tirto.id - Sumarsih termasuk seorang pegiat Aksi Kamisan. Gerakan ini rutin diselenggarakan di depan Istana Negara sejak 18 Januari 2007.
Pada Aksi Kamisan ke-805, Sumarsih adalah salah satu tokoh yang tampil dalam aksi treatikal di seberang Istana Merdeka, Jakarta, hari Kamis, (15/2/2024).
Ia mengenakan baju berwarna serba hitam dan berada di tengah-tengah kerumunan massa. Sumarsih tampak membawa payung yang juga berwarna hitam sembari mengangkat kartu merah.
Di lain sisi, peserta lainnya turut mengenakan baju hitam namun mengangkat kartu kuning. Aksi ini menyoroti isu praktik kotor selama pelaksanaan Pemilu 2024 hingga dianggap melemahkan demokrasi lewat manipulasi hukum dan penyalahgunaan kekuasaan.
Profil Sumarsih: Ibu Korban Semanggi I 1998
Sumarsih memiliki nama lengkap Maria Catarina Sumarsih. Ia lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 5 Mei 1952.
Perempuan yang sekarang sudah berusia 71 tahun itu merupakan ibu kandung Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan.
Wawan adalah salah seorang mahasiswa Atma Jaya yang menjadi korban meninggal dalam peristiwa Semanggi I (11-13 November 1998).
Bersama Suciwati (istri mendiang pegiat HAM, Munir) dan Bedjo Untung (keluarga korban yang diduga PKI pada 1965-1966), mereka secara rutin menggelar Aksi Kamisan sejak 18 Januari 2007.
Pada Kamis (18/1/2024) atau edisi yang ke-802, Aksi Kamisan sudah genap 17 tahun. Sumarsih beserta kolega menggelar aksi rutinan di seberang Istana Negara.
Ia menggunakan kaos bergambar Wawan dan tetap semangat menuntut keadilan atas meninggalnya putra kesayangan dalam tragedi Semanggi I.
"Kami menolak penyelesaian (pelanggaran HAM berat) secara non-yudisial. Masih ada peluang bagi kami keluarga korban agar di ujung pemerintahan Jokowi memberikan ke Jaksa Agung melaksanakan pengadilan HAM," tegas Sumarsih.
Kasus Semanggi I termasuk salah satu dari 12 pelanggaraan HAM berat yang diakui pemerintahan Presiden Jokowi selain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, kerusuhan Mei 1998, dan Semanggi II 1998-1999.
"Kalau tidak ada Aksi Kamisan, tidak mungkin mereka membentuk Tim Penyelesaian HAM Berat Masa Lalu. Tapi akhirnya Presiden Jokowi mengingkari janji akan melakukan penyelesaian HAM berat masa lalu, kenyataanya tidak," ucap aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan itu.
Terkait hasil Pemilu 2024, ia berharap Presiden yang terpilih nantinya dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi dan memastikan tidak terulang kembali.
"Siapa pun yang menjadi presiden kalau dia cinta Indonesia, ia seorang yang berbakti pada nusa bangsa, harus menyelesaikan pelanggaran HAM berat sebagai jaminan di masa depan tidak terjadi berulang," lanjut Sumarsih.
Pada 2004 silam, Maria Catarina Sumarsih pernah dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien Award ke-14 atas perjuanganya dalam upaya menegakkan HAM.
Dewan juri Yap Thiam Hien Award termasuk Asmara Nababan, Todung Mulya lubis, Harkristuti Harkrisnowo, Soetandyo Wignjosoebroto dan Romo Sandyawan memilih Sumarsih yang kala itu bekerja sebagai staf Sekretariat Jenderal DPR Fraksi Golkar.