Menuju konten utama

Dayak Iban & Kehendak Masyarakat Adat Berdaya di Tanah Sendiri

Pengakuan Negara atas hutan adat terbukti mampu memaksimalkan potensi serta memberi keleluasaan masyarakat adat memberdayakan alamnya.

Dayak Iban & Kehendak Masyarakat Adat Berdaya di Tanah Sendiri
Apai Janggut. Tina/AMAN

tirto.id - Udara pagi menusuk kulit seperti jarum yang dingin. Cahaya matahari malu-malu menyusup dari celah dedaunan. Pohon-pohon kokoh berdiri bagaikan tiang-tiang purba. Terdengar orkestra suara burung dari kejauhan. Menciptakan harmoni yang pas dengan kesunyian hutan Kalimantan. Bau lembap terhidu di sepanjang hutan. Makin lama, suhu mulai menghangat perlahan.

Sekitar empat meter di depan, Bandi – tetua masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik – gesit melangkah di antara pepohonan. Pria tua yang akrab disapa Apai Janggut ini, tampak begitu akrab dengan hutan. Meninggalkan saya dan beberapa rekan di belakang. Tak terlihat kepayahan dari Apai Janggut melewati sulur-sulur berduri dan akar yang menghalangi jalan. Ia menyusuri hutan laiknya membalik telapak tangan.

Hanya bermodal golok, Apai Janggut sigap membuka jalan yang tertutup belukar. Tak ada yang tahu pasti berapa umur pria tua ini. Ia sendiri tak ingat betul kapan pertama kali melongok bumi. Jika diterka dari pernyataan masyarakat sekitar, usia Apai Janggut lebih dari 80 tahun. Namun yang pasti diketahui, Apai Janggut begitu besar menaruh hormat pada hutan dan alam di Sungai Utik.

“Jika sungai mulai tercemar, hutan sudah hilang. Sama saja kita di Sungai Utik menutup badan dengan tanah (mati),” katanya ketika mengantar saya menyusuri hutan di Sungai Utik, Senin (26/6/2023).

Hutan dan masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik memang bagaikan satu tarikan napas. Masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik terletak di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Apai Janggut merupakan Tuai Rumah atau kepala Rumah Panjang (betang) – rumah tradisional suku Dayak – yang di Sungai Utik diisi sekitar 28 bilik keluarga.

Apai Janggut

Apai Janggut. Tina/AMAN

Apai Janggut menegaskan bahwa masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik sangat bergantung pada hutan mereka. Masyarakat Dayak Iban memanfaatkan hutan dalam hampir segala aspek kehidupan. Pohon-pohon bisa diambil kayunya sebagai bahan pokok membangun rumah. Buah-buahan dapat dinikmati dan dijual pada musimnya. Sayur-sayuran yang ditanam di ladang dalam area hutan dapat mencukupi kebutuhan perut. Hingga berbagai jenis dedaunan dan tanaman hutan yang dapat digunakan sebagai obat-obatan.

“Ini daun kerebai (bahasa Iban), bisa digunakan untuk pewarna alami untuk tenun dan juga untuk obat malaria,” kata Apai Janggut menunjukan sejenis daun di dalam hutan. Selain itu, ada juga tanaman akar tengang yang digunakan untuk bahan baku benang dan obat sakit pinggang. Ada juga sejenis daun yang disebut Apai Janggut sebagai ubat betuk, kegunaannya dapat menyembuhkan luka bakar.

Tentu masih banyak lagi jenis tanaman dalam hutan Sungai Utik yang memiliki segudang kegunaan bagi masyarakat hukum adat Dayak Iban. Terlebih, kini masyarakat hukum adat Dayak Iban merasa bebas dan leluasa mengelola hutan mereka sendiri, menyusul pengakuan resmi Negara terhadapan hutan adat Sungai Utik.

Pengakuan tersebut, resmi didapatkan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tercantum dalam SK No: 3238/2020. Di dalamnya, ditetapkan hutan adat Menua Sungai Utik kepada masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik, Ketemenggungan Jalai Lintang, yang luasnya terbentang 9.480 hektare (ha).

Pengakuan Negara terhadap hutan adat Sungai Utik, juga tak lepas dari terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kapuas Hulu tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Perda Kabupaten Kapuas Hulu ini terbit lebih dulu, dengan Nomor 13/2018.

Dengan lahirnya Perda ini, masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik resmi diakui dan mendapatkan hak perlindungan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Kapuas Hulu Nomor 561/2019. SK Bupati tersebut, menjadi salah satu syarat pelengkap untuk mendapatkan pengakuan hutan adat dari Negara.

Pengakuan hutan adat tentu menjadi angin segar bagi masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik. Bagi Raymondus Remang, Kepala Desa Batu Lintang pengakuan ini menurutnya, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Dayak Iban Menua Sungai Utik dalam mengelola hutan dan wilayah adat mereka.

“Jadi kita sudah merasakan bahwa kita sudah ada payung hukumnya yang kita pegang. Jadi wilayah adat ini dalam satu sisi sudah menunjukan tanda aman (karena ada pengakuan),” kata Raymondus selepas prosesi Misa Senin malam (26/6/2023).

Raymondus menyatakan, masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik sudah memiliki program dalam pengelolaan wilayah adat, terutama hutan adat mereka. Melalui lembaga masyarakat yang dimandatkan oleh Tuai Rumah alias Apai Janggut, dibentuk wadah yang mengelola potensi wilayah dan hutan adat di Sungai Utik yang diberi nama Perkumpulan Gerempong Menua Judan. Raymondus sendiri merupakan ketua dari perkumpulan ini.

Tugas Gerempong Menua Judan di antaranya, mengelola potensi hutan adat seperti buah tengkawang yang dapat diolah menjadi mentega. Tentu dalam bentuk mentega, harga jualnya menjadi jauh lebih tinggi. Selain itu, perkumpulan ini juga mewadahi pembuatan kain tenun, anyaman, dan ekowisata yang semuanya berkaitan pemberdayaan dan pengelolaan wilayah dan hutan adat di Sungai Utik. Dibentuk juga Sekolah Adat, agar anak-anak dan pemuda Dayak Iban Menua Sungai Utik dapat mengenal dan lebih mencintai tradisi adat mereka sendiri.

“Mungkin ya salah satu yang bisa kita lakukan (ke depan) misalnya terkait dengan mengisinya itu, kita menanam kopi. Misalnya bagi keluarga, misalnya satu pintu (bilik keluarga) itu (menanam) 20 batang satu bulannya, satu tahun itu (sekitar) 120 batang (kopi),” jelas Raymondus.

Antusiasme dan semangat yang terbalut dalam berbagai bentuk program dan rencana dari masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik ini, menepis anggapan bahwa masyarakat adat tidak mampu memaksimalkan atau mengelola potensi wilayah mereka sendiri. Dengan adanya pengakuan dan perlindungan dari Negara, masyarakat adat semakin jelas menunjukan kehendak berdaya atas wilayah dan pengelolaan alam mereka. Keleluasaan dan kebebasan yang seharusnya sejak lama menjadi hak masyarakat hukum adat.

Hak Mengelola Alam & Pemberdayaan Manusia

Rumah Budaya Sungai Utik sore itu dipenuhi puluhan pemuda-pemudi masyarakat hukum adat dari berbagai Dusun yang tergabung dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Hari itu, Minggu (25/6/2023), tengah diadakan lokakarya yang berfokus pada pengembangan dan perencanaan BUMMA (Badan Usaha Milik Masyarakat Adat) serta Sekolah Adat.

Adanya pengakuan Negara atas hutan adat ini, memacu masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai utik mulai menggerakan roda kemandirian bagi wilayah mereka melalui berbagai program.

Salah satunya program pemberdayaan sumber daya manusia di Sungai Utik yang menyasar kaum muda. Melalui lokakarya, kaum muda diajak terlibat dalam upaya-upaya pengembangan dan pengelolaan potensi wilayah adat mereka. Harapannya, anak-anak muda ini menjadi motor penggerak berkelanjutan atas berbagai rencana yang lahir pasca terbitnya pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Sungai Utik.

Upaya mengajak keterlibatan anak muda ini terbukti bukan angin lalu. Pada lokakarya sore itu, mereka aktif berdiskusi demi kemajuan masyarakat hukum adat tempat mereka tinggal.

Salah satunya, Anjela P. Jegafoktuik yang begitu tertarik soal rencana pengembangan Sekolah Adat dari paparan lokakarya. Menurut perempuan berusia 23 tahun asal Sungai Utik tersebut, Sekolah Adat dapat menjadi media untuk mengenalkan dan melestarikan kebudayaan Sungai Utik bagi anak-anak. Materi yang diajarkan mulai dari cara menganyam, mengenalkan alat musik tradisional, hingga diajarkan cara menggunakannya dalam konteks ritual adat.

“Di sini (Sungai Utik) sudah mendirikan Sekolah Adat, sudah jelas pembangunan juga. Jadi di sini itu lebih dilatih bagaimana cara kita mengatur sekolah adat ke depannya nanti, atau bagaimana cara kita mengatur waktu, terus pembelajaran seperti apa yang bisa kita ajarkan untuk anak-anak gitu,” ujarnya.

Setali tiga uang, Alberikus Yulius juga menggebu-gebu ketika menceritakan rencananya mengembangkan ekowisata di Sungai Utik. Menurut mahasiswa IKIP PGRI Pontianak ini, Sungai Utik memiliki kekayaan tradisi dan sejarah yang pastinya akan memikat para pengunjung. Ia juga memiliki rencana menulis buku tentang sejarah kebudayaan dan tradisi masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik.

“Saya ingin promosikan juga sejarahnya,” kata pemuda berusia 22 tahun ini.

Suasana lokakarya Dayak Iban

Suasana lokakarya pemuda-pemudi Dayak Iban. Tina/AMAN

Ditemui terpisah, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Kapuas Hulu Herkulanus Sutomo Manna menyampaikan, masyarakat menjadi lebih kreatif dalam mengurus dan mengelola wilayah adat mereka pasca mendapatkan SK Bupati Kapuas Hulu tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.

Seperti di Sungai Utik, kata Sutomo, masyarakat mengelola buah mawang dan tengkawang menjadi selai dan mentega yang dapat menggenjot kemandirian masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik dari segi perekonomian.

“Jadi siapa bilang masyarakat tidak mampu ngurus dirinya sendiri? Kan itu yang ketakutan dari pemerintah, tidak mau memberikan hak kelola pada masyarakat karena dianggap tidak mampu, itu kan kata mereka ya,” ujar Sutomo di kediamannya di Ibu Kota Putussibau, Kapuas Hulu, Selasa malam (27/6/2023).

Sutomo menegaskan, masyarakat hukum adat Dayak Iban Menu Sungai Utik sudah ratusan tahun menetap di sana dan hingga kini mampu menjaga kelestarian biodiversitas hutan adat mereka.

Ia menyesalkan sikap beberapa pihak yang sering menjadikan masyarakat hukum adat menjadi kambing hitam atas tuduhan perusakan hutan. Padahal hingga kini, tidak sampai 20 persen wilayah hutan adat Sungai Utik yang dijadikan lahan berladang oleh masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik. Itu pun dengan aturan adat yang ketat dalam pengelolaan hutan adat.

“Ternyata masih banyak hutan yang belum ditebang, jadi siapa yang lebih pandai mengelola? Kalau itu diserahkan ke perusahaan, udah selesai semua hutan (ditebang),” sambung Sutomo.

Menurut pria yang juga tumbuh besar dalam masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua sungai utik ini, lembaga-lembaga pendamping memiliki peran dalam membantu masyarakat hukum adat berdaya atas hak kelola di wilayah adat setelah mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum. Seperti lembaga tempat ia bernaung – AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) – yang ikut terlibat dalam pembentukan BUMMA dan Sekolah Adat di Sungai Utik.

Sutomo menambahkan, BUMMA memiliki peran dalam hilirisasi atau pemasaran produk-produk olahan yang dihasilkan dari masyarakat hukum adat di Ketemanggungan Jalai Lintang. Sungai Utik masuk di dalamnya. Selain peran pemasaran, BUMMA juga dapat melakukan produksi dan pembinaan bagi masyarakat hukum adat.

Potensi hasil alam di Sungai Utik memang berlimpah ruah. Hutan adat mereka menyimpan berbagai buah-buahan seperti durian, rambutan, mawang, atau tengkawang. Juga ada daun kratom dan hasil kayu yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan, seperti rotan dan kayu ulin.

“Tengkawang ini hasil survei kita kemarin tuh 2.000 lebih ya. 2000 berapa ya saya lupa juga, tapi datanya saya punya. Terus kayak mawang juga itu 164 pohon dan ya banyak lagi jenis tanaman-tanaman lain, buah-buahan lain dan sebagainya itu banyak,” kata Sutomo menggambarkan kekayaan hutan adat Sungai Utik.

Tak hanya bernilai ekonomis, kekayaan keanekaragaman hayati hutan Sungai Utik begitu mengesankan. Sutomo menyampaikan, masyarakat bahkan menanam berbagai jenis tanaman baru agar anak-cucu mereka dapat menikmati dan mengelola hasil di kemudian hari.

Hal ini kembali menegaskan bahwa kehendak berdaya masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik diiringi dengan rencana dan proyeksi yang terukur. Pemanfaatan hak kelola hutan adat dilakukan beriringan dengan kearifan lokal dalam melestarikan hutan. Bukan sekadar ekstraksi sumberdaya alam yang tanpa aturan.

Dengan terbitnya SK pengakuan dan perlindungan masyarakat dan hutan adat, bukan berarti keran investasi sama sekali tertutup. Justru dengan memiliki SK tersebut, kata Sutomo, korporasi dan Negara tidak bisa sewenang-wenang mencaplok wilayah dan hutan adat yang telah diakui.

Di sisi lain, masyarakat hukum adat memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak tawaran investasi dari korporasi serta rencana pembangunan di atas wilayah mereka. Hal ini membuat posisi masyarakat hukum adat memiliki daya tawar yang kuat terhadap hak perkenan atas wilayah mereka.

“Harus izin dulu sama masyarakatnya, baru investasi boleh masuk. Artinya ini kan ada tawar-menawar nih tadi disampaikan, ada tawar menawar antara masyarakat dengan orang-orang investasi lah atau apa sebagainya. Ketika masyarakat setuju, setujunya seperti apa? Kalau masyarakat enggak setuju ya jangan,” jelas Sutomo.

Kabupaten Kapuas Hulu – termasuk Sungai Utik – total ada sembilan masyarakat hukum adat yang telah diakui melalui SK Bupati Kapuas Hulu tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Namun, hanya Sungai Utik yang baru mendapatkan pengakuan Negara terhadap hutan adat mereka. Sementara delapan masyarakat hukum adat yang lain, masih belum menerima SK pengakuan hutan adat dari KLHK.

Sutomo menuturkan, hal ini berimbas pada tidak munculnya area hutan adat dalam peta tata ruang bagi delapan masyarakat hukum adat yang belum menerima SK dari KLHK. Dengan begitu, masih ditemukan upaya-upaya dari pihak swasta atau korporasi yang diam-diam merayu masyarakat untuk melepas tanah dan hutan mereka. Padahal, pemerintah daerah seharusnya menjamin perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dari berbagai intervensi yang mengancam keutuhan hak kelola dan wilayah mereka.

Pengakuan Jangan Sebatas Formalitas

Hujan deras menyambut kedatangan saya di Desa Nanga Danau, Ketemenggungan Dayak Kalis, Kecamatan Kalis, Kapuas Hulu. Butuh sekitar dua jam perjalanan darat dari Sungai Utik menuju Desa Nanga Danau.

Sore merapat diiringi awan gelap dan guyuran hujan. Tak semulus jalan aspal menuju Sungai Utik, genangan air dan jalan gompal beberapa kali tersaji dalam perjalanan menuju rumah Teddy Winardi, salah seorang anggota masyarakat hukum adat Dayak Kali Nanga Danau.

Lelaki berbadan tegap itu telah ditumbuhi uban putih di kepalanya. Suaranya lantang memecah bunyi hujan di luar rumah. Teddy berusia 60 tahun. Sehari-hari bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat hukum adat Dayak Kalis Nanga Danau adalah salah satu yang mendapatkan pengakuan dan perlindungan melalui SK Bupati Kapuas Hulu pada tahun 2021. Teddy menuturkan, hutan desanya penuh dengan potensi alam seperti kayu damar, pinang, dan gaharu.

“Dijual per kilo, soalnya sekarang lumayan mahal sampai Rp40.000 sekilo kalau gaharu,” kata Teddy ditemui di kediamannya, Selasa (27/6/2023).

Terbitnya SK Bupati atas pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Dayak Kalis Nanga Danau tak membuat wilayah adat mereka kebal dari ancaman. Teddy menuturkan, secara diam-diam ada korporasi di bidang pertambangan dan rumput gajah merayu warga untuk melepas tanah dan hutan adat mereka. Pengakuan hutan adat Dayak Kalis Nanga Danau sendiri masih dalam proses pengajuan di KLHK.

“Mereka diam-diam itu mau masuk ya. Masuk kan perusahaannya itu untuk eksploitasi ya di wilayah adat, di wilayah kita,” ujar Teddy.

Hujan makin deras. Suara Teddy makin keras. Ia menegaskan bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan yang tidak terpisahkan bagi masyarakat Dayak.

“Saya bilang sama teman-teman, sekarang saja kita orang Dayak menanam suka hati tanah seluas-seluasnya masih susah. Tapi kalau tanah kita hilang, hutan kita udah habis oleh korporasi-korporasi sementara kita nggak punya pengetahuan, nggak punya keahlian di bidang itu, kita mau hidup dari mana?” tegas Teddy.

Masyarakat adat Dayak Kalis Nanga Danau menolak kehadiran korporasi-korporasi yang ingin mencaplok tanah dan hutan mereka. Masyarakat bahkan melakukan ritual penolakan di hutan dan melayangkan pernyataan penolakan secara tertulis. Teddy berharap wilayah adat mereka tak hanya sebatas diakui di level Provinsi, namun juga segera ditetapkan pengakuan hutan adat oleh Negara melalui SK KLHK.

“Sebab kita ingin menggunakan dasar-dasar (hukum) yang lebih kuat lagi. Kalau hanya di Kabupaten kan orang provinsi bilang, ‘oh itu kan hanya orang Kabupaten, kami boleh lho ngambil’, tapi kalau udah ada (dari) Kementerian (KLHK) sana, orang kan pasti udah bilang ini udah pusat,” jelas Teddy.

Nasib sama juga dialami oleh masyarakat hukum adat Dayak Punan Uheng Kereho. Mereka sudah mendapatkan pengakuan di tingkat Kabupaten, namun pengajuan hutan adat di tingkat Kementerian masih belum menemui titik terang. Hal ini dituturkan oleh Yohanes Sungkin selaku Temenggung Punan Uheng Kereho.

Di teras rumahnya, Yohanes menceritakan bahwa masih ada upaya dari korporasi di bidang perkebunan karet dan produksi kayu yang ingin bernegosiasi menggunakan hutan di wilayah mereka. Namun, masyarakat hukum adat Dayak Punan Uheng Kereho dengan tegas menolak.

“Secara turun-turun mungkin kalau kita lihat ke adat kita itu kan ketergantungan dengan hewan, kalau menurut Punan. Karena mereka ketergantungan hidupnya dengan hewan. Maka memelihara hutan itu sangat penting, supaya hewan itu bisa berkembang,” kata Yohanes sambil menyesap secangkir kopi.

Menurut Yohanes, hutan itu seperti supermarket bagi masyarakat Dayak. Karena apapun yang mereka butuhkan disediakan oleh hutan. Sebab itu, kata Yohanes, betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan. Di sisi lain, adanya pengakuan di level Kabupaten terbukti ampuh membuat masyarakat hukum adat Dayak Punan Uheng Kereho mendapatkan perlindungan hukum.

Belum lama ini, ada perusahaan yang setuju melepas bagian areanya karena masuk di dalam wilayah adat Dayak Punan Uheng Kereho. Sebab itu, jika pengakuan hutan adat dari KLHK juga dapat diterbitkan, tentu menambah kelegaan dan keleluasaan masyarakat hukum adat Dayak Punan Uheng Kereho mengelola wilayah adat mereka.

Sejatinya, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat terlebih setelah terbitnya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Namun nyatanya, pemberdayaan dan pendampingan lebih banyak hadir diwakili oleh lembaga-lembaga pendamping masyarakat hukum adat.

Hal ini tentu dapat menjadi peringatan dini bagi pemerintah daerah setempat untuk mulai melakukan aksi nyata yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat hukum adat, jika tak mau disebut sebatas formalitas apalagi cuma macan kertas.

Ditemui terpisah, Wakil Bupati Kapuas Hulu Wahyudi Hidayat menyatakan bahwa pihak pemerintah daerah siap memfasilitasi masyarakat hukum adat yang membutuhkan pendampingan dalam bentuk apapun.

“Karena di samping memberi kepastian hukum ya, di mana ke depan itu adalah untuk pembangunan berkelanjutan. Dari pembangunan itu tentunya tidak ada yang merusak, intinya adalah kita menjaga alam,” kata Wahyudi ditemui di rumah dinasnya di Ibu Kota Putussibau Utara, Kapuas Hulu, Selasa (27/6/2023).

Menurut Wahyudi, bagi komunitas masyarakat hukum adat yang belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan, pihaknya juga siap melakukan komunikasi dan memberi arahan. Adapun terkait masyarakat hukum adat yang mengajukan pengakuan hutan adat pada KLHK, Wahyudi menyatakan akan siap mendampingi perjuangan pada masyarakat adat hingga hutan mereka diakui.

“Kami siap ya, habis itu kalau perlu pendampingan, kita sama-sama berjuang siap hadir. Siap hadir untuk masyarakat adat yang mau memperjuangkan mendapat SK dari KLHK ya kami siap dampingi,” tandasnya.

Masyarakat hukum adat merupakan soko guru dalam pengelolaan alam, terutama aktor penting dalam menjaga kelestarian hutan. Mereka perlu payung hukum yang kuat untuk memastikan hak dan kebebasan mereka tak diusik. Dan Negara perlu turut andil memastikan hak perlindungan masyarakat hukum adat terjamin dari pihak yang ingin merampas dan mencaplok tanah mereka.

Baca juga artikel terkait MASYARAKAT ADAT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri