tirto.id - Presiden Joko Widodo atau Jokowi dipastikan tidak hadir pada HUT ke-51 PDIP yang digelar di Sekolah Partai DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (10/1/2024). Ini merupakan pertama kalinya Jokowi absen dalam agenda penting partai berlambang banteng ini sejak dilantik jadi presiden pada Oktober 2014.
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, memastikan Jokowi tidak hadir HUT PDIP karena sedang kunjungan kerja ke luar negeri. “Presiden sudah ada rencana kunjungan kenegaraan ke tiga negara, yaitu Filipina, Vietnam dan Brunei dari 9 sampai 14 Januari,” kata Ari saat ditemui dim kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (9/1/2024).
Selain itu, kata Ari, Jokowi belum menerima undangan melalui Kementerian Sekretariat Negara. Sementara kunjungan kerja Jokowi ke luar negeri sudah direncanakan sejak beberapa bulan lalu. Menurut dia, Kementerian Luar Negeri sudah berkomunikasi dalam kunjungan kerja kali ini.
Ari juga mengaku belum ada permintaan dari PDIP untuk greetings secara daring. Namun, ia mengklaim hubungan Jokowi dengan PDIP masih baik.
Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, sebelumnya memastikan hanya 51 orang yang hadir dalam HUT PDIP ke-51. Ia juga mengatakan, perayaan dilakukan di sekolah partai sebagai bentuk otokritik dan pengingat bagi kader di internal.
Di sisi lain, Hasto menyampaikan pihaknya tidak mengundang Presiden Jokowi. Sebab, kata Hasto, PDIP memahami kesibukan Jokowi yang sedang bertugas ke Filipina di hari yang sama dengan HUT ke-51 PDIP.
“Tugas kenegaraan untuk kepentingan bangsa dan negara. Untuk kepentingan rakyat, partai juga berjuang untuk kepentingan rakyat,” kata Hasto, Senin (8/1/2024).
Namun secara politik, publik tetap membaca absennya Jokowi ini dikaitkan dengan tidak harmonisnya hubungan Jokowi dan Megawati Soekarnoputri serta PDIP. Sebab, hubungan Jokowi dan PDIP “memanas” sejak Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, maju sebagai cawapres dari Prabowo Subianto. Sementara PDIP pada Pilpres 2024 mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Di sisi lain, sejumlah analis politik bahkan mengaitkan ketidakharmonisan Jokowi dan Megawati tersebut dengan elektabilitas PDIP dan Ganjar-Mahfud yang anjlok. Hal ini dapat dilihat dari data yang dirilis sejumlah lembaga survei dalam dua bulan terakhir.
Survei Median periode 23 Desember 2023-1 Januari 2024 yang melibatkan 1.500 responden dengan angka margin of error 2,53 persen, PDIP masih di peringkat pertama dengan angka 20,8 persen. Namun, jaraknya tidak jauh dari Partai Gerindra di posisi kedua dengan angka 20,1 persen. Sementara partai lain, Golkar 8,5 persen, PKB 8 persen, dan Nasdem 7,6 persen.
Meski PDIP masih di puncak, tapi secara tren elektabilitas, PDIP angkanya turun. Berdasarkan data November 2023, parpol yang masuk lima besar secara berturut-turut, antara lain: PDIP 24,2 persen, Gerindra 22,3 persen, Golkar 9,8 persen, Nasdem 8,3 persen, dan PKB 6,7 persen.
Lalu, bagaimana dengan pasangan capres-cawapres yang diusung PDIP? Berdasarkan data Median, elektabilitas Ganjar-Mahfud tertinggal dari dua rivalnya. Pasangan Prabowo-Gibran misalnya mencapai 43,1 persen, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di angka 26,8 persen, sedangkan Ganjar-Mahfud hanya 20,1 persen atau hampir mirip dengan perolehan PDIP.
Data yang hampir mirip juga dirilis Indikator Politik Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang melibatkan 1.217 responden yang digelar periode 23-24 Desember dengan margin of error 2,9 persen, elektabilitas Prabowo-Gibran berada di peringkat pertama dengan 46,7 persen.
Sedangkan pasangan Ganjar-Mahfud naik dari 23,8 persen menjadi 24,5 persen. Sementara di posisi buncit adalah pasangan Anies-Muhaimin dari angka 22,3 persen menjadi 21 persen.
Berdasarkan data Indikator, meski Ganjar-Mahfud hanya di urutan kedua, tapi elektabilitas PDIP masih berada di urutan teratas dengan angka 19,1 persen. Disusul Gerindra di angka 18,2 persen. Lalu, secara berturut-turut, yaitu: Golkar 9,3 persen, PKB 7,8 persen, Nasdem 6,2 persen, PKS 6 persen, PAN 4,5 persen, Demokrat 4,4 persen, PPP 2,8 persen, dan PSI 2,4 persen.
Mengapa PDIP Masih di Puncak, tapi Ganjar-Mahfud Anjlok?
Analis politik dari Ipsos Public Affairs, Arif Nurul Imam, mengakui PDIP masih tetap perkasa, tetapi tren suara PDIP memang mengalami penurunan. Ia menduga, hal ini tidak lepas dari Ganjar-Mahfud sebagai pasangan yang diusung PDIP belum memberikan efek electoral bagi partai.
“Sementara di sisi lain, Partai Gerindra punya capres yang notabene ketua umum Partai Gerindra sehingga membawa efek ekor jas pada Gerindra yang cenderung naik,” kata Imam kepada reporter Tirto, Selasa (9/1/2024).
Imam juga menilai, Jokowi effect sebagai presiden yang notabene masih kader tidak dirasakan PDIP, melainkan cendrung ke Prabowo-Gibran. Alhasil, suara PDIP tidak mengalami peningkatan tren elektabilitas dan membuat pasangan Prabowo-Gibran bisa mendapat efek elektoral.
“Kalau lihat data survei, tren elektabilitas PDIP dan Gerindra itu bersaing, berkejar-kejaran, kadang ada yang unggul Gerindra, kadang PDIP, tetapi dalam koridor margin of error sehingga bisa saja PDIP menang atau bisa saja Gerindra yang akan menang,” kata Imam.
Imam juga menilai, tren elektabilitas Ganjar-Mahfud terus menurun lantaran basis suara mereka rerata adalah pendukung Jokowi. Suara dukungan paslon nomor urut 3 ini menurun akibat sikap Jokowi yang lebih berpihak ke Prabowo-Gibran.
“Ketika Jokowi arah dukungannya semakin jelas ke Prabowo-Gibran, maka pendukung Jokowi di 2019 makin menggumpal ke Prabowo-Gibran," kata Imam.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai suara PDIP kali ini adalah bentuk suara asli partai besutan Megawati Soekarnoputri itu. Ia mengingatkan, suara PDIP di 2009 atau saat masih menjadi oposisi memang sudah tinggi dan Jokowi menambah suara sedikit, sekitar 4-6 persen pada 2014 dan di 2019.
“Memang suara aslinya PDIP itu ya sekitar 14-an persen sampai 16 pesen dan itu menjelaskan kenapa PDIP memang masih perkasa di pileg karena memang itu suara aslinya PDIP, Pak Jokowi nambahin sekitar 4 persenan,” kata kepada reporter Tirto.
Kunto juga melihat PDIP tidak perlu mengandalkan Jokowi effect untuk menang pileg. Sebab, kata dia, akar rumput PDIP masih cukup kuat. Hal itu tidak lepas dari kondisi pemilih PDIP di Jawa Tengah, Bali maupun daerah kantong lainnya yang sangat loyal.
Pada Pemilu 2014 dan 2019, kata Kunto, Jokowi membawa dampak elektabilitas karena didukung pihak di luar partai, mulai dari aktivis, LSM, akademisi maupun relawan. Saat ini, kata Kunto, Ganjar juga masih didukung para aktivis dan relawan, tapi tidak semasif dua pemilu sebelumnya.
Karena itu, Kunto yakin, suara PDIP di Pileg 2024 tidak akan jauh dari angka 16-18 persen, sementara Ganjar-Mahfud akan membawa suara di atas 20 persenan. Namun, ia menekankan, suara pileg akan berbeda dengan pilpres.
Hal ini terjadi karena publik melihat kesamaan antara satu partai dengan partai lain. Oleh karena itu, surat perintah PDIP, agar suara Ganjar-Mahfud minimal setara dengan perolehan caleg PDIP di TPS, menjadi penting agar suara pilpres dan pileg selaras, sama-sama tinggi.
Lantas, apakah partai akan fokus pada pemenangan pileg daripada pilpres? Hal itu bergantung pada situasi di lapangan, kata Kunto. Ia yakin partai ingin menang pileg dan pilpres, tetapi caleg punya pandangan sendiri. Para caleg akan mencari cara untuk memenangkan diri mereka supaya masuk parlemen.
“Saya pikir tidak ada partai yang mau hanya fokus ke pileg, tapi kalau cari caleg-calegnya mungkin iya karena mereka punya kepentingan untuk bisa lolos ke DPR atau lolos ke legislatif, dan mereka bisa jadi lebih egoistik,” kata Kunto.
Akan tetapi, kata Kunto, struktur partai akan tetap berjuang memenangkan pileg maupun pilpres. Kecuali, kata Kunto, di daerah-daerah yang memang resistensi terhadap capres yang diusungnya cukup tinggi.
“Nah, itu mungkin mereka akan berstrategi supaya tidak terlalu terasosiasikan, tetapi tetap membuat bentuk-bentuk kampanye yang terpisah antara caleg atau antara partai dengan antara capresnya, sehingga asosiasinya tidak terlalu kuat dan masih punya peluang untuk mendapatkan suara lebih besar di pilegnya,” tutur Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz