tirto.id - Tahun baru dengan persoalan lampau mengintai sektor kesehatan negeri ini. Awal 2024, Kementerian Kesehatan melaporkan temuan tiga kasus lumpuh layuh akut (acute flaccid paralysis) yang disebabkan oleh virus polio. Kasus ini dilaporkan terjadi di Pamekasan dan Sampang, Jawa Timur serta Klaten, Jawa Tengah.
Laporan baru polio disertai lumpuh layuh akut tersebut, membuat wilayah temuan kasus ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sebagai informasi, Indonesia sudah pernah mendapatkan status eradikasi polio pada 2014.
Namun, kasus polio kembali ditemukan pada November 2022 di Aceh dan Maret 2023 di Jawa Barat. Laporan kasus di Jawa Timur dan Jawa Tengah kali ini, hendaknya menjadi alarm bahwa status bebas polio yang sudah dicapai perlu dipertahankan dengan serius.
Merespons tiga temuan baru polio dengan lumpuh layuh akut, Kemenkes melakukan Sub pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio di semua wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka juga menggencarkan surveilans untuk menemukan kasus lain agar dapat ditangani sejak dini.
Teranyar, hasil surveilans Kemenkes menemukan 9 kasus polio tanpa gejala di Sampang, Madura. Laporan temuan ini disampaikan oleh Dirjen Pencegahan dan Pengendalian (P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu.
“Kami ambil masing-masing di kabupaten, ambil sampel 30 anak di daerah sekitar anak yang sakit. Di Sampang, sudah keluar hasil dari 30 anak, yang sudah keluar hasilnya 22 sampel, sudah terdeteksi 9 positif,” kata Maxi dalam konferensi pers daring, Jumat (12/1/2024).
Menurut Maxi, adanya tambahan kasus polio di Sampang memunculkan hipotesis bahwa virus ini sudah bersirkulasi di wilayah tersebut. Dengan begitu, kata dia, potensi virus polio muncul di wilayah lain selalu ada.
“Di Sampang ada sembilan kasus ya, sembilan anak itu yang positif. Sekalipun mereka belum ada gejala, itu coba diintervensi dengan imunisasi tambahan,” jelas Maxi.
Maxi menjelaskan, polio merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Virus polio merupakan penyakit menular yang dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan permanen, terutama pada anak-anak.
“Terutama yang belum mendapatkan imunisasi polio lengkap. Jadi kalau untuk lengkapnya itu 4 kali di oral, dan 2 kali suntikan,” jelas Maxi.
Kendati demikian, capaian imunisasi dasar lengkap di Indonesia merosot terimbas pandemi. Cakupan imunisasi dasar lengkap pada 2021 tercatat hanya 84,2 persen dari target capaian yang seharusnya sebesar 95 persen.
Sementara untuk cakupan imunisasi polio tercatat hanya 63,5 persen untuk pemberian oral polio vaksin empat dosis (OPV4) dan 65 persen untuk pemberian vaksin polio suntik IPV dosis satu (IPV1). Mengacu pedoman Kemenkes, vaksin polio oral (OPV) diberikan empat kali dan vaksin IPV dengan pemberian melalui suntikan sebanyak dua kali.
“Kombinasi imunisasi polio tetes (oral) dan suntik diberikan untuk mengoptimalkan pembentukan kekebalan terhadap semua virus polio,” kata Maxi.
Tersebab Imunisasi Rendah
Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, menilai perlu ada mitigasi apakah kasus polio baru ini berasal dari virus yang sama atau dari strain di mana anak-anak belum memiliki kekebalan. Sebelumnya, sudah ada laporan Kemenkes memitigasi hal ini dan menemukan bahwa ada beberapa strain mutasi virus polio.
“Sehingga sekarang sudah diberikan vaksinasi polio generasi terbaru. Langkah mitigasi yang dilakukan oleh Kemenkes sudah tepat untuk identifikasi masalah dan kemudian memberikan solusi untuk vaksinasi,” ujar Grace kepada reporter Tirto, Jumat (12/1/2024).
Sementara itu, kata dia, Kemenkes perlu memperbaiki cakupan imunisasi dasar yang menurun karena pandemi. Masalah ini, menurut Grace, belum mendapatkan mitigasi yang jelas dari pemerintah.
“Perlu pendekatan epidemiologi sosial untuk memitigasi masalah ini, sehingga ada strategi cepat dan jelas untuk segera mengejar rendahnya angka imunisasi dasar, terutama polio,” ujar Grace.
Di sisi lain, Grace mengajak para akademisi untuk terus mencoba meneliti, kenapa terjadi fenomena seperti ini di sektor kesehatan. Dia juga melihat penelitian ke arah perubahan perilaku pascapandemi sangat minim dilakukan baik oleh akademi maupun pemerintah.
Melihat pola penularan polio, Grace menyatakan kebersihan memang faktor paling utama. Pada saat pandemi, kesadaran masyarakat soal kebersihan meningkat, dibuktikan dengan banyaknya tempat cuci tangan.
“Tapi seperti kita lihat, sekarang fasilitas-fasilitas ini sudah entah kemana, perilaku orang juga sudah lalai. Polio banyak berhubungan dengan fasilitas MCK,” jelas Grace.
Selain menyarankan masyarakat terus menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, pemerintah perlu mengevaluasi akses masyarakat ke fasilitas yang menunjang perilaku tersebut. Seperti akses kepada air bersih, MCK umum, serta pembuangan sampah.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menyampaikan faktor kebersihan masyarakat memang berperan penting dalam penyebaran virus polio. Sanitasi lingkungan yang buruk akan memperbesar potensi penularan virus polio di suatu wilayah.
“Di mana kalau BAB atau buang air besar ini masih terbuka (sembarangan) di mana saja. Termasuk pengelolaan atau manajemen dari limbah rumah tangganya tidak tertata,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Jumat (12/1/2024).
Dicky menilai, revitalisasi cakupan imunisasi dasar lengkap belum dilakukan secara maksimal. Ditambah, kata dia, semakin banyak isu soal resistensi masyarakat untuk melakukan vaksinasi akibat termakan informasi hoaks.
“Jadi keengganan, ketidakmauan masyarakat untuk mendapatkan vaksin itu timbul karena kekurangan atau lemahnya strategi komunikasi risiko pemerintah,” ujar dia.
Masalah ini tercermin dalam konteks vaksinasi pada pandemi COVID lalu. Dalam melawan isu hoaks dan konspirasi, Dicky menilai pemerintah cenderung tidak proaktif atau tidak responsif.
“Maka program yang cukup efektif dalam meredam ini harus dalam skala nasional. Jadi harus nasional dan strategi seperti dulu-dulu ya, imunisasi nasional itu adalah satu strategi yang sangat efektif menghadapi kasus KLB polio,” ujar Dicky.
Kondisi Terkini Pasien Polio
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian (P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, menyampaikan kondisi tiga pasien polio dengan kondisi lumpuh layuh akut di Jawa Timur dan Jawa Tengah, sudah membaik. Mereka sudah dibawa pulang ke rumah masing-masing, walaupun untuk kondisi lumpuh layuh yang diidap, Maxi menilai hal tersebut akan permanen.
“Polio menyerang saraf, jadi yang dilakukan supaya jalan fungsi kaki dan ototnya bisa agak lebih baik bisa ditingkatkan dengan rehabilitasi. Tapi tidak mungkin sembuh,” jelas Maxi.
Maxi menyatakan, Kemenkes terus melakukan surveilans pada Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) dan lumpuh layuh akut (AFP) untuk mencegah kemungkinan temuan kasus baru yang fatal. Merespons temuan baru polio di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Kemenkes bakal menggelar Sub Pekan Imunisasi Nasional Polio atau Sub PIN Polio secara serentak mulai 15 Januari 2024.
Maxi menjelaskan, Sub PIN Polio akan dilaksanakan dalam 2 putaran. Putaran pertama dimulai pada 15 Januari 2024, sedangkan putaran kedua akan berlangsung mulai 19 Februari 2024. Masing-masing putaran dilaksanakan dalam waktu satu minggu dengan jarak antarputaran minimal satu bulan.
Selain menyasar wilayah terjadinya kasus polio, pemberian imunisasi tambahan juga dilakukan di Kabupaten Sleman atau daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Klaten, sebagai lokasi ditemukannya kasus polio.
“Sekalipun di DIY tidak ada kasus, tapi yang kita takuti itu, sirkulasi virusnya ada di kabupaten tetangga, sama seperti di Aceh, imunisasi tambahan juga kita lakukan di Sumatera Utara,” terang Maxi.
Rencana Sub PIN Polio ini menargetkan anak berusia 0 sampai 7 tahun, tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Artinya, meski status imunisasi sudah lengkap, anak tetap harus mengikuti program Sub PIN Polio.
“Target cakupan sekurang-kurangnya adalah 95% untuk masing-masing putaran dan merata di setiap tingkatkan, mulai dari desa, kecamatan, sampai kabupaten,” ucap Maxi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz