Menuju konten utama
Debat Capres-Cawapres 2024

Gagasan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat Jelang Debat Cawapres

Selama 10 tahun terakhir (2014-2023), AMAN mencatat terjadi 687 kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Apa gagasan para paslon?

Gagasan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat Jelang Debat Cawapres
Mahfud MD, Gibran Rakabuming Raka dan Muhaimin Iskandar mengakat tangan bersama usai debat kedua cawapres 2024 di lokasi debat kedua, Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta. Youtube/KPU RI

tirto.id - Pemenuhan hak masyarakat adat belum mendapatkan implementasi yang terang di Indonesia. Perampasan ruang hidup dan pengabaian hak politik membuat masyarakat adat kerap menjadi kelompok yang termarginalkan. Padahal, negara melalui sejumlah instrumen hukumnya sudah mempunyai mandat untuk mengakui hak-hak masyarakat adat.

Agenda elektoral lima tahunan yakni pemilu perlu menjadi sarana untuk mengakomodir pemenuhan hak dan aspirasi masyarakat adat. Pembahasan ide dan gagasan capres-cawapres mengenai masyarakat adat akan tersaji dalam agenda debat keempat Pilpres 2024. Tepatnya pada debat kedua cawapres yang dilaksanakan pada Minggu (21/1/2024), dengan tema “Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.”

Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat AMAN, Abdi Akbar, menyatakan kebijakan pemerintah saat ini yang memprioritaskan agenda investasi dan pembangunan tanpa memperhatikan agenda kerakyatan, memicu krisis multidimensi bagi masyarakat adat. Krisis yang dirasakan masyarakat adat ini melingkupi krisis sosial, ekologi, agraria hingga krisis hukum.

“Berbagai produk hukum lahir untuk melegalisasi agenda investasi dan pembangunan berskala besar seperti; UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, UU Mineral dan Batu Bara, UU IKN, UU KUHP, dan produk hukum lainnya yang mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat,” kata Abdi kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).

Abdi menilai, janji untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam program Nawacita Presiden Joko Widodo jalan di tempat. Sebaliknya, malah berubah arah menjadi pelemahan terhadap masyarakat adat dengan lahirnya berbagai produk hukum yang memberangus hak-hak mereka.

“Sementara itu, UU Masyarakat Adat, yang sudah tiga periode masuk dalam prioritas Prolegnas di DPR dari 2013 sampai saat ini masih belum disahkan,” tambah Abdi.

Selama 10 tahun terakhir (2014-2023), AMAN mencatat telah terjadi 687 kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Adapun puluhan di antaranya mengalami kekerasan, bahkan ada sampai meninggal dunia.

“Serta tidak kurang ratusan rumah dihancurkan dan dibakar oleh aparat,” tutur Abdi.

Sektor dominan yang memicu kriminalisasi masyarakat adat terdiri atas konflik kawasan hutan (42%), pertambangan (13%), perkebunan (11%), infrastruktur (10%), dan kebakaran lahan (2%). Abdi mencontohkan, misalnya kasus perampasan wilayah adat yang disertai kriminalisasi pada Masyarakat Adat Laman Kinipan, di Kalimantan Tengah.

“Juga kasus perampasan ruang hidup dan kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat Adat Tobelo Dalam di Halmahera Timur, karena aktivitas perusahaan tambang nikel,” sebut dia.

Abdi mendesak, debat cawapres yang akan dilangsungkan akhir pekan ini, memuat sejumlah topik untuk memastikan pemenuhan hak masyarakat adat tidak ditinggalkan. Misalnya soal hak konstitusional serta solusi atas kriminalisasi, konflik, dan pemulihan hak masyarakat adat.

Tak luput, soal pandangan paslon terhadap instrumen hukum saat ini yang menabrak pemenuhan hak masyarakat adat. Sebaliknya, perlu dipikirkan pula implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 tentang Hak Masyarakat Adat atas wilayahnya yang berada dalam kawasan hutan.

Belum Memenuhi Aspirasi

Abdi menilai, dari ketiga capres-cawapres saat ini, hanya paslon nomor urut 2 yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang tidak mencantumkan komitmen terhadap masyarakat adat dalam dokumen visi-misi resmi. Adapun kedua paslon lain, meskipun sudah mencantumkan agenda masyarakat adat dalam visi-misi, dinilai masih belum menjawab polemik dan aspirasi masyarakat adat.

“Kebutuhan prioritas saat ini adalah meluruskan dan mengoreksi paradigma, kebijakan, dan praktik pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat yang sepanjang satu dekade pemerintahan Joko Widodo jalan di tempat,” jelas Abdi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, menilai masyarakat adat masih dianggap ancaman bagi rezim pemerintahan pro-investor dan eksploitasi sumber daya alam. Ironisnya, tidak jarang masyarakat adat digunakan hanya sebagai stempel dukungan dalam bloking politik.

“Akan tetapi kepentingan dan ruang hidup mereka semakin hari semakin memburuk. Alam rusak, rutinitas kultural mereka rusak dan hancur,” kata Haris kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).

Masyarakat adat semakin punah, kata dia, karena dipaksa keluar dari tata kelola alamiah dan kultural kehidupan mereka. Di sisi lain, praktik bisnis dan industri yang menggusur ruang hidup mereka justru dilindungi bahkan tak jarang dimiliki oleh pejabat-pejabat negara.

“Penguasa dan pengusaha sekadar memberikan ganti rugi material kalkulatif yang tidak paham nilai non-material dalam kebijaksanaan adat seperti menjaga turunan dan menjaga adat,” jelas Haris.

Di lapangan, Haris menemukan penguasa kerap menggunakan strategi legitimasi sepihak berbasis dukungan dan tanda tangan yang sering kali dipalsukan. Masyarakat adat menjadi diadu domba dengan sesama mereka sehingga rentan menimbulkan konflik sosial.

“Semua capres (saat ini) dikelilingi partai pendukung Jokowi sejak awal, tapi kita tunggu saja, siapa berani menyatakan dalam hitungan setelah terpilih akan mengesahkan UU Perlindungan Masyarakat Adat,” tutur Haris.

Direktorat Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Rony Saputra, menilai posisi masyarakat adat setelah disahkannya UU Cipta Kerja Omnibus Law, menjadi semakin terpinggirkan. Tidak jarang masyarakat adat dianggap sebagai batu sandungan bagi pelaksanaan investasi dan pembangunan, khususnya proyek strategis nasional (PSN).

“Walau tidak dapat dipungkiri, ada pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang menempatkan masyarakat adat pada posisi yang lebih baik misalnya soal pengakuan, tetapi tetap saja tidak memberikan ruang yang besar bagi masyarakat adat untuk bisa mengembangkan diri,” ujar Rony kepada reporter Tirto.

Persoalan kriminalisasi pembela lingkungan hidup kerap menjerat masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidupnya dan tanah ulayat mereka. Menurut Rony, pembela lingkungan --termasuk masyarakat adat– bertahan membela lingkungan karena ingin memastikan generasi yang akan datang dapat menikmati lingkungan hidup yang baik dan bersih.

“Mengakui dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas, menghadirkan keadilan bagi masyarakat adat. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh capres-cawapres,” ujar Rony.

Berdasarkan data Auriga, setidaknya terdapat 133 kasus konflik pembela lingkungan dengan penguasa dan korporasi sejak 2014-2023. Konflik ini meliputi sektor tambang, perkebunan, konflik lahan adat, perairan, proyek energi, serta PSN.

“Di antara konflik tersebut bisa disebut misalnya kasus Wadas, kasus Rempang, kasus Poco Leok, dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Masyarakat adat bukan hanya urusan meningkatkan kesejahteraan melainkan mengembalikan eksistensi masyarakat di adat sebagai masyarakat Indonesia,” tegas Rony.

Agenda Para Paslon

Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Chico Hakim, menyampaikan sejak awal, capres nomor urut 3 selalu melibatkan masyarakat dalam agenda pembangunan. Ke depan, kata dia, paslon Ganjar-Mahfud akan melakukan mitigasi dalam mengakomodir masukan dan hak masyarakat adat.

“Pendekatan hukum menjadi pendekatan terakhir dari segala hal yang berurusan dengan pembangunan baik itu program pusat atau daerah,” kata Chico kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).

Di sisi lain, Chico menyebut bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat yang saat ini masih mandek juga akan dibenahi oleh pasangan Ganjar-Mahfud. Percepatan pengesahan beleid ini akan menjadi agenda untuk pemenuhan hak masyarakat adat.

Sementara itu, Juru bicara Tim Nasional Pemenangan (Timnas) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Surya Tjandra, menyatakan paslon nomor urut 1 membawa agenda ‘Masyarakat Adat Berdaulat dengan Nilai dan Martabat’ dalam visi-misi mereka. Inti agenda ini, kata dia, meliputi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang menjadi perhatian serius AMIN.

“Pendekatannya harus menyeluruh mulai dari mencukupi kebutuhan dasar mereka dan pengakuan legal-formal tanah adat, melalui khususnya integrasi wilayah adat ke dalam RTRW,” ujar Surya kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).

Paslon AMIN memiliki rencana agar masyarakat adat tidak hanya aktif berpartisipasi dalam pembangunan, tetapi turut menyumbang aspirasi untuk paradigma pembangunan yang berlandaskan kearifan lokal. Langkah yang akan dilakukan di antaranya mendorong regulasi yang memudahkan pemetaan spasial dan sosial wilayah adat di berbagai daerah di Indonesia.

“Termasuk di sini wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang sering terlupakan saat ini di mana pembangunan masih berorientasi daratan,” kata Tjandra.

Di sisi lain, Juru Bicara Tim Kemenangan Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Cheryl Tanzil, memastikan bahwa paslon nomor urut 2 ini memiliki agenda terhadap pemenuhan hak masyarakat adat. Kendati demikian, Cheryl meminta menunggu hingga agenda debat dilangsungkan untuk melihat visi-misi paslon Prabowo-Gibran soal masyarakat adat.

“Nanti ditunggu ya dalam debat. Kalau dirilis sekarang nanti enggak seru lagi,” ujar Cheryl kepada reporter Tirto, Senin (15/1/2024).

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz