tirto.id - “Di balik payung hitam ini // Di balik awan hitam nanti // Selama masih bermatahari // Hitam kan menagih janji.” – potongan lagu ‘Kamis’ dari FSTVLST.
Puluhan payung hitam terbuka di kolong senja Jakarta Pusat, Kamis (18/1/2024) sore, tepat di seberang Istana Negara. Gerimis berderai membasahi kepalan tangan dan orang-orang berbaju hitam di Aksi Kamisan. Genap 17 tahun dan 802 aksi dilakoni, solidaritas warga sipil menuntut keadilan negara atas impunitas dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat belum berhenti.
Aksi Kamisan dimulai pertama kali pada 18 Januari 2007. Digagas oleh tiga perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM berat, yaitu Maria Katarina Sumarsih, orangtua dari Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa korban Peristiwa Semanggi I November 1998. Dua lainnya yakni Suciwati, istri mendiang pejuang HAM, Munir Said Thalib, serta Bedjo Untung perwakilan dari keluarga korban yang diduga PKI pada 1965-1966.
Dalam perjalanannya, Aksi Kamisan tidak sebatas menuntut keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diakui Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, juga menyuarakan dugaan pelanggaran HAM berat yang masih buram, seperti kasus Tanjung Priok dan Tragedi Kanjuruhan, Malang.
Juga atas dugaan pelanggaran HAM lain yang nahasnya, masih terus terjadi pada warga sipil hingga saat ini, seperti konflik agraria di Rempang, Pakel, Wadas, hingga Rembang. Berbagi api semangat hingga tersebar pada 50 titik kota dan kabupaten –dari Bandung hingga Samarinda– Aksi Kamisan menjadi semacam lonceng bahwa warga sipil menolak bungkam atas impunitas yang dipelihara menahun oleh negara.
Ditemui di sela peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyatakan bahwa aksi ini adalah bentuk forum berbagi semangat dan jiwa untuk menuntut keadilan. Bentuk solidaritas warga sipil menuntut pemulihan dan keterbukaan negara dalam menangani kejahatan HAM masa lalu dan saat ini.
“Yang pelakunya masih dapat impunitas, bahkan karier di ring satu (pemerintah),” kata Isnur kepada reporter Tirto di lokasi Aksi Kamisan.
Aksi Kamisan, kata Isnur, adalah saksi bahwa para terduga pelanggaran HAM terus hidup dan berkembang di negara ini tanpa diadili. Di sisi lain, aksi ini juga menunjukan bahwa warga tidak takut dan terus bergerak konsisten menunjukan kekuatan solidaritas dengan terus berlipat ganda.
“Bukan hanya di sini (Jakarta), tapi di 50 kota yang menandakan bahwa ketika kita bergerak atau berjuang itu kita tidak sendirian, terus ada dan berlipat ganda,” terang dia.
Isnur bercerita, Aksi Kamisan merupakan bentuk keteguhan keluarga korban pelanggaran HAM berat untuk terus menuntut keadilan bagi anggota keluarga mereka yang hilang dan tewas terbunuh. Mereka terus melakukan aksi meski yang hadir cuma hitungan jari, melakukan aksi daring kala dilanda pandemi, bahkan terus berdiri saat hari-hari besar seperti Nataru dan Idulfitri.
“Sebetulnya ngajarin kita dan ke anak-anak muda bahwa sebenarnya semangat tidak boleh padam. Anak muda tidak boleh patah semangat, ngeluh, jangan hanya rebahan, jangan diam,” ujar Isnur.
Tuntutan Keluarga Korban
Memakai kaos bergambar sosok Wawan, anak kesayangannya yang menjadi korban Peristiwa Semanggi I, Sumarsih tidak juga lelah melayani peserta aksi yang menyalami dan mengajak berfoto. Wanita berusia 71 tahun itu terus berbagi pandangan dan semangat untuk tidak diam saat keadilan belum lagi terwujudkan.
“Kami menolak penyelesaian (pelanggaran HAM berat) secara non-yudisial. Masih ada peluang bagi kami keluarga korban agar di ujung pemerintahan Jokowi memberikan ke Jaksa Agung melaksanakan pengadilan HAM,” ujar Sumarsih kepada wartawan di sela peringatan Aksi 17 Tahun Kamisan.
Presiden Jokowi sendiri sudah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, kerusuhan Mei 1998, Semanggi I-II 1998-1999, dan kasus-kasus lainnya.
Sudah dibentuk pula Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM). Namun, keluarga korban menuntut pemerintah memberikan keadilan secara penuh dengan menyeret para aktor-aktor negara di balik peristiwa-peristiwa tersebut ke meja hijau.
“Kalau tidak ada Aksi Kamisan, tidak mungkin mereka membentuk Tim Penyelesaian HAM Berat Masa Lalu. Tapi akhirnya Presiden Jokowi mengingkari janji akan melakukan penyelesaian HAM berat masa lalu, kenyataanya tidak,” tutur Sumarsih.
Sumarsih menegaskan, 17 tahun keluarga korban berdiri menuntut keadilan dari negara dengan cara melawan lupa dan menolak impunitas. Aksi Kamisan, kata dia, tidak sia-sia karena terbukti konsistensi dan solidaritas warga dapat mendesak pemerintah mengakui adanya pelanggaran HAM berat.
Seiring momen Pemilu 2024, Sumarsih meminta pemilih dapat bijak mengorek rekam jejak para kandidat yang berlaga dalam kontes elektoral. Dia menuntut agar pemimpin negeri ini selanjutnya harus dapat menyelesaiakan keadilan yang belum lengkap bagi para keluarga korban pelanggaran HAM.
“Siapa pun yang menjadi presiden kalau dia cinta Indonesia, ia seorang yang berbakti pada nusa bangsa, harus menyelesaikan pelanggaran HAM berat sebagai jaminan di masa depan tidak terjadi berulang,” ujar Sumarsih.
Sementara itu, dalam orasinya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa kejahatan yang dilawan dalam Aksi Kamisan tidak bisa diputihkan. Sebab, bentuknya merupakan kejahatan luar biasa yang dalam hukum Internasional tidak bisa diberikan amnesti dan pengampunan.
“Hukum internasional menegaskan, untuk kejahatan penculikan, penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum, perkosaan, dan berbagai kejadian luar biasa di zaman Orde Baru, tidak bsa diputihkan di negara manapun,” kata Usman di lokasi.
Para terduga pelaku pelanggaran HAM berat, kata Usman, tidak bisa bersembunyi dengan dalih hanya menjalankan tugas atasan. Dalam hukum Internasional, menurut dia hal itu hanya berlaku bagi kejahatan biasa, bukan pada kasus pelanggaran HAM berat.
“Untuk kejahatan luar biasa tidak mengenal double jeopardy. Meski telah ada pengadilan yang membebaskan pelaku-pelaku, itu tidak bisa bebas di pengadilan masa depan,” tegas Usman.
Jangan Sekadar Janji
Istri mendiang pejuang HAM Munir Said Thalib, Suciwati, menyampaikan Aksi Kamisan yang sudah genap 17 tahun juga menandakan suatu ironi. Kondisi ini memprihatinkan karena kasus-kasus pelanggaran HAM belum banyak dituntaskan dalam pengadilan.
“Karena, kasus-kasus kami belum sama sekali dibawa ke pengadilan. Dan kalaupun ada, selalu dikalahkan,” ujar Suciwati di lokasi.
Dia menilai janji penyelesaian pelanggaran HAM berat kerap hanya menjadi manis bibir pada kontestan pilpres. Kenyataannya, saat telah terpilih mereka melupakan janji kepada keluarga korban untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
“Kita hanya dipakai oleh siapa pun capres dan kemudian jadi presiden, lalu mengkhianati janji-janji mereka sendiri. Itu yang terjadi hari ini,” kata Suciwati.
Mirisnya, seiring tahun politik saat ini, gencar juga kabar miring dengan tudingan bahwa Aksi Kamisan hanya digunakan sebagai alat politik lima tahunan. Tuduhan ini jelas tidak beralasan dan mengingkari kemanusian serta konsistensi keluarga korban menuntut keadilan selama 17 tahun di seberang Istana.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul “Payung Hitam untuk Republik,” menegaskan selama keadilan tak tuntas, Aksi Kamisan akan terus ada.
Bivitri menilai, Aksi Kamisan lebih dari sekadar demonstrasi soal pelanggaran HAM. Dia menjelma pendidikan politik tentang civic virtue (nilai-nilai keutamaan wargawi), “dengan langsung mempraktikkan kegiatan warga dalam membela kebebasan dan hak-haknya.”
Aksi Kamisan menjelma sikap politik warga sipil yang tidak tereduksi menjadi sekadar urusan coblos-mencoblos kandidat elektoral lima tahunan. Sudah 17 tahun warga sipil mengangkat kepalan tangan di angkasa. Sudah 17 tahun doa-doa mengudara. Sudah 17 tahun harapan dan ingatan dirawat keluarga korban untuk menjadi alarm bagi penguasa.
Pernyataan Suciwati di sela peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan membawa getir dan menelanjangi kondisi negeri ini. Kamis sore di seberang Istana Negara, orang-orang datang dan pergi. Aksi Kamisan akan terus ada, dan berlipat ganda.
“Kami tetap ada (di sini), karena selalu dikhianati,” ujar Suciwati.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz