tirto.id - Letusan konflik agraria mengalami lonjakan signifikan selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Konflik agraria tercatat mengalami laju peningkatan yang pesat dibanding periode pemerintahan sebelumnya. Data ini sebagaimana dilaporkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melalui ‘Laporan Tahunan KPA 2023’.
KPA mencatat, di era Presiden Jokowi ada sebanyak 2.939 letusan konflik agraria dengan korban terdampak mencapai 1,75 juta keluarga (KK) di seluruh wilayah Indonesia. Angka ini meningkat tajam dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tercatat mengalami 1.520 kasus konflik agraria dengan 977.103 KK terdampak.
Pada 2023, data yang dilaporkan KPA mencatat 241 letusan konflik agraria terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Luas lahan yang terdampak mencapai 638.188 hektar di 346 desa. Ada sebanyak 135.608 keluarga yang terdampak akibat konflik agraria sepanjang 2023.
Kepala Departemen Kampanye KPA, Benny Wijaya, menyampaikan konflik agraria terjadi akibat adanya penggusuran dan perampasan tanah rakyat. Hal tersebut terjadi karena kekeliruan pemerintah dalam menerbitkan konsesi di atas tanah masyarakat atau pun proyek-proyek pembangunan yang banyak menyasar lahan mereka.
“Laporan Tahunan KPA 2023 menemukan eskalasi konflik agraria dan kekerasan yang semakin tinggi, bahkan melebihi satu dekade pemerintahan SBY,” kata Benny kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2023).
Selain itu, kata dia, satu dekade terakhir telah terjadi peningkatan guremisasi petani dan perluasan konsesi-konsesi perusahaan perkebunan, tambang, dan kehutanan yang memperlebar ketimpangan penguasaan tanah. Termasuk tingginya alih fungsi tanah pertanian akibat pembangunan infrastruktur yang menjadi cerminan krisis agraria semakin dalam satu dekade terakhir.
“Pembangunan dan investasi yang sangat pro-pasar dan modal, luput menghormati hak-hak warga negara atas tanah sehingga dengan mudah mencabutnya demi memfasilitasi kepentingan investor dan badan usaha skala besar,” ujar Benny.
Satu dekade terakhir, KPA mencatat bahwa investasi dan model pembangunan di sektor perkebunan, infrastruktur, properti, kehutanan, termasuk percepatan proyek strategis nasional (PSN), menjadi penyebab tertinggi konflik agraria. Selama periode 2020-2023, ada 115 konflik agraria yang dipicu karena pembangunan PSN yang berimbas pada 85.555 KK.
Benny menilai, cara pandang hukum yang positivistik dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dengan gampang menyingkirkan masyarakat yang sudah menempati tanah tersebut selama berdekade. Terutama para petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat pedesaan dan rentan perkotaan yang tidak bisa membuktikan kepemilikannya secara legal.
Ditambah, masih sering terjadi kekerasan, kriminalisasi, serta cara manipulatif terkait opsi ganti kerugian dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan investasi badan-badan usaha skala besar. KPA mencatat, sepanjang 2023 ada 508 kasus kriminalisasi pejuang agraria. Ada 91 kasus pejuang agraria yang dianiaya, 6 kasus tertembak, dan 3 kasus tewas.
Menanti Komitmen Paslon
Menurut Benny, ajang Pemilu 2024 menjadi momen menagih komitmen paslon capres-cawapres dalam membenahi eskalasi konflik agraria. Perlu urgensi komitmen politik dari masing-masing kandidat ketika terpilih nanti, agar mau menjalankan reforma agraria.
Dia menyampaikan, dokumen visi-misi masing-masing paslon telah memasukkan agenda reforma agraria dengan kadar yang berbeda-beda. Namun, implementasi dan komitmen dari pelaksanaan rencana tersebut yang ditunggu masyarakat.
“Selama periode Jokowi, ada hambatan pelaksanaan reforma agraria seperti tumpang tindih kebijakan, ego sektoral kementerian/lembaga, serta tak menyasar lokasi-lokasi konflik dan kantong-kantong ketimpangan penguasaan tanah,” jelas Benny.
Sementara itu, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, menyatakan masih ada perbedaan paradigma dalam melihat tanah serta sumber-sumber penghidupan lainnya antara pemerintah dan masyarakat adat serta komunitas lokal. Hal ini menjadi penyebab runcingnya konflik agraria dalam pemerintahan saat ini.
“Komodifikasi terhadap tanah serta sumber-sumber penghidupan lainnya seperti hutan, sungai, dan kekayaan alam, kemudian sumber-sumber penghidupan lainnya, dipandang pemerintah hanya sebatas komoditas,” kata Uli kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).
Uli melihat negara cenderung menyerahkan sumber-sumber penghidupan rakyat pada para investor dan korporasi. Mereka seakan-akan tiang dan entitas penting yang luput untuk terjamah instrumen hukum dan kebijakan yang ketat.
Sedangkan, kata dia, masyarakat adat dan lokal melihat tanah bukan hanya sekadar nilai ekonomis, namun juga dari sosiologis, ada nilai kebudayaan dan ekologi. Maka, ketika tanah itu diambil paksa oleh negara lalu diserahkan kepada korporasi, itu menghilangkan identitas masyarakat setempat.
“Bukan hanya tanah yang dirampas tetapi kehidupan mereka, tetapi identitas mereka juga dirampas. Paradigma itu, dalam tataran paradigma dia (negara dan masyarakat) sudah berkonflik,” ujar Uli.
Melihat rekam jejak paslon capres-cawapres yang ada, Uli menilai belum melihat catatan kandidat yang memiliki histori baik dalam konteks penyelesaian dan persoalan konflik agraria. Sebaliknya, justru beberapa kandidat memiliki catatan soal keterlibatan dalam konflik agraria dan lingkungan hidup.
Dengan begitu, komitmen dan pemahaman ketiga paslon capres-cawapres dalam membenahi konflik agraria perlu ditagih. Pemahaman menyeluruh mulai dari tataran paradigma hingga implementasi perlu diuji kepada kontestan.
“Kemudian keberaniannya untuk menjalankan reforma agraria sejati, bukan reforma agraria ala rezim hari ini yang hanya sebatas sertifikasi,” tambah Uli.
Staf Divisi Hukum KontraS, Vebrina Monicha, menyampaikan bahwa sejumlah persoalan agraria urgen dibahas dalam agenda debat Pilpres 2024. Sebagai informasi, agenda debat pilpres keempat yang mempertemukan cawapres pada akhir pekan ini, membawa tema ‘Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.’
“Poin-poin permasalahan agraria yang perlu dibahas, soal penyelesaian konflik agraria yang humanis dengan menghormati keputusan warga negara (korban terdampak, baik secara langsung maupun tidak),” kata Vebrina kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).
Ditambah, mengenai jaminan kepada warga negara untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28H. Juga penting untuk menilik rencana paslon dalam upaya mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama yang berkaitan dengan pejuang agraria.
“KontraS melihat bahwa cara-cara yang digunakan pemerintah dengan represif merupakan jalan pintas guna (seringnya) melakukan pembebasan lahan,” ujar Vebrina.
Senada dengan Uli, dia menyatakan bahwa KontraS menilai capres-cawapres yang ada saat ini belum begitu menjanjikan soal penyelesaian konflik agraria. Vebrina menyatakan, orang-orang yang terlibat dalam konflik agraria masih berada di pusaran ketiga paslon.
“Bila ketiga calon pasangan presiden dan wakilnya bisa memiliki perspektif lingkungan hidup yang berkeadilan dan mampu memilah-milah investasi yang akan masuk ke Indonesia, maka persoalan tersebut tentu saja akan dapat tereduksi,” tutur Vebrina.
Agenda Paslon
Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md, Yusuf Lakaseng, menyampaikan paslon nomor urut 3 berencana menegakan pemerintahan rakyat, di mana negara tidak boleh hanya menjadi alat kaum pemodal. Dalam urusan tanah, kata dia, tidak boleh masyarakat hanya jadi objek pembangunan.
“Seperti dalam kasus Rempang, tanah mereka dirampas atas nama investasi, rakyat harus jadi subyek atas pembangunan,” ujar Yusuf kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).
Yusuf mengakui negara pasti butuh investasi untuk meningkatkan ekonomi. Namun, investasi pertama-tama harus menguntungkan bagi masyarakat.
Selain itu, hal mendasar yang akan diselesaikan bagi paslon Ganjar-Mahfud terkait semakin sempitnya lahan pertanian yang dimiliki para petani. Mereka mengklaim akan melakukan reformasi agraria sesuai UU Pokok Agraria tahun 1960 yang dinilai sebagai amanat Presiden Sukarno.
“Jika membutuhkan lahan (investasi) maka harus bertransaksi secara adil pada masyarakat pemilik lahan layaknya jual beli yang setara,” kata Yusuf.
Sementara itu, dihubungi beberapa waktu lalu soal rencana menyelesaikan konflik agraria yang ditimbulkan pembangunan PSN, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Afriansyah Noor, menilai PSN memang harus membertimbangkan studi kelayakan (feasiblity study) di masyarakat.
Menurut Ferry, sapaan akrabnya, jika paslon nomor urut 2 terpilih, pihaknya akan menimbang PSN dengan mengutamakan masyarakat. Namun, kata dia, pembangunan PSN penting untuk terus dilanjutkan dengan kebermanfaatan yang memihak masyarakat.
“Kita akan menyesuaikan dengan kondisi keadaan di masyarakat itu berada atau di wilayah itu berada,” tutur Ferry kepada reporter Tirto, beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Juru Bicara Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Ramli Rahim, percaya bahwa rekam jejak capres nomor urut 1 terbukti mampu menyelesaikan persoalan agraria. Hal ini dinilainya dari rekam jejak Anies selama menjadi Gubernur DKI Jakarta.
“Misalnya lahan-lahan negara yang selama ini ditempati masyarakat karena Pak Anies punya payung hukumnya, maka dibuatkan payung hukum untuk daerah agar rakyat menikmati fasilitas listrik, air, dan kebutuhan dasar lainnya,” ujar Ramli kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).
Reformasi agraria yang akan dibawa menurut Ramli akan memberikan tanah kepada rakyat. AMIN, kata dia, menginginkan hidup layak rakyat dengan kepemilikan lahan dan mengurangi beban pajak rakyat terkait hal tersebut.
“Jadi tidak mengusir mereka karena tidak mampu bayar pajak,” jelas Ramli.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz