus diakui bahwa transparansi memang tidak bisa dijamin sepenuhnya, tapi itu tentu bukan berarti kita bisa mengabaikan akuntabilitas,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Senin (8/1/2024).
Ia mencontohkan alutsista TNI saat ini dalam kondisi yang tidak siap tempur. Kalau mau diakui, Fahmi menilai kondisi alutsita kita ini cukup memprihatinkan. Ia mengatakan hampir 50 persen dari alutsista yang Indonesia miliki itu tidak hanya tua, tetapi juga usang.
“Nah, rincian menyangkut hal ini tentunya tidak bisa sepenuhnya dipublikasikan. Tapi ketimbang menyebutnya sebagai informasi yang dirahasiakan, saya lebih suka menyebutnya sebagai informasi yang dikecualikan. Karena jika dipublikasikan secara utuh, hal itu berpotensi meningkatkan kerentanan dan risiko bagi pertahanan Indonesia, khususnya ketika dihadapkan pada potensi ancaman geopolitik. Informasi yang dikecualikan ini mengacu pada UU Keterbukaan Informasi Publik,” kata Fahmi.
Fahmi menekankan, kerahasiaan atau pengecualian informasi itu tidak serta-merta tidak bisa diakses sama sekali. Pada ruang dan waktu yang tepat, informasi itu tentu saja bisa dibuka seperti dalam rapat-rapat di Komisi I DPR. Rapat itu dihadiri oleh para pembuat kebijakan, pengguna anggaran, dan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi budgeting dan pengawasan DPR.
Menurut Fahmi, hal itu hanya perlu pemahaman bersama dan sosialisasi saja, terkait jenis-jenis informasi yang dikecualikan maupun siapa saja pihak yang bisa mengakses dan bagaimana prosedurnya.
“Pertanyaan saya, jika semua mengeluhkan soal ketertutupan dan kerahasiaan, lantas dari mana asalnya berbagai data yang menjadi rujukan para capres itu? Sumber terbuka atau tertutup? Sah atau tidak sah?” kata Fahmi.
Komisi Informasi Pusat (KIP) ikut menjawab soal polemik kerahasiaan informasi. Wakil Ketua KIP, Arya Sandhiyudha, menegaskan bahwa ada pasal dalam undang-undang yang menyatakan bahwa beberapa informasi dikecualikan dalam pertahanan dan keamanan negara.
“Kita lepas dulu dari pernyataan dan interpretasi atas pernyataan antara calon presiden dalam debat tersebut. Jadi saya hanya akan menyebutkan pasal dan ayat terkait informasi yang dikecualikan terkait pertahanan dan keamanan negara. Silakan nanti masing-masing calon presiden dan pakar keterbukaan informasi publik yang ada di setiap tim berdiskusi tentang substansi yang dimaksud dalam debat,” kata Arya dalam keterangan, Senin (8/1/2024).
Arya mengatakan, UU Nomor 14 tahun 2014 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjelaskan adanya beberapa hal yang terkategori “Kepentingan Negara” itu masuk informasi yang dikecualikan, yakni Pasal 17 huruf a, c, d, f, dan i, bisnis (Pasal 17 huruf b, d, dan e), dan pribadi (Pasal 17 huruf g dan h). Arya menekankan UU 14/2014 menjadi dasar kedaulatan rakyat atas informasi.
“Jadi UU ini pedoman hukum kedaulatan rakyat atas informasi masyarakat yang telah menggariskan bahwa ada beberapa informasi yang wajib dijaga dan dilindungi, pedoman hukum ini hadir untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak masyarakat atas informasi, sekaligus jaminan agar keterbukaan tidak merugikan,” tegas Arya.
Arya juga mengatakan, permasalahan pertahanan dan keamanan negara diatur di Bab V tentang informasi yang dikecualikan sesuai Pasal 17 huruf c. Setidaknya ada 7 informasi yang dianggap membahayakan pertahanan dan keamanan ketika dimohonkan publik.
Arya menilai para capres dan tim sukses bisa menjelaskan jika tema informasi yang disampaikan masing-masing calon, baik yang mempertanyakan klarifikasi secara terbuka, maupun yang menyebut penjelasan tidak dapat terbuka dan harus dirahasiakan, mereka dapat mengacu pada UU ini.
“Kami mempercayakan pada setiap calon presiden beserta personil timnya yang menekuni tema UU Keterbukaan Informasi Publik dapat menjadikannya pedoman soal hak masyarakat dan publik atas informasi terkait,” kata Arya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz